Social Icons

Blog Keris Pusaka;silakan call/sms ke nomor;087855335960 @ 081235415435

Pages

Senin, 03 Desember 2012

PATAKA WILWATIKTA LENGKAP{MAJAPAJIT}

KERIS YANG ADA DI MESEUM NEGARA ORANG

KERIS DURGO NGERIK,ERA MAJAPAHIT

Jenis : Pusaka
Nama : Keris DURGO NGERIK
Era : Majapahit, abad ke-14
Tangguh : Daha (Kadiri)


Koleksi :
THE METROPOLITAN MUSEUM OF ART
1000 5th Avenue, New York, NY – USA
Kris
Date: 18th–19th century
Culture: Javanese
Medium: Steel, gold, and wood
Classification: Krisses
Credit Line:
Edward C. Moore Collection, Bequest of Edward C. Moore, 1891
Accession Number: 91.1.899
This artwork is not on display
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA”.

KERIS SINGOBARONG MATARAM ISLAM

Jenis : Pusaka
Nama : Keris Sikep (Kebesaran)
Dapur : SINGO BARONG Kinatah Emas
Pamor : Lintang Kemukus
Era : Kerajaan MATARAM Islam
Asal Perolehan : Yogyakarta


Koleksi :
Museum VOLKENKUNDE
Steenstraat 1, P.O. box 212, 2300 AE Leiden
Inventaris No. : 924-58
Special collection: Insular Southeast Asia
Inventory number: 924-58
Material / technique: iron, nickel, gold, silver, brass, copper, wood
Dimensions: L 51 cm, L 41 cm blade, sheath 44 cm L
Date: for 1893
Description:
A crystal made of wrought iron. The kris has a straight blade with a wavy pattern (pamor). The attachment of the blade (ganja) is on the sides decorated with a gilded leaf pattern on one side and ending in sharp points (greneng) Among the greneng the blade on a long length of openwork and decorated with gold and silver leaf. On the other side of the blade is a golden lion sitting (singa) with open mouth to see. Under the gold leaf lion figures show. The brass ring (Mendak) is gold plated and the copper half ring (selut) is decorated with filigree leaves and flowers. The curved handle is made of wood and dark brown on the outside of the top decorated with foliage. The sheath (Gandar) and the kidney-shaped sheath opening (wrangka) are of a piece of polished amber flamed wood.
Function: Arms and Accessories
Culture: Javanese
Origin: Jawa
Object keywords: krisses
Publications on the subject: David Duuren – The kris: a terrestrial approach to a cosmic symbol, 1996, Amsterdam,
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA”.

TOMBAK PATAKA MATARAM ISLAM 3

enis : Pusaka
Nama : Tombak Pataka “Kyai ARDA DEDALI”
Era : Kerajaan MATARAM Islam
Asal Perolehan : Yogyakarta


Koleksi :
Museum VOLKENKUNDE
Steenstraat 1, P.O. box 212, 2300 AE Leiden
Inventaris No. : 704-13
Staatsielans and sheath
Special collection: Insular Southeast Asia
Inventory number: 704-13
Title: staatsielans and sheath
Material / technique: gold, diamond, wood, silver
Dimensions: L 230 cm x 6.4 cm section 22; D shaft 3 cm x 2.5 cm sheath 17
Date: [NI]
Indigenous name: Arda dedali
Function: status, rank and dignity signs, identifiers
Culture: Yogyakarta
Origin: Yogyakarta
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA”

TOMBAK PATAKA MATARAM ISLAM 5

Jenis : Pusaka
Nama : Tombak Pataka “Kyai GARUDA SENTANU”
Era : Kerajaan MATARAM Islam
Asal Perolehan : Yogyakarta


Koleksi :
Museum VOLKENKUNDE
Steenstraat 1, P.O. box 212, 2300 AE Leiden
Inventaris No. : 704-12
Staatsielans and sheath
Special collection: Insular Southeast Asia
Inventory number: 704-12
Title: staatsielans and sheath
Material / technique: Gold, timber
Dimensions: L 226 cm, L 23 cm point, B point 12 cm D shaft 3.1 cm, L 17 cm sheath, sheath B 2.5 cm
Date: [NI]
Function: status, rank and dignity signs, identifiers
Culture: Yogyakarta
Origin: Yogyakarta
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA”.

TOMBAK PATAKA MATARAM ISLAM 4

Jenis : Pusaka
Nama : Tombak Pataka “Kyai TJAKRA”
Era : Kerajaan MATARAM Islam
Asal Perolehan : Yogyakarta


Koleksi :
Museum VOLKENKUNDE
Steenstraat 1, P.O. box 212, 2300 AE Leiden
Inventaris No. : 704-15
Staatsielans sheath and (say)
Special collection: Insular Southeast Asia
Inventory number: 704-15
Title: staatsielans sheath and (say)
Material / technique: gold, silver, copper, brass, wood
Dimensions: L 226 cm, 22.5 cm L point, B point 20 cm, 3.2 cm shaft D, L sheaths 11 to 18.8 cm, 2.6 to 10 cm B sheaths
Date: [NI]
Indigenous name: tjakra
Function: status, rank and dignity signs, identifiers
Culture: Yogyakarta
Origin: Yogyakarta
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA

TOMBAK PATAKA MATARAM ISLAM 2

Jenis : Pusaka :
Nama : Tombak Pataka “Kyai YUYU RUMPUNG”
Era : Kerajaan MATARAM Islam
Asal Perolehan : Yogyakarta
Material : Emas, Logam, Berlian dan Kayu


Koleksi :
Museum VOLKENKUNDE
Steenstraat 1, P.O. box 212, 2300 AE Leiden
Inventaris No. : 704-8
Staatsielans
Special collection: Insular Southeast Asia
Inventory number: 704-8
Title: staatsielans
Material / technique: gold, diamonds, timber
Dimensions: L 223 cm x 3.5 cm section 21; D shaft 3 cm x 3.7 cm sheath 20
Date: [NI]
Function: status, rank and dignity signs, identifiers
Culture: Yogyakarta
Origin: Yogyakarta
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA

TOMBAK PATAKA MATARAM ISLAM 1

Jenis : Pusaka
Nama : Tombak Pataka
Era : Kerajaan MATARAM Islam
Asal Perolehan : Yogyakarta
Material : Emas, Berlian, Perak, Kuningan dan Kayu


Koleksi :
Museum VOLKENKUNDE
Steenstraat 1, P.O. box 212, 2300 AE Leiden
Inventaris No. : 704-3
Staatsielans
Special collection: Insular Southeast Asia
Inventory number: 704-3
Title: staatsielans
Material / technique: gold, diamonds, timber, silver, brass
Dimensions: L 220 cm x 4.8 cm section 19; D shaft 2.9 cm, 21.5 x 7.5 cm sheath
Date: [NI]
Function: status, rank and dignity signs, identifiers
Culture: Yogyakarta
Origin: Yogyakarta
Publications on the subject: 550Kg30 Traditional weapons of the Indonesian Archipelago,
Janganlah ditangisi bila artefak sejarah kita dimiliki Kolektor dan Museum ASING, mungkin itu dijarah saat masa penjajahan atau dijual orang kita sendiri atau bahkan anak keturunan yang sedang membutuhkan uang.
“AMATI DENGAN SEKSAMA, TANGKAP AURA-NYA. DAN CIPTAKAN YANG LEBIH INDAH DARI ITU. MEREKA TIDAK AKAN PERNAH BISA MENJARAH BAKAT DAN KELUHURAN YANG DIWARISKAN LELUHUR KITA”.

Misteri Ki Ageng Mangir dan tombak Baruklinting

Tidak aneh kalau setiap dusun di Jawa terdapat makam tua yang sering dianggap kuburan nenek moyang (cikal bakal) warga setempat. Kadang makam tersebut malah cuma sekadar tempat menyimpan pusaka atau barang peninggalan cikal bakal dusun bersangkutan. Sampai saat ini di Dusun Mangir terdapat berbagai peninggalan dari zaman kejayaan Keraton Mangir. Peninggalan Ki Ageng Mangir tersebut sampai sekarang masih terpelihara baik.
PENINGGALAN yang masih tampak terpelihara di Dusun Mangir ini antara lain berupa batu persegi dengan ukuran 1x1 meter yang dipercaya sebagai dhampar/singgasana Ki Ageng Mangir, arca lembu (kendaraan Dewa Siwa), beberapa fragmen arca, serta lingga dan yoni yang sudah tidak in situ lagi. Selain peninggalan tersebut, ada beberapa peninggalan lain yang cukup tersebar di Dusun Mangir, yakni berupa onggokan batu bata dalam ukuran lebih besar dari rata-rata ukuran batu bata di zaman sekarang, onggokan batu bata yang hampir tersebar di seluruh Dusun Mangir ini diperkirakan merupakan sisa-sisa bangunan keraton Ki Ageng Mangir di masa lalu.
Dusun Mangir sekarang terbagi atas tiga wilayah, yakni Dusun Mangir Lor, Mangir Tengah dan Mangir Kidul. Lokasi ini terletak kira-kira 20-an kilometer dari Jogyakarta. Secara administratif dusun ini masuk dalam wilayah Kalurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY. Dalam buku-buku sejarah tidak pernah disebutkan dengan jelas siapakah tokoh Ki Ageng Mangir. Buku sejarah versi De Graaf yang sebagian besar mendasarkan sumbernya pada Babad Tanah Jawi dan berita-berita Kumpeni-VOC pun tidak pernah membicarakan tentang Mangir. Nama Mangir justru terkenal di dalam cerita tutur dan buku Babat Mangir yang pernah diterjemahkan oleh Balai Bahasa.
Disebut dalam Babad Mangir bahwa paling tidak ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Trah Mangir ini dalam babad diceritakan berasal dari Brawijaya terakhir (V) yang berputra Radyan Alembumisani. Alembumisani ini melarikan diri dari Majapahit ke arah barat bersama istrinya. Kemudian dia mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan Wanabaya. Radyan Alembumisani meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I).
Ki Ageng Mangir Wanabaya I menurunkan Ki Ageng Mangir Wanabaya II. Mangir I juga mempunyai istri (selir), putri dari Demang Jalegong. Konon dari rahim Rara Jalegong ini lahir seorang anak yang berupa ular/naga (demikian disebut-sebut dalam babad dan cerita tutur). Anak yang kelak terkenal dengan nama Ki Bagus Baruklinting ini mempunyai kesaktian yang luar biasa pada lidahnya sehingga lidahnya dibuat menjadi sebilah mata tombak oleh ayahnya sendiri dan diberi nama Kiai Baru.
Jadi, Ki Bagus Baruklinting adalah saudara tiri dari Mangir II dan paman dari Mangir III. Mangir III ini pula yang kelak hidupnya tidak pernah berpisah dengan tombak Kiai Baruklinting. Demikian, Babad Mangir menceritakan. Nama baru sendiri dalam dunia tosan aji (senjata logam) menjadi nama salah satu dhapur.
Dalam cerita rakyat dipercaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah naga yang berubah wujud menjadi tombak pusaka (Kiai Baruklinting). Akan tetapi apabila dinalar tentulah hal ini menjadi muskil. Perkawinan Ki Ageng Mangir I dengan Rara Jalegong tentu saja melahirkan seorang bayi manusia pula (bukan ular naga). Memang, cerita dalam babad/cerita tutur sering berisi hal-hal yang tidak wantah (terus terang), banyak dibumbui cerita-cerita yang berbau mitos, sandi, sanepa ‘perumpamaan/teka-teki’, dan legenda sehingga cukup sulit diterima nalar begitu saja.
Misteri Ki Bagus Baruklinting sampai sekarang ini masih kontroversial. Sebagian orang meyakini bahwa dia adalah benar-benar naga. Akan tetapi sebagian orang percaya bahwa Ki Bagus Baruklinting adalah benar-benar manusia biasa. Hanya saja karena ia lahir dari rahim seorang wanita yang sebenarnya tidak dinikah, maka dalam cerita babad ia digambarkan sebagai ular/naga dan seolah-olah tidak diakui sebagai anak oleh Mangir I. Barangkali hal ini ditempuh penulis babad untuk tidak terlalu memberi efek negatif bagi dinasti Ki Ageng Mangir maupun Rara Jalegong sendiri. Kesaktian tombak Ki Baruklinting yang diceritakan demikian luar biasa ini barangkali sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kisah hidup Ki Bagus Baruklinting sendiri. Dalam babad diceritakan bahwa tombak Kiai Baruklinting senantiasa disanding oleh Ki Ageng Mangir. Bahkan setiap Ki Ageng Mangir berdekatan dengan Pembayun tombak ini bersuara (berkokok). Apa yang disuarakan tombak ini sebenarnya dapat dipandang sebagai simbol bahwa Ki Baruklinting memperingatkan agar Ki Ageng Mangir selalu berhati-hati terhadap Pembayun.
Tidak aneh kalau kemudian pada gilirannya bahwa tombak Kiai Baruklinting ini dibungkam/dilumpuhkan oleh Pembayun dengan kembennya. Pelumpuhan itu dilakukan dengan membungkam bilah tombak tersebut dengan kemben milik Pembayun.

ASAL USUL MADURA DAN TOMBAK KYAI NANGGOLO DAN KYAI ALUGORO

DICERITAKAN bahwa pulau Madura ini bermula terlihat oleh pelajar-pelajar pada jaman purbakala sebagai pulau yang terpecah-pecah sehingga merupakan beberapa puncak-puncak tanah yang tinggi (yang sekarang menjadi puncaknya bukit-bukit di Madura) dan beberapa tanah datar yang rendah apabila air laut surut kelihatan dan apabila air laut pasang tidak kelihatan (ada di bawah air). Puncaknya-puncak yang terlihat itu diantaranya yang sekarang disebut Gunung Geger di daerah Kabupaten Bangkalan dan Pegunungan Pajudan di daerah Kabupaten Sumenep.

Diceritakan bahwa pada jaman purba ada suatu negara yang bernama negara Mendangkawulan yang didalamnya terdapat subuah kraton yang bernama Gilling Wesi. Rajanya bernama Sanghiangtunggal. Menurut dugaan orang Madura dikiranya ada disuatu tempat didekat Gunung Semeru didekat puncakala yang bernama Gunung Bromo. Jaman tersebut kira-kira sekitar tahun 929 Masehi.

Raja tersebut mempunyai seorang putri yang masih gadis. Pada suatu hari, putri tersebut bermimpi kemasukan rembulan dari mulutnya terus masuk ke dalam perutnya dan tidak keluar lagi. Setelah beberapa bulan setelah kejadian itu, putri tesebut menjadi hamil dan tidak ketahuan siapa ayah dari calon bayi tersebut. Beberapa kali ayahnya bertanya tentang sebab musababnya, tapi putrinya sama sekali tidak menjawab karena iapun juga tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya.

Raja tadi amat marah dan memannggil Patihnya yang bernama Pranggulang. Patih tersebut diperintah untuk membunuh putri tersebut dan membawa kepala putrinya ke hadapan raja tersebut. Apabila Patih tersebut tidak sanggup memperlihatkan kepala putrinya itu maka Patih tidak diperkenankan menghadap raja dan tidak dianggap lagi sebagai Patih di Kerajaannya.

Maka berangkatlah Patih dengan membawa sang Putri keluar dari Kraton menuju hutan rimba. Setelah sampai disuatu tempat di dalam hutan belantara, maka Patih menghunus pedangnya dan mulai memegang leher Putri tersebut, akan tetapi hampir pedang tersebut sampai ke lehernya pedang tersebut terjatuh ke tanah. Setelah kejadian tersebut sang Patih termenung dan berpikir bahwa hamilnya Putri tersebut tentu bukan dari kesalahannya, tetapi tentu ada hal yang luar biasa dan akhirnya Patih Pranggulang mengalah untuk tidak kembali ke rajanya dan mulai saat itu ia berubah nama menjadi Kijahi Poleng (Poleng artinya dalam Bahasa Madura yakni kain tenunan Madura) dan ia merubah pakaian yaitu memakai kain, baju dan ikat kepala dari kain poleng. Ia memotong kayu-kayu untuk dijadikan perahu (oleh orang Madura dinamakan Ghitek atau orang Jawa bilang Getek).

Sebelum Putri tadi diberangkatkan, Kijahi Poleng memberikan beberapa bekal berupa buah-buahan serta berpesan bahwa jika sang Putri memerlukan pertolongannya supaya sang Putri menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali maka seketika itu Kijahi Poleng datang untuk menolongnya.

Putri tersebut oleh Kijahi Poleng didudukkan diatas ghitek itu yang kemudian ditendangnya Ghitek tersebut menuju "Madu Oro" (pojok di ara-ara) artinya pojok menuju ke arah yang luas. Diceritakan bahwa sebab inilah Pulau ini bernama Madura. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Madura itu dari perkataan "Lemah Dhuro" artinya tanah yang tidak sesungguhnya yaitu apabila air laut pasang tanahnya tidak kelihatan, apabila air laut surut maka tanah akan kelihatan.

Singkat cerita Ghitek tersebut terdampar di Gunung Geger (disitu asalnya tanah Madura) dan memang menurut Babad-babad apabila ada yang tertulis perkataan tanah Madura, maka yang dimaksudkan adalah Kabupaten Bangkalan juga termasuk Kabupaten Sampang, sedangkan apabila ada yang menyebutkan daerah-daerah disebelah Timur dari daerah-daerah tersebut maka dimaksudkan adalah Kabupaten Sumenep atau Sumekar atau Sumanap dan dituliskannya Pamekasan.

Pada suatu ketika perut sang Putri mulai terasa sakit seolah akan menemui ajalnya, disitu ia menghentakkan kakinya ketanah 3 kali guna meminta pertolongan Kijahi Poleng. Maka seketika itu Kijahi Poleng datang dan iapun bila bahwa sang Putri akan segera melahirkan. Tidak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki yang roman mukanya amat bagus yang kemudian diberi nama "Raden Segoro" (Segoro artinya lautan). Keluarga itu menjadi penduduk pertama di Madura. Setelah itu Kijahi Poleng menghilang lagi, tetapi ia sering datang mengunjungi sang Putri dengan membawa makanan atau buah-buahan.

Diceritakan bahwa perahu-perahu orang dagang yang berlayar dari beberapa kepulauan di Indonesia apabila pada waktu malam hari melalui lautan dekat tempatnya Raden Segoro tersebut, maka mereka melihat cahaya yang terang seolah-olah cahaya rembulan, maka mereka akan berhenti untuk berlabuh ditempat itu Geger Madura dan akan membuat selamatan makan minum disitu serta memberi hadiah kepada yang bersahaja itu.

Setelah berumur dua tahun Raden Segoro sering bermain-main di tepi lautan, dan pada suatu hari dari arah lautan datanglah dua ekor naga yang amat besarnya mendekatinya. Dengan ketakutan, maka Raden Segoro berlari sambil menangis dan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Merasa khawatir takut anaknya dimakan ular naga tersebut, maka ibunya memanggil Kijahi Poleng. Dan seketika itu Kijahi Poleng datang menemui si Ibu, maka si ibu menceritakan kejadian yang menimpa putranya tersebut. Kemudian kijahi Poleng mengajak Raden Segoro bermain-main di tepi laut. Tidak beberapa lama datanglah dua ekor naga raksasa itu, lalu Kijahi Poleng menyuruh Raden Segoro agar memegang ekor ular dan membantingkannya ke tanah. Raden Segoro menolak permintaan Kijahi Poleng, tetapi karena paksaan tersebut akhirnya Raden Segoro memenuhi permintaan tersebut. Kemudian dipegangnya dua ekor naga raksasa tersebut dan dibantingkannya ke tanah. Seketika itu juga dua ekor ular naga raksasa tersebut berubah menjadi dua bilah tombak. Kedua bilah tombak tersebut kemudian diberikan kepada Kijahi Poleng untuk dibawa menghadap ibunya raden Segoro. Tombak satunya diberi nama "Kijahi (si) Nenggolo" dan satunya diberi nama "Kijahi (si) Aluquro"

Pada usia 7 tahun Raden Segoro pindah dari Gunung Geger ke Desa Nepa. Nama Nepa itu karena disitu banyak sekali pohon Nepa. Pohon nepa atau Bhunyok yaitu pohon sejenis kelapa tapi lebih kecil dan tidak besar seperti halnya pohon kelapa, daunnya dapat dibuat atap rumah, yang masih muda dapat dibuat rokok (seperti klobot). Desa tersebut letaknya berada di daerah Ketapang Kabupaten Sampang dipantai sebelah Utara (Java Zee) dan hingga sekarang masih banyak keranya.


Pada suatu ketika, Negara Mendangkawulan kedatangan musuh dari Tjina. Didalam peperangan tersebut Raja Mendangkawulan berkali-kali kalah sehingga rakyatnya hampir habis dibunuh oleh musuh. Didalam keadaan bingung dan susah tersebut, suatu malam Raja Mendangkawulan bermimpi bertemu dengan orang tua yang berkata bahwa di sebelah pojok Barat Daya dari Kraton tersebut ada Pulau bernama Madu Oro (Lemah Dhuro) atau Madura. Disitu berdiam seorang anak muda bernama Raden Segoro. Raja disuruhnya untuk meminta pertolongan kepada Raden Segoro apabila ingin memenangkan peperangan.

Keesokan harinya Raja memerintahkan Pepatihnya supaya membawa beberapa prajurit ke Madura sesuai dengan Mimpinya tersebut. Sesampainya di Madura, Pepatih langsung menemui Raden Segoro dan menceritakan tentang kejadian yang menimpa kerajaannya serta meminta pertolongan Raden Segoro untuk membantunya. Dan juga meminta ijin kepada ibunya agar ibunya mengijinkan putranya untuk membantunya. Si ibu memanggil Kijahi poleng untuk mendampingi Raden Segoro guna membantu peperangan raja itu dari serangan musuh (Tjina). Kemudian berangkatlah Raden Segoro, Kijahi Poleng serta Pepatih dan prajuritnya menuju Kraton Mendangkawulan dengan membawa pusaka tombak Kijahi Nenggolo.

Kijahi Poleng ikut serta akan tetapi tidak kelihatan oleh yang lain kecuali Raden Segoro. Dan sesampainya di negara tersebut, Raden Segoro langsung berperang dengan tentara Tjina dengan didampingi oleh Kijahi Poleng. Pusaka Kijahi Nenggolo hanya ditujukan kearah tempat sarang-sarang musuh maka banyak musuh yang mati karena mendadak menderita sakit dan tidak lama kemudian semua musuh lari meninggalkan negara Mendangkawulan.
Raja Mendangkawulan mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan perang dan memberi penghormatan besar kepada Raden Segoro serta memberi gelar "Raden Segoro alias Tumenggung Gemet" yang artinya semua musuh apabila bertarung dengannya maka akan habis (Gemet = Bahasa Djawa)

Raja Sanghiangtunggal berhajat untuk mengambil anak mantu kepada Tumenggung Gemet dan menghantarkan dia (suruhan Pepatih dan tentara kehormatan) dengan disertai surat terima kasih kepada ibunya. Raja menanyakan siapa ayahnya, maka Raden Segoro akan menanyakan kepada ibunya nanti. Kemudian Raden Segoro mohon ijin kepada Raja Mendangkawulan untuk kembali ke Madura.

Setelah sampai, maka Raden Segoro kembali menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. Ibunya merasa kebingungan dan menjawabnya bahwa ayahnya adalah seorang siluman. Maka seketika itu pula lenyaplah ibu dan anaknya serta rumahnya yang disebut dengan sebutan Kraton Nepa.

Demikian riwayat asal usul tanah Madura, yang oleh orang tua-tua dikesankan bahwa Raden Segoro telah membalas hutang-hutangnya yang menghinakan ibunya dengan pembalasan yang baik yaitu menolong di dalam peperangan.




Diceritakan pula bahwa dikemudian hari Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro oleh Raden Segoro diberikan kepada Pangeran Demong Plakaran (Kijahi Demong) Bupati Arosbaya (Bangkalan). Dan mulai saat itu kedua bilah tombak tersebut (Kijahi Nenggolo dan Kijahi Aluquro) menjadi Senjata pusaka Bangkalan.

Dikutip dari :
Sejarah Tjaranya Pemerintahan Daerah di Kepulauan Madura Dengan Hubungannya
Oleh: R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)

Raden katong DAN tombak tunggul naga "asal usul reog dan ponorogo"

Berawal dari keingin tahuan saya tentang sebuah sejarah yang multi versi tentang Raden katong atau Batara Katong dan setelah saya serasikan dari berbagai sumber dan akhirnya saya menemukan sebuah artikel yang patut untuk kalian baca...
BATARA KATONG Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.
Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasaldari Bali.
Tokoh yang terakhir ini, kemudian desersi untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.
Ki Ageng Kutu lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk. Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit.
Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya.
Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya.
Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, "huh dasar cowok. Liat yang bening langsung tancep gas hehe" dengan di iming-imingi akan dijadikan istri. Kemudian Niken Gandini inilah yang dimanfaatkan Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuahpusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu.
Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.
Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah dihilangkannya Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Daripintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.
Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar. Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga".
Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren- pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.
Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama. Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 aka atau tahun 1496 M.
Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda- benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 aka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.
Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.
Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi.
Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit. Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam.
Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.
Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk. Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten.
Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai totems, suatu yang secara sengaja dikeramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.
Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari alambawah sadar masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam hiperealitas, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat.
Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.
Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.
Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu kewaktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

ASAL MULANYA TOMBAK KYAI PLERET

Dahulu kala, ada seorang tumenggung bernama Wilatikta. Sang tumenggung mempunyai dua orang anak bernama Raden Sahid dan Rasa Wulan. Ketika kedua orang anaknya itu telah menginjak dewasa, Tumenggung Wilatikta memanggil mereka berdua. Kepada anak laki-lakinya, Tumenggung Wilatikta berkata, “Sahid, kau sekarang sudah dewasa, nak. Ayahmu telah tua. Kaulah yang harus menggantikan kedudukan ayahmu menjadi tumenggung, bila ayah sudah tidak mampu melaksanakannya.”

Raden Sahid mendengarkan kata-kata ayahnya dengan cermat. Dia duduk bersila di hadapan ayahnya. Kepalanya menunduk menandakan hormat kepada ayahnya.

“Untuk itu, aku dan ibumu mengharapkan agar engkau segera beristeri, Sahid. Kawinlah sebelum engkau menggantikan kedudukanku menjadi tumenggung. Katakanlah, gadis mana yang cocok dengan pilihanmu. Nanti akulah yang akan melamarkan untukmu.”

Mendengar kata-kata ayahnya itu, merenunglah Raden Sahid. Sebenarnya dia belum memiliki rencana untuk beristeri. Di dalam hati dia menolak suruhan ayahnya untuk beristeri, tetapi akan menolaknya secara terus terang, dia tidak memiliki keberanian, khawatir akan membuat sedih hati ayah dan ibunya. Beberapa saat lamanya Raden Sahid diam saja, dalam kebimbangan.

“Mengapa engkau diam saja, Sahid?” kata Tumenggung Wilatikta. “Apakah kau menolah suruhanku?”

“Ampun ayahanda,” kata Raden Sahid dengan hormatnya. “Sama sekali saya tidak bermaksud menolak perintah ayahanda.”

“Tetapi, mengapa engkau diam saja?” kata Tumenggung Wiltaikta. “Mengapa engkau tidak segera menjawab?”

“Ampun, ayahanda,” kata Raden Sahid. “Soal isteri, hamba tak dapat melaksanakannya dengan segera.”

“Jadi engkau menolak perintah ayahmu!” Tumenggung Wilatikta membentak.

“Bukan begitu, ayahanda,” kata Raden Sahid. “Sampai saat ini hamba masih dalam taraf menimbang-nimbang, gadis mana yang cocok untuk menjadi menantu ayahanda.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Tumenggung Wilatikta. “Pertimbangkanlah masak-masak. Dan hati-hatilah kau memilih calon jodohmu.”

Sesudah itu Raden Sahid lalu diperkenankan mundur dari hadapan Sang Tumenggung. Selanjutnya, kepada anak perempuannya, yaitu Rasa Wulan, Tumenggung Wilatikta juga menyuruh agar segera mempersiapkan diri untuk menerima lamaran orang lain. Rasa Wulan tanpa membantah menyanggupi suruhan ayahnya, lalu minta diri mundur dari hadapan ayahandanya.

Malam harinya, Raden Sahid senantiasa gelisah. Sampai larut malam dia tak dapat tidur. Sedih hatinya, mengingat suruhan ayahnya untuk segera beristeri, padahal sama sekali belum punya niat untuk itu.

“Aku harus pergi dari sini, untuk menghindari paksaan ayah.” Begitu pikir Raden Sahid. Dengan tekad demikian, maka pada waktu larut malam, ketika seisi ketumenggungan sedang lelap beristirahat (tidur), diam-diam Raden Sahid keluar dari dalam kamarnya, lalu pergi.

Pagi harinya, Rasa Wulan mengetahui bahwa Raden Sahid tidak ada di kamarnya. Dia khawatir, jangan-jangan kakaknya itu minggat. Dengan harap-harap cemas Rasa Wulan mencari kakaknya kemana-mana. Setelah tidak berhasil menemukannya meski sudah mencarinya ke berbagai tempat, maka yakinlah Rasa Wulan, bahwa kakaknya telah meninggalkan rumah. Dia mengetahui alasannya mengapa sang kakak pergi, tidak lain ialah agar terhindar dari paksaan ayahnya untuk beristeri.

“Mengapa dia tidak mengajak aku,” kata Rasa Wulan dalam hati. “Aku juga bermaksud pergi dari sini, supaya terhindar dari paksaan ayah untuk segera bersuami.” Kemudian Rasa Wulan masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian. Setelah itu ia pun pergi menyusul kakaknya.

Malam harinya barulah orang-orang seisi rumah ketumenggungan mengetahui, bahwa Raden Sahid dan Rasa Wulan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua orang anaknya pergi, terkejutlah Tumenggung Wilatikta. Cepat-cepat ia menyebar bawahannya ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan Raden Sahid dan Rasa Wulan. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun dilakukan pelacakan, tetapi usaha untuk menemukan kedua orang anak Tumenggung Wilatikta itu tidak menemukan hasil.

Bertahun-tahun Raden Sahid mengembara, mengalami pahit dan getirnya penderitaan, serta menghadapi berbagai macam cobaan, sehingga di kemudian hari ia dikenal sebagai seorang wali yang sangat mashur, bernama Kanjeng Sunan Kalijaga.

Adapun Rasa Wulan, di dalam pengembaraannya mencari Raden Sahid, setelah bertahun-tahun tidak berhasil menemukan kakaknya itu, akhirnya dia bertapa di tengah hutan Glagahwangi. Di hutan itu Rasa Wulan bertapa ngidang1.

Di dalam hutan itu ada sebuah danau bernama Sendhang Beji. Tepat di tepi danau itu tumbuhlah sebatang pohon yang besar dan rindang. Batang pohon itu condong dan menaungi permukaan danau. Pada salah satu cabang yang menjorok ke atas permukaan air danau Sendhang Beji itu, ada orang yang sedang bertapa. Orang itu bernama Syekh Maulana Mahgribi. Pada cabang pohon besar itu, Syekh Maulana Mahgribi bertapa ngalong2.

Pada suatu siang yang cerah, datanglah Rasa Wulan ke Sendhang Beji itu untuk mandi, karena matahari memancarkan sinarnya yang sangat terik. Perlahan-lahan Rasa Wulan menghampiri Sendhang Beji yang airnya jernih dan segar. Sama sekali ia tidak tahu bahwa di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa. Karena mengira tak ada orang lain kecuali dia sendiri di tempat itu, maka dengan tenang dan tanpa malu-malu Rasa Wulan membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan telanjang bulat, dengan perlahan-lahan Rasa Wulan berjalan menghampiri danau. Dengan tenangnya dia mandi di Sendhang Beji itu. Kesejukan air danau itu membuat kesegaran yang terasa sangat nyaman pada tubuhnya.

Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas air danau tempat Rasa Wulan mandi, memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan wajah dan kemontokan tubuh Rasa Wulan yang sedang mandi tepat di bawahnya, bangkitlah birahi Syekh Maulana Mahgribi. Meneteslah air mani Syekh Maulana Mahgribi, jatuh tepat pada tempat Rasa Wulan mandi.

Karena peristiwa itu, maka hamillah Rasa Wulan. Rasa Wulan tahu, bahwa orang laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya.

“Mengapa kau berbuat demikian?” Rasa Wulan memprotes, dengan menunjuk-nunjuk ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?”

Menerima dampratan demikian itu, Syekh Maulana Mahgribi diam saja, seakan-akan sama sekali tidak mendengar apa-apa.

“Kamulah yang menghamiliki”, kata Rasa Wulan. “Kamu harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu.”

“Mengapa kau menuduhku”, tanya Syekh Maulana Mahgribi.

“Lihat! Aku hamil”, kata Rasa Wulan. “Dan kamulah yang menghamili.”

“Kamu yakin bahwa aku yang menyebabkan kamu hamil?” tanya Syekh Maulana Mahgribi.

“Ya. Aku yakin”, kata Rasa Wulan. “Aku yakin bahwa kamulah yang menyebabkan aku hamil.”

“Mengapa?” tanya Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa aku yang kau tuduh menghamili kamu?”

“Di tempat ini tidak ada orang laki-laki lain kecuali kamu,” kata Rasa Wulan. “Maka kamulah yang kutuduh menghamiliku.”

Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, maka Syekh Maulana Mahgribi lalu mencabut kemaluannya. Kemudian ia menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa dia tidak punya kemaluan, berkatalah Syekh Maulana Mahgribi, “Lihatlah, aku bukan laki-laki. Mana mungkin aku menghamilimu.”

“Bagaimana pun, aku tetap menuduh bahwa kamulah yang menghamili diriku” kata Rasa Wulan. “Maka kamu harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang kukandung ini.”

“Aku harus bertanggung-jawab?” tanya Syekh Maulana Mahgribi.

“Ya. Kamu harus bertanggung-jawab,” kata Rasa Wulan. “Kamulah yang harus mengasuh dan memelihara anak ini kelak setelah lahir.”

Syekh Maulana Mahgribi tidak lagi dapat mengelak. Setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, lalu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kandungan Rasa Wulan, yang setelah lahir diserahkan kepada Maulana Mahgribi, diberi nama Kidangtelangkas. Keturunan Kidangtelangkas itu kelak secara turun-temurun menjadi raja di tanah Jawa.

Namun terjadi suatu keajaiban. Kemaluan Syekh Maulana Mahgribi yang dicabut itu berubah wujud menjadi sebilah mata tombak. Tombak yang terjadi dari kemaluan Syekh Maulana Mahgribi itu, akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) raja-raja Jawa. Tombak itu dinamakan Kanjeng Kyai Plered.

Secara turun-temurun tombak Kanjeng Kyai Plered itu diwariskan kepada raja-raja yang bertahta. Pada waktu Dhanang Sutawijaya berperang tanding melawan Arya Penangsang, Dhanang Sutawijaya dipersenjatai tombak Kyai Plered, dan dengan senjata andalan itu pula Sutawijaa berhasil membunuh Arya Penangsang. Selanjutnya Dhanang Sutawijaya menjadi Raja Mataram, dan Kanjeng Kyai Plered merupakan senjata pusaka kerajaan Mataram. Saat ini tombak Kanjeng Kyai Plered itu menjadi senjata pusaka di Keraton Yogyakarta.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 “Ngidang” berasal dari kata “kidang” yang berarti kijang. Jadi ngidang berarti seperti kijang. Tapa ngidang artinya bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk makan makanan yang biasa dimakan oleh kijang.

2 Tapa ngalong berarti bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon.

KERIS BUDHO

Keterangan

Dalam beberapa catatan kuno maksud Jawa adalah budi luhur.

Bahkan ada pula memberikan pengertian Jawa sebagai gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Bermaksud Tanah Jawa adalah tanah yang subur, adil, makmur kaya dengan hasil buminya, tersusun rapi, adil, damai dan sejahtera.

Konon ada juga pasukan expedisi dari Negara China yang mengatakan di Tanah Jawa tidak ada peraturan sebab segalanya sudah teratur.

Hal inilah yang menyebabkan banyak suku bangsa yang datang ke Tanah Jawa dengan pelbagai minat dan kepentingan termasuklah menyebarkan agama. Sudah tentu di antaranya Buddha, Hindu, Islam, Kristian. Orang Jawa sendiri pada saat itu sudah mengenal keberadaan Tuhan dengan menggunakan istilah Sing Nggawe urip (Yang Menciptakan Kehidupan), Gusti Pengeran Kang Murbhe ing jagad (Yang memiliki Dunia dan segala isinya) dan sebagainya.

Dalam konsep spiritual, kita sekarang mengenal apa yang disebut sebagai Ilmu Kejawen. Yang jelas sekali maksudnya adalah ilmu yang mempelajari Yang Maha Budi Luhur.

Suatu ketika di Tanah Jawa, hiduplah seorang prabu, namanya Prabu Aji Caka. Konon beliau memiliki suatu pusaka, sayang sekali tidak pernah tertulis apa bentuk pusaka tersebut tetapi kita namakan sahaja pusaka ini sebagai tosan aji. Disamping memiliki pusaka yang ampuh, beliau juga mempunyai 2 orang pembantu beliau yang sangat setia.

Suatu saat sedang Prabu Aji Caka hendak melakukan perjalanan, beliau sempat berpesan secara diam-diam kepada salah seorang pembantunya agar menjaga pusaka yang beliau miliki dengan baik. Beliau berpesan agar jangan menyerahkan pusaka itu kepada sesiapapun kecuali beliau sendiri yang memintanya.

Prabu Aji Caka pun berangkat melakukan pengembaraan dengan salah seorang pembantunya dan seorang lagi pembantunya diamanahkan menjaga pusaka beliau di kediamannya (pesanggrahan) .

Dalam perjalanan pengembaraan, ternyata Prabu Aji Caka memerlukan pusaka yang ia tinggalkan di kediamannya, lalu diutuskan pembantunya yang melakukan pengembaraan bersama untuk mengambil pusaka di situ, sudah tentu pembantu yang ditugaskan menjaga pusaka tersebut menolak dan mempertahankan pusaka beliau sesuai dengan tugas atau pesan yang telah disampaikan oleh Prabu Aji Caka.

Setelah beliau menunggu cukup lama pembantu yang ditugaskan untuk mengambil pusaka tidak jugakembali, lalu beliau kembali ke kediaman nya dan beliau menemukan kedua pembantunya telah meninggal dunia.

Saat itulah beliau berkata "Hono caroko, doto sowolo, podo joyonyo, mogo botongo", yang bermaksud ada dua orang satria, saling bertempur, kedua-duanya sama-sama hebat, sama-sama kuat dan akhirnya sama-sama meninggal dunia.

Kata kata beliau inilah yang menjadi huruf Jawa kuno iaitu Ho, No, Co, Ro, Ko, Do, To, So, Wo, Lo, Po, Do, Jo, Yo, Nyo, Mo, Go, Bo, To, Ngo. Semuanya ada huruf 20, dan saat itulah diawali sebagai tahun 1 Caka.

Sekarang ini, tahun kita adalah tahun 2004 manakal Tahun Caka adalah tahun 1926, jika dibuat pengiraan iaitu 2004 - 1926 = 78 tahun.

Ini bermaksud pada abad I, sekitar (sebelum) tahun 78, bangsa Jawa telah mengenal pusaka, memang dalam peristiwa tersebut kita tidak tahu bentuknya tapi setidak-tidaknya katakanlah tosan aji yang termasuk juga telah mengenal budaya keris.

Lebih tegasnya, budaya tosan aji, termasuk budaya keris adalah budaya asli yang memang hidup di masyarakat Jawa sejak dahulu kala, sebelum kedatangan bangsa asing ke tanah Jawa dengan kepentingannnya masing-masing, termasuk kepentingan menyiarkan agama, termasuk juga tentunya menyiarkan agama Budha.

Sekarang kita ke Borobudur iaitu suatu penelitian yang dilakukan oleh orang bangsa Jepun dengan menggunakan kajian radioaktif. Hasil penelitian mereka mengatakan candi Borobudur didirikan pada abad ke VIII dan diperkirakan pembangunannya memerlukan waktu kira-kira 25 tahun tetapi ada juga yang mengatakan Borobudur dibangun pada abad ke IV, memang banyak ahli yang mengkaji sehingga banyak sekali percanggahan pendapat.

Walaupun terdapat percanggahan pendapat, apa yang penting bagi kita adalah untuk memahami bahawa relief yang ada di Candi Borobudur inilah merupakan prototype keris yang dikatakan oleh buku-buku keris sebagai keris Bethok Budho.

Ini bermaksud pada tahun berapa pun Candi Borobudur itu didirikan, bangsa Jawa telah mengenal bentuk tosan aji keris.

Pada saat agama Budha disebarkan di Tanah Jawa tentunya para pendita Budha tahu bahwa keris adalah karya spiritual yang terkandung simbol-simbol kehidupan untuk manusia agar selalu berjalan menuju ke Yang Maha Bijaksana lalu mereka gunakan simbol ini dengan sedikit perubahan agar keris tidak terlihat menakutkan, sederhana, dan ringkas.

Itulah sebabnya mengapa keris ada di relief Candi Borobudur dan candi ini adalah tempat beribadat umat Budha dari seluruh dunia. Candi ini mempunyai 7 tingkat perjalanan manusia menuju Tuhan Yang Maha Esa yang akhirnya (tingkat VII) manusia akan mengalami apa yang mereka percayai sebagai Moksa.

Sekali lagi, keris ada dalam relief perjalanan manusia menuju Moksa, pastinya para pendita saat itu tahu betul bahwa keris termasuk sebahagian dari spiritual dan budaya tempatan yang tidak diragukan lagi nilai spiritualnya.

Sudah pasti keris budha tidak akan kehilangan kesinambungan dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa, yang di masa-masa selanjutnya keris budha juga tetap ada, sampai di Zaman Singasari, nilai spritual itu tetap ada, meskipun telah mengalami perubahan. Perubahan inilah banyak buku-buku keris menyebutnya sebagai keris Budha Tangguh Borobudur, Pajajaran, Singosari atau ada juga yang menyebut sebagai Jalak Budha dan Betok Budha.

Hal yang sama dimana ada pengaruh lain (asing) atau adanya penyerapan budaya tempatan dengan budaya asing dapat dilihat pada keris dapur singo barong. Bentuk singa lebih menyerupai Kilin, singa seperti tarian barong china ada juga penyerapan dalam bahasa seperti Sunan yang asalnya dari bahasa china "su-suhu-nan" (suhu) yang disembah atau yang dihormati.

Pengaruh budaya tempatan dan asing terus berkembang, sampai pada saat masuknya Islam di tanah Jawa Sunan Kalijaga juga berkarya yang pada saat itu dapur cengkrong lebih dikenal sebagai dapur yang cocok digunakan oleh kaum alim ulama yang melakukan dakwah di Tanah Jawa.

Masih ada lagi pengaruh budaya Jawa dan budaya asing yang juga mempengaruhi ciri-ciri khas keris atau tosan aji.

Photo di bawah ini adalah keris disebut Jalak Buda atau Keris Buda dan diperkirakan oleh webmaster sebagai Tangguh Singosari.

Keris Buda adalah berbeza dengan keris yang disebut Keris Betok kerana Keris Buda menggunakan ricikan sedangkan Keris Betok hanya bergandik polos. Adalah sukar untuk mengetahui dari daerah manakah si pemilik asal Keris Buda ini.

Ini adalah kerana mengikut sejarahnya, bala tentera Singosari pernah menyerang pelbagai daerah di Sumatera seperti Jambi dan secara tidak langsung telah juga menyebarkan budaya keris di serata daerah tersebut. Dari daerah Riau dan Jambi di pantai timur Sumatra melalui hubungan kekerabatan dan perdagangan budaya keris juga telah meluas ke Semenanjung Malaysia.

ARTI KERIS Kebo Lajer

     Filosofi Dhapur KEBO LAJER.
Dapur Kebo Lajer harapan bahwa si pemiliki keris diharapkan seperti kerbau laki-laki yang giat bekerja untuk menghidupi keluarga-nya.

Tuah atau do’a yang terkandung dalam sebilah keris dhapur kebo lajer dipercaya untuk menolak wabah penyakit, karena kepercayaan ini pada zaman dahulu keris ini sering di miliki oleh para pengreh praja (lurah, bupati, raja, dll) Karena mereka percaya keris Dhapur Kebo Lajer bertuah untuk daerah kekuasaanya dari serangan hama tanama serta wabah penyakit.

Sebagian pecinta keris lain mengatakan tuah Kebo Lajer adalah untuk membantu penghidupan petani, menyuburkan tanaman, sehingga panennya berhasil. Menolak wabah penyakit ternak sehingga ternak dapat berkembang dengan baik serta memberikan haasil yang berlipat.

MENAYUH/NGEPAL/Melihat sifat KERIS

Di petik dari buku " DAYA GAIB KERIS PUSAKA" oleh S. LUMINTU th. 1996 - Yogyakarta.

Melihat sifat Keris bisa kita ketahui ari rancang bangun bilahnya. Dalam buku 'SERAT PANITI KADGA' terbitan tahun 1929 terdapat 4 cara untuk melihat sifat Keris berdasarkan panjang & lebar bilah, menurut ajaran Sunan Bonang sebagaimana di tuturkan kepada Mpu Suro.

A. CARA PERTAMA
Tentukan lebar wilah pada titik 2/3 panjang keris (tidak termasuk pesi). Dari lebar inilah kita hitung panjang wiilah mulai gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan kita bagi 8, sisa berapa.
Jika tersisa :
1. NAGA RETNA SAMPURNA, berwatak baik untuk pembesar, jika digunakan untuk berperang selamat.
2. SURO CONDRO RETNO, berwatak baik. Cocok untuk petani dan pedagang.
3. JATI KUMBA MAHA LABA, berwatak baik. Cocok untuk orang yang mengabdi.
4. RANGGA JANUR, berwatak jelek. Jika digunakan untuk mengabdi akan mendapat gangguan, jika di simpan di dalam rumah PANAS dan menghalau kebaikan.
5. ARJUNA SURAPATI, berwatak baik. membawa kewibawaan, banyak mendapat keluhuran dan rizky.
6 . BIMA SAWER, berwatak sangat jelek. ringan tangan dan tidak dapat di andalkan. Sering menemui halangan dan boros rejekinya.
7. DHESTIRA MADIYEM artinya RATU PINANDHITA (Rajanya para Pendeta) berwatak sangat baik, banyak keberuntungannya.
8. SADEWA BINENDON, berwatak jelek. melarat sering sakit. Keluarga sering kena perkara, untuk berdagang mandatangkan kerugian.


B. CARA KEDUA
Tentukan lebar wilah pada titik pertengahan pajang keris(tidak termasuk pesi). Dari lebar tersebut kita hitung panjang wilah dari gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan di bagi 8, sisa berapa. jika tersisa :
1. SRI RETNAKUMALA, wataknya mempermudah jalanya harta benda.
2. JATI TAKIR, wataknya memperkaya perhitungan.
3. BIMA RAJEK WESI, watakmya kokoh, kuat & Sentosa.
4. KUDA MICARA, wataknya senang berperkara.
5. SATRIYA LEDHANG, wataknya senang keluyuran & bermain - main.
6. REJUNA RANGSANG, wataknya brangasan & gampang marah.
7. SRI NATA JURIT, Wataknya suka bertengkar.
8. MAKAN TUAN, wataknya sering melukai pemiliknya.



C. CARA KETIGA
Disebutkan dalam serat Cehthini jilid I pupuh 25, bahwa pedoman untuk membuat keris dimulai dengan mengukur panjang GONJO, kemudian bilah keris di ukur berapa kali panjang gonjo.
Pengukuran dimulai dari pangkal bilah (tidak termasuk pesi) sampai ujung bilah, dengan hitungan : 
CAKRA - GUNDHALA - GUNUNG - GUNTUR - SEGARA - MADU

hitungan yang baik jika jatuh pada Gunung, Segara, Madu.
Jika pengukuranya di balik dari ujung ke pangkal bilah, yang terbaik jatuh pada Gunung.


D. CARA KE EMPAT.
mengukur bilah dengan JEMPOL IBU JARI, dengan hitungan :

UMBAK - AMBA KARANA - SAMBER NYAWA - SRI LUNGO.  atau
GEDHONG - BRAMA - KALA - PITENAH.

Yang baik jatuh pada hitungan Umbak / Gedhong.

.









Makna Desain Keris


Pulang Geni


Pulang Geni merupakan salah satu dapur keris yang populer dan banyak dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang Geni bermakna ratus atau dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup harus berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka tolong menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktivitas yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Manusia harus berkelakuan baik dan selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu namanya akan selalu dikenang walau orang tersebut sudah meninggal. Oleh karena itu, keris dapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh para pahlawan atau pejuang.

Kidang Soka

Kidang Soka memiliki makna "kijang yang berduka". Bahwa hidup manusia akan selalu ada duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi. Keris ini memang memiliki ciri garap sebagaimana keris tangguh Majapahit, tetapi dilihat pada penerapan pamor serta besinya, tidak masuk dikategorikan sebagai keris yang dibuat pada zaman Majapahit. Oleh karena itu, dalam pengistilahan perkerisan dikatakan sebagai keris Putran atau Yasan yang diperkirakan dibuat pada zaman Mataram. Kembang Kacang Pogog semacam ini umumnya disebut Ngirung Buto.

Sabuk Inten

Sabuk Inten merupakan salah satu dapur keris yang melambangkan kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek filosofi, dapur Sabuk Inten melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik modal, pengusaha, atau pedagang pada zaman dahulu. Keris Sabuk Inten ini menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga karena adanya cerita silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk Inten karangan Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja pada 1970-an.

Naga Sasra

Naga Sasra adalah salah satu nama dapur "Keris Luk 13" dengan gandik berbentuk kepala naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke hampir pucuk bilah. Salah satu dapur keris yang paling terkenal walau jarang sekali dijumpai adanya keris Naga Sasra Tangguh tua. Umumnya keris dapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas sehingga penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris ini memiliki gaya seperti umumnya keris Mataram Senopaten yang bentuk bilahnya ramping seperti keris Majapahit, tetapi besi dan penerapan pamor serta gaya pada wadidhang-nya menunjukkan ciri Mataram Senopaten.

Sepertinya keris ini berasal dari era Majapahit akhir atau bisa juga awal era Mataram Senopaten (akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16). Keris ini dulunya memiliki kinatah Kamarogan yang karena perjalanan waktu, akhirnya kinatah emas tersebut hilang terkelupas. Tetapi secara keseluruhan, terutama bilah keris ini masih bisa dikatakan utuh. Keris dapur Naga Sasra berarti "ular yang jumlahnya seribu (beribu-ribu)" dan juga dikenal sebagai keris dapur "Sisik Sewu". Dalam budaya Jawa, naga diibaratkan sebagai penjaga. Oleh karena itu, banyak kita temui pada pintu sebuah candi atau hiasan lainnya yang dibuat pada zaman dahulu. Selain penjaga, naga juga diibaratkan memiliki wibawa yang tinggi. Oleh karena itu, keris Naga Sasra memiliki nilai yang lebih tinggi daripada keris lainnya.

Sengkelat

Sengkelat adalah salah satu keris dari jaman Mataram Sultan Agung (awal abad ke-17). Pamor keris sangat rapat, padat, dan halus. Ukuran lebar bilah lebih lebar dari keris Majapahit, tetapi lebih ramping daripada keris Mataram era Sultan Agung pada umumnya. Panjang bilah 38 cm, yang berarti lebih panjang dari Keris Sengkelat Tangguh Mataram Sultan Agung umumnya. Bentuk luknya lebih rengkol dan dalam dari pada keris era Sultan Agung pada umumnya. Ganja yang digunakan adalah Gonjo Wulung (tanpa pamor) dengan bentuk Sirah Cecak runcing dan panjang dengan buntut urang yang nguceng mati, Kembang Kacang Nggelung Wayang. Jalennya pendek dengan Lambe Gajah yang lebih panjang dari Jalen. Sogokan tidak terlalu dalam dengan janur yang tipis tetapi tegas sampai ke pangkal bilah. Warangka keris ini menggunakan gaya Surakarta yang terbuat dari kayu cendana.

Raga Pasung atau Rangga Pasung

Raga Pasung, atau Rangga Pasung, memiliki makna sesuatu yang dijadikan sebagai upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan diri manusia ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa hidup manusia ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah, menyembah kepada Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan kesemuanya adalah milik Tuhan YME.

Bethok BrojolBethok Brojol adalah keris dari tangguh tua juga. Keris semacam ini umumnya ditemui pada tangguh tua seperti Kediri/Singasari atau Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan sepeti keris dapur Brojol.

Puthut Kembar

Puthut Kembar oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris Umphyang. Padahal sesungguhnya Umphyang adalah nama seorang empu, bukan nama dapur keris. Juga ada keris dapur Puthut Kembar yang pada bilahnya terdapat rajah dalam aksara Jawa kuno yang tertulis “Umpyang Jimbe”. Ini juga merupakan keris buatan baru, mengingat tidak ada sama sekali dalam sejarah perkerisan di mana sang empu menuliskan namanya pada bilah keris sebagai label atau trade mark dirinya. Ini merupakan kekeliruan yang bisa merusak pemahaman terhadap budaya perkerisan.

Puthut dalam terminologi Jawa bermakna cantrik, atau orang yang membantu atau menjadi murid dari seorang pandita/empu pada zaman dahulu. Bentuk Puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik atau santri yang diminta untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandita, juga diminta untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bentuk orang menggunakan gelungan di atas kepala, menunjukkan adat menyanggul rambut pada zaman dahulu. Bentuk wajahnya, walau samar, masih terlihat jelas guratannya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dapur Puthut mulanya dibuat oleh Empu Umpyang yang hidup pada era Pajang awal. Tetapi ini pun masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah.

Pajang
Ada keris yang bernama Pajang-Majapahit, yang berarti keris buatan Pajang yang dibuat pada era Majapahit akhir. Penamaan keris ini perlu diteliti kembali mengingat perbedaaan zaman antara Kerajaan Majapahit (abad ke-14-15) dengan zaman Kerajaan Pajang (abad ke-17), meski dalam Nagarakretagama yang ditulis pada zaman Majapahit disebutkan adanya wilayah Pajang pada zaman tersebut.

Keris Lurus Semelang


Keris Lurus Semelang dalam bahasa Jawa bermakna "kekhawatiran atau kecemasan terhadap sesuatu". Sedangkan Gandring memiliki arti "setia atau kesetiaan" yang juga bermakna "pengabdian". Dengan demikian, Sumelang Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas ketidaksetiaan akibat adanya perubahan. Ricikan keris ini antara lain: gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dapur Sumelang Gandring termasuk keris dapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak dikenal di masyarakat perkerisan. (Ensiklopedia Keris: 445-446).

Sumelang GandringPusaka ini hilang dari Gedhong Pusaka Keraton. Lalu Raja menugaskan Empu Supo Mandangi untuk mencari kembali pusaka yang hilang tersebut. Dari sinilah berawal tutur mengenai nama Empu Pitrang yang tidak lain juga adalah Empu Supo Mandrangi (Ensiklopedia Keris: 343-345).

Tilam Upih


Tilam Upih dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk tidur, diistilahkan untuk menunjukkan ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu, banyak sekali pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dapur Tilam Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar anak-cucunya nanti bisa memeroleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

Sedangkan Pamor ini dinamakan Udan Mas Tiban. Ini karena terlihat dari penerapan pamor yang seperti tidak direncanakan sebelumnya oleh si empu. Berbeda dengan kebanyakan Udan Mas Rekan yang bulatannya sangat rapi dan teratur, Udan Mas Tiban ini bulatannya kurang begitu teratur tetapi masih tersusun dalam pola 2-1-2. Pada 1930-an, yang dimaksud dengan pamor Udan Mas adalah Pamor Udan Mas Tiban yang pembuatannya tidak direncanakan oleh sang empu (bukan pamor rekan). Ini dikarenakan pamor Udan Mas yang rekan dicurigai sebagai pamor buatan (rekan). Tetapi toh juga banyak keris pamor udan mas rekan yang juga merupakan pembawaan dari zaman dahulu.

Oleh banyak kalangan, keris dengan Pamor Udan Mas dianggap memiliki tuah untuk memudahkan pemiliknya mendapatkan rezeki. Dengan rezeki yang cukup,diharapkan seseorang bisa membina rumah tangga dan keluarga lebih baik dan sejahtera. Lar Gang Sir konon merupakan kepanjangan dari Gelar Ageman Siro yang memiliki makna bahwa gelar atau jabatan dan pangkat di dunia ini hanyalah sebuah ageman atau pakaian yang suatu saat tentu akan ditanggalkan. Karena itu jika kita memiliki jabatan/pangkat atau kekayaan, maka janganlah kita sombong dan takabur (ojo dumeh). Jangan mentang-mentang memiliki kekuasaan, pangkat dan jabatan atau kekayaan, maka kita bisa seenaknya sendiri sesuai keinginan kita tanpa memikirkan kepentingan orang lain.

NAMA EMPU KONDANG DI ZAMAN KUNO

Para Empu Kondang zaman kuno

Pejajaran, Jawa Barat :

Empu Windusarpa; Empu Sanggabumi lalu pindah ke Sumatra dan menciptakan pedang Minangkabau yang kuat dan bagus.

Empu Nimbok Sombro, wanita cantik, buah karyanya yang berupa keris juga indah dan sangat dicari oleh para kolektor.


Majapahit, Jawa Timur :

Empu Supomadrangi, dikenal sebagai Empu Supo atau Empu Jakasuro 1. Raja Brawijaya sangat menyenangi keris-keris buatannya. Oleh Raja, dia diberi pangkat tinggi dan gelar kebangsawanan dengan nama Pangeran Sendhang Sedayu dan dikawinkan dengan adik raja, selain itu diberi tanah perdikan Sedayu di Jawa Timur.

Empu Supo punya nama yang melegenda dalam bidang perkerisan, orang percaya bahwa dia telah membuat keris dengan tangan telanjang diatas laut. Oleh karena itu dia dijuluki dengan nama Empu Rambang, artinya orang yang bisa membuat keris diatas air.

Empu Supogati, saudara Empu Suro; Empu Jakasuro, anaknya; Empu Wangsa yang mukim di Tembayat; Empu Gedhe yang tinggal di Banyumas, Jawa Tengah.

Semua empu yang bekerja untuk Majapahit disebut Empu Dhomas yang terdiri dari 800 empu dari seluruh penjuru tanah air.


Tuban, Jawa Timur :

Banyak empu Tuban yang adalah pindahan dari Pejajaran, diantaranya lima orang anak Empu Kuwung, yaitu : Empu Rara Sembaga; Empu Bekeljati; Empu Suratman; Empu Paneti; Empu Salaeta. Empu lokal yang terkenal adalah Joko Kajal.


Blambangan, Jawa Timur :

Empu Surowiseso; Empu Kalunglungan; Empu Mlayagati; Empu Cakrabirawa dll.


Madura :

Empu Keleng atau Empu Kasa, ketika di Pejajaran namanya Empu Wanabaya;

Empu Macan, putra dari Empu Pangeran Sedayu, cucunya Brawijaya.


Ketika mukim di Pajang namanya adalah Empu Umyang, lalu pindah ke Madiun dengan nama Empu Tundhung Madiun; Empu Palu, anak Empu Kasa dan Empu Gedhe, anak Empu Palu.


Demak, Jawa Tengah :

Empu Purwosari; Empu Purwotanu; Empu Subur; Empu Jakasupo II.


Pajang, Jawa Tengah :

Empu Cublak; Empu Umyang atau Empu Jakasupo II atau Empu Tundhung Madiun. Sewaktu mukim di Mataram, dia ditunjuk untuk mengepalai 800 orang empu. Untuk pengabdiannya, dia di-anugerahi kedudukan kebangsawanan dengan nama Pangeran Sendhang.

Empu-empu yang lain : Empu Wanagati; Empu Surawangsa; Empu Jakaputut dan Empu Pengasih.


Palembang :

Empu Supo Lembang, keturunan Empu Sedhah.


Mataram, Jogjakarta :

Semasa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Mataram mempunyai 8oo empu dari seluruh penjuru tanah air. Para empu tersebut diperintahkan untuk membuat senjata termasuk keris dan tombak yang bagus dan kuat untuk dipergunakan para prajuritr menyerang benteng Belanda VOC di Batavia, Jakarta.

Setiap 100 empu dipimpin seorang mantri. Nama ke-delapan mantri tersebut adalah : Empu Tepas dari Semarang; Empu Mayi dari Karang; Empu Legi dari Majapahit; Empu Gedhe dari Pajang; Empu Luwing dari Madura; Empu Guling; Empu Ancer dari Kalianjir dan Empu Salaeta dari Tuban.

Pimpinan ke delapan mantri adalah Empu Ki Nom atau Pangeran Sendhang. Dia juga disebut Empu Galeng karena dengan tangan kosong mampu membuat keris di-galengan sawah.

Empu-empu Mataram yang lain adalah : Empu Lanang; Empu Suro; Empu Setratoya; Empu Setrakiting; Empu Lujuguna; Empu Setranaya dll.


Kartosuro, Jawa Tengah :

Empu Setranaya III; Empu Sendhangwarih; Empu Taruwangsa;Empu Japan; Empu Braja; Empu Sendhag Koripan dll.


Surakarta, Jawa Tengah :

Empu Brajaguna II; Empu Brajaguna III; Empu Singawijaya. Semasa Raja Paku Buwono X, empunya antara lain: Empu Japan dan Empu Jayasukadgo.


Jogjakarta :

Di Jogja ada banyak empu yang tinggal dibeberapa wilayah Jogja seperti di Kajar, Bener, Imogiri, Ngentha-Entha. Semasa pemerintahan Raja Hamengku Buwono V, salah satu empunya adalah Wangsawijaya yang mendapat pangkat tinggi dengan nama Tumenggung Jayanegara.

Kepala Empu ( Jejeneng dalam bahasa dan istilah Jawa) dimasa Hamengku Buwono V adalah Tumenggung Riyokusumo.

Empu Supowinangun adalah empu semasa Raja Hamengku Buwono VIII yang banyak membuat keris untuk Patih Danurejo VII. Empu lainnya adalah : Empu Lurah Prawiradahana; Empu Bekel Tarunadahana; Empu Jayangpenglaras.

Kepala empu/ Jejeneng empu disaat Hamengku Buwono VIII adalah Empu Wedono Prawirodipuro.


Pakualaman, Jogjakarta :

Empu Ngabehi Kartocurigo 1; Empu Karyocurigo II; Empu Ngabehi Karyodikromo; Empu Mas Saptotaruno dan Empu Joyokaryo.

KERIS

7831_1222700257163_1518661006_30606554_3438945_n
Foto Salah Satu Pameran Keris di Jogjakarta
Menurut pakar perkerisan dari karaton Surakarta,Panembahan Hadiwidjaja Sang Maharsitama,keris berasal dari bahasa Sanskrit, kris yang berarti menghunus.Sedangkan menurut etimologis jawa atau jarwodhosok nya,keris berasal dari dua kata,sinengker dan aris,dimana sinengker artinya rahasia,disembunyikan,dan aris berarti bijaksana,hati-hati,itu semua mengandung maksud agar manusia yang mempunyai keris mempunyai sikap yang rendah hati,tidak suka menonjolkan diri,tidak sombong,yang dikiaskan dengan bahasa sinengker dan juga mempunyai sikap yang bijaksana,hati-hati,tidak sembrono,atau grusa-grusu.Keris juga mempunyai nama lain,seperti dhuwung dari dua kata udhu dan kuwung,dimana udhu berarti sumbangan,kontribusi sedang kuwung berarti kehormatan,kewibawaan jadi diharapkan keris memberikan kontribusi meningkatkan derajat,wibawa,dan kehormatan bagi pemiliknya.Ada lagi nama lain dari keris yaitu curiga,ini dari dua kata,curi dan raga,dimana curi berarti tajam,dan raga berarti fisik,benda,yang artinya benda tajam atau senjata tajam,yang diartikan agar si pemilik keris itu mendapatkan pikiran tajam,cerdas atau premana.Sinonim dari itu semua ada menyebut kadga,artinya senjata tajam juga.Atau ada yang menyebutkan siyunge Bathara Kala,karena menurut mitos,keris awalnya diciptakan dari siyung atau gigi taringnya Bathara(dewa) Kala,dewa raksasa pemakan manusia(kala artinya waktu,bisa diartikan dengan takdir).Keris juga termasuk ke dalam kelompok tosan aji,yaitu kelompok senjata besi(tosan) yang aji(berharga),berharga disini keris bukan senjata tajam biasa,melainkan senjata yang dihormati,diagungkan,yang tidak boleh sembarangan digunakan.
9118_1114545950986_1447057792_30274587_3454923_n
Foto Keris dengan Warangka gagrak Surakarta(kiri) dan Jogjakarta(kanan)
Ada lagi yang menyebut dengan istilah wangkingan,dari kata wangking yang berarti pinggang,yang mempunyai maksud bahwa keris sepantasnya atau biasa diletakkan di belakang(daerah pinggang).Disebut wangkingan keris itu harus berserta warangka(sarung) nya,sehingga bisa dipakai di belakang/pinggang.
6049_1084409081964_1578481083_30235269_3371123_n
Foto Keris-keris Berbilah Lurus dengan aneka ragam pamor
Asal-usul Keris
7831_1222701177186_1518661006_30606556_6779047_n
Foto Pameran Keris yang Adi luhung

Berasal darimanakah sebenarnya keris itu? Karena banyak tempat di Indonesia bahkan di luar negeri terutama di daerah Asia Tenggara,mengaku juga mempunyai keris.Sehingga banyak usul(pendapat) dikemukakan oleh para ahli,apakah itu dari ahli sejarah,etnograf,arkeolog,maupun ahli perkerisan itu sendiri.Jika dilihat dari asal katanya sendiri,kata keris,berasal dari kata kris,yaitu dari bahasa Sanskrit,bahasa ini berasal dari India,yang biasa dipakai oleh para pujangga atau para brahmana beragama Hindu maupun Buddha.
patrem
Foto Keris dan Patrem
Kata kris itu diartikan menghunus.Senjata-senjata yang biasa dipakai dengan cara menghunus adalah senjata-senjata tajam berlaras/berbilah pendek,seperti pisau belati,pedang,kapak atau golok,tidak hanya keris,dan senjata-senjata itu mempunyai handdle(pegangan) yang terbuat dari kayu,gading,cula badak,gigi taring,atau logam.Walaupun keris itu asal katanya dari bahasa Sanskrit di India,tetapi ternyata di India sendiri,keris tidak dikenal sebagai senjata khas mereka.Ini bisa dibuktikan dengan tidak adanya penyebutan istilah keris,di dalam kisah-kisah,kronik,ataupun epik-epik semacam Mahabharata maupun Ramayana versi India.Penggunaan kata keris,justru setelah kisah-kisah di dalam Mahabharata dan Ramayana diadaptasi atau disadur ke dalam versi Indonesia.Kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana dipakai dalam dunia pewayangan,dimana para ksatrianya biasa memakai senjata berupa keris.Sehingga nama keris tertentu selalu identik dengan ksatria tertentu,seperti arjuna yang mempunyai keris bernama pulanggeni.Disamping itu di dalam relief-relief prasasti/piagam ataupun candi-candi di India tidak ada senjata yang mirip dengan keris.Relief-relief keris justru ditemukan di banyak candi di Indonesia,seperti di candi Borobudur,Prambanan,Penataran,maupun candi Sukuh.Dan penulisan istilah keris juga dipakai di dalam prasasti-prasasti di Indonesia,khususnya di Jawa,semisal prasasti Karang Tengah di daerah Magelang,Jawa Tengah pada abad 9.Karena banyaknya penemuan yang terdapat di Indonesia terutama di Jawa,dan keris yang paling kuno ditemukan di Jawa,khususnya Jawa Tengah,yang biasa di dunia perkerisan disebut keris Buddha,atau tangguh kabudan Purwacarita.Akhirnya disimpulkanlah kalau keris itu awalnya berasal dari Jawa.
Evolusi Keris
Evolusi keris yang dimaksudkan disini membahas tentang perkembangan keris dari bentuk awal(prototype) keris yang sangat sederhana sampai dengan bentuknya yang sekarang.Ini semua menyangkut juga tentang sejarah peradaban suatu bangsa,karena proses pembuatan keris memerlukan teknologi yang canggih untuk ukuran zaman dulu.Mengingat keris dibuat dari logam besi,yang teknik penempaannya membutuhkan suhu pemanasan yang sangat tinggi untuk bisa dibentuk.Dibandingkan dengan logam yang lain besi memang cenderung susah untuk dibentuk sesuai keinginan.Bagaimana nenek moyang bangsa Indonesia,khususnya Jawa mempunyai kemampuan mengolah,menempa,dan membentuk besi menjadi keris,masih merupakan misteri.
Ini semua dikarenakan ilmu pengetahuan tentang keris pada zaman dahulu masih merupakan ilmu yang sangat dirahasiakan,atau istilahnya ilmu ingkang sinengker.Mengapa ilmu ini kok bisa sangat dirahasiakan? Masih merupakan tanda tanya besar juga,kemungkinan disebabkan karena proses pembuatannya yang susah,rumit,dan cenderung berbau mistik/magis sehingga tidak sembarang orang mampu mencerna dan menirunya,bagi si empu(pembuat keris) sendiri untuk mengajarkan ilmunya biasanya pilih-pilih,tidak sembarangan orang yang boleh mewarisi ilmunya,biasanya ilmu diberikan untuk sanak keluarganya saja,tidak aneh kalau para empu biasanya turun temurun ke anak cucunya.Atau bisa jadi ke orang lain yang sangat dipercayainya.
Untuk bisa mewarisi ilmu dari sang empu dibutuhkan kesabaran yang tinggi,bertahun-tahun,tidak boleh tergesa-gesa,pelan tapi mengena agar bisa meresapi ilmu dengan baik.Dalam proses pembelajarannya,para panjak(pembantu empu) dilarang banyak bertanya,cukup belajar dengan metode melihat,mendengarkan,dan meresapi sehingga para panjak bisa niteni atau mengingat-ingat betul apa yang dikerjakan oleh sang empu.Tidak adanya dokumentasi,tulisan-tulisan yang baku tentang proses pembuatan keris,membuat ilmu ini semakin kabur bagi generasi selanjutnya.
Sebab yang lain kenapa ilmu tentang keris ini menjadi misterius,kemungkinan karena sifat atau tabiat dari sang empu yang seperti rata-rata bangsa Indonesia lainnya,yaitu sifat yang seperti ilmu padi,semakin tinggi ilmu yang dimiliki semakin rendah hati.Tidak suka menonjolkan diri,bahkan cenderung menutup diri,ini bisa dibuktikan dengan tempat/bengkel pembuatan keris atau besalen yang tidak pernah terdapat di depan rumah,selalu di belakang rumah dan biasanya tertutup rapat,bahkan ada yang terpisah jauh dari rumah tempat tinggalnya.
Empu-empu tertentu yang sudah ternama,yang biasanya karya-karyanya tergolong masterpiece,agar karyanya tidak gampang ditiru atau kasarnya dijiplak,mereka melindungi atau memproteksi dengan sangat ilmu yang dimilikinya bahkan mungkin hanya biar si empu sendiri yang tahu ilmunya.Empu-empu ini biasanya adalah empu-empu kraton/istana yang membuat keris hanya berdasarkan pesanan atau perintah raja.Dan keris yang diciptakan tentunya haruslah keris yang ampuhyang tidak bisa ditiru oleh empu-empu dari kerajaan lain.Keris-keris yang dihasilkan para empu yang tersohor ini,seperti Mpu Pitrang,Supo Anom,Jigja,atau Umyang sampai sekarang susah dibuat tiruannya.Keris-keris yang dihasilkan biasanya menjadi patokan/pedoman bagi para empu yang lain,atau istilahnya keris pakem.
Begitu sedikitnya data/sumber yang ada,membuat kita susah memperkirakan kapan sebenarnya keris mulai diciptakan dan siapa orang yang pertama kali membikinnya.Data-data yang kita pakai sebagai sumber rujukan kebanyakan data-data yang terdapat di kitab-kitab tentang perkerisan yang ditulis oleh para sarjana/ahli dari dalam maupun dari luar negeri/barat.Sumber-sumber tertulis dari para empu jaman dahulu,tidak pernah diketemukan.
ranggawarsita
Foto Pujangga Karaton Surakarta R.Ng.Ranggawarsita
Kebanyakan justru ditulis oleh para pujangga/sastrawan seperti,Ronggowarsito,bukan dari empu pembuat keris sendiri.Dan kebanyakan karya-karya sastra ini terdapat kerancuan dengan fakta yang ada atau sering tidak masuk akal.Harap dimaklumi karena namanya saja karya sastra apakah itu berupa puisi/sajak ataukah prosa/narasi tentunya lebih mementingkan bunyi-bunyian,permainan kata,ditambah unsur-unsur dramatis/fantastis sebagai bumbu daripada fakta yang ada,yang tentunya subyektifitasnya lebih menonjol.Sehingga kita perlu hati-hati dalam menarik kesimpulan.
Disamping sumber-sumber yang tertulis di dalam kitab-kitab,informasi tentang keris juga terdapat dalam tulisan-tulisan prasasti walaupun jumlahnya sangat sedikit,Kebanyakan keris ditulis sebagai salah satu persyaratan dalam upacara-upacara suci keagamaan,peresmiaan suatu bangunan,keberadaan suatu sumber mata air yang disucikan.Paling banyak justru informasi tentang keris itu didapat dari sumber-sumber tidak tertulis,yaitu dari sumber lisan.Cerita-cerita atau kisah-kisah yang dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sudah barang tentu selalu disisipi dengan hal-hal yang kurang rasional,mistis,dan terkadang berlebihan.Hal inilah yang jelas membuat keakuratan data yang didapat menjadi semakin kabur.Untuk itu dibutuhkan cara yang jitu untuk menganalisa data-data yang sudah ada.
Para ahli perkerisan sebaiknya terdiri dari gabungan beberapa ahli,seperti ahli sejarah,budayawan,sastrawan,pakar bahasa,filologi,sosiologi,anthropologi,etnografi,arkeologi,ahli metalurgi,dan tidak menutup kemungkinan ahli-ahli yang lain sebagai peminat dan pemerhati masalah keris.Analisa data yang disusun dari para ahli itu nantinya diharapkan akan mengkristalisasi menuju terbentuknya suatu cabang ilmu tentang perkerisan,atau bahkan lebih luas lagi tentang dunia tosan aji.
Ilmu tentang perkerisan ini pernah dilontarkan oleh seorang tokoh perkerisan dari karaton Surakarta,Panembahan Hadiwidjaja,yang menyebut ilmu ini dengan Krisologi.Untuk mewujudkan keris menjadi suatu ilmu tidaklah mudah.Seperti diketahui ilmu adalah kumpulan pengetahuan,tapi tidak semua kumpulan pengetahuan adalah ilmu.Kumpulan pengetahuan untuk menjadi suatu disiplin ilmu harus memenuhi syarat/kriteria tertentu.Syarat yang dimaksud adalah harus adanya obyek materi dan obyek forma dari kumpulan pengetahuan itu yang tersusun secara sistematis.Obyek materi adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran,dipelajari,dianalisis,dan diselidiki menurut metode yang berlaku dan disepakati dalam keilmuaan,ada yang menyebutnya dengan metode ilmiah,sehingga dapat tersusun secara sistematis dengan arah dan tujuan tertentu secara khusus memenuhi persyaratan epistemiologi/syarat keilmuan.Obyek materi menyangkut segala hal tentang yang kongkrit(kasat mata),berupa wujud fisik/bendawi maupun segala hal yang abstrak(tidak kasat mata),atau non bendawi,seperti ide,nilai,norma,atau fenomena substantif lainnya.Sedangkan obyek forma dibentuk oleh cara/sudut pandang,atau peninjauan oleh para peneliti terhadap obyek materi dengan prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan esensi dari penelitiannya,sehingga akan mendekati hakekat suatu kebenaran dari obyek yang dipelajarinya.Obyek forma dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan tertentu yang substantif dan sistematis,tetapi pada saat yang sama juga membedakannya dari berbagai ilmu dalam bidang-bidang yang lain.Sebagai contoh disini keris ditempatkan sebagai obyek materi,dengan disiplin ilmu yang berbeda,keris dapat dipelajari dari sudut pandang arkeologinya atau metalurginya.Kedua macam ilmu itu mempunyai obyek materi yang sama,yaitu keris,tapi berbeda sebagai obyek formanya,arkeologi mempelajari dari sudut pandang hasil-hasil kebudayaan(artefak) suatu peradaban di jaman lampau,sedang metalurgi mempelajari tentang teknik pengolahan logam,termasuk keris(besi).Jadi obyek materi dan obyek forma adalah sesuatu yang mutlak harus ada,diketahui keberadaan/eksistensinya secara substantif atas pengetahuan dan pengalaman,bersamaan dengan esensinya sebagai ciri yang bersifat unik dan universal yang dapat disebut sebagai jatidiri disiplin keilmuannya.
Untuk itu dibutuhkan adanya kesepakatan definisi tentang keris.Apa sebenarnya yang dimaksud dengan keris itu.Definisi yang spesifik akan memudahkan kita dalam mempelajari dan membedakannya dengan obyek materi yang lain.Akan lebih mudah kita mengatakan ini lho yang disebut keris,itu yang bukan keris.
Umum diketahui kalau unsur pokok yang terkandung di dalam keris adalah besi.Walaupun kemudian dalam perkembangannya keris tidak hanya terdiri dari unsur besi saja,melainkan disisipkanlah unsur baja sebagai penguat/pengeras.Kekuatan keris diukur dari banyak sedikitnya kandungan bajanya.Sehingga baja bisa disebut sebagai tulang/kerangkakeris.Atau ada yang menyebutnya dengan slorok.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah bagaimanakah nenek moyang kita bisa mendapatkan bahan-bahan materi besi dan baja? Apakah bahan-bahan materi ini didapatkan sebagai bahan setengah jadi ataukah bahan mentah yang perlu pengolahan lebih lanjut? Kalaupun mendapatkannya sebagai bahan setengah jadi,darimana memperolehnya? Dan kalaupun perlu pengolahan lebih lanjut,benarkah nenek moyang kita sudah mengenal teknik peleburan bijih besi menjadi besi? Jika benar adanya,sungguh tinggi teknologi yang dimiliki nenek moyang kita itu,mengingat tingkat kesulitan dalam pengolahan bijih besi.Dibutuhkan pengetahuan tentang suhu pemanasan yang sangat tinggi untuk peleburan besi,peralatan yang canggih seperti tanur-tanur,alat-alat cetakan,bahan bakar dan tentunya biaya yang tidak sedikit.
Perkiraan para ahli,kedua-duanya bisa dimungkinkan.Para empu memperoleh bahan-bahan tersebut dengan cara membeli dari para pedagang asing,seperti pedagang India dan Cina,sebagai bahan setengah jadi berupa batangan-batangan besi,kualitas besi terutama dari India konon sudah sangat terkenal sejak dahulu,sebagai besi berkualitas terbaik.Yang kedua,banyak terdapatnya bijih besi di pesisir pantai pulau Jawa,membuat para ahli juga memperkirakan nenek moyang kita sudah mampu membuat berbagai jenis peralatan yang terbuat dari besi,termasuk keris.Bahkan pernah ada semacam eksperimen yang dilakukan oleh seorang empu jaman kamardikan,yaitu mpu Pauzan dari Surakarta,yang disponsori oleh seorang berkebangsaan Jerman yang interest terhadap keris,mengolah bijih besi yang diambil dari pesisir pantai Cilacap dengan tanur tinggi,kemudian terbentuk batangan besi yang berkualitas,yang akhirnya ditempa lagi menjadi keris.Bahkan dihasilkanlah keris dhapur gumbeng yang berpamor poleng,yang oleh mantan Menko Polkam Soerono,diberi nama Kyai Sureng Karya.
Baja adalah perpaduan antara unsur dasar besi dengan tambahan atom C(karbon).Penambahan atom C,akan menambah kekerasannya.Hal ini didapatkan dengan penempaan besi dengan teknik dan suhu tertentu.Namun ada kelemahannya juga,jika perpaduannya tidak pas,akan menjadikannya getas dan kurang ulet bila dibentuk.Era sekarang ini sudah ditambahkan unsur-unsur lainnya dalam proses pembuatan baja,seperti mangaan,krom,vanadium,maupun tungsten.Terutama dengan penambahan unsur krom akan membentuk senyawa yang menjadikannya tahan karat.
Unsur ketiga dari keris adalah pamor,memang tidak dipungkiri ada juga beberapa keris tidak berpamor,namun seringnya keris itu berpamor.Pamor ialah unsur/elemen keris yang mempunyai nuansa/warna yang berbeda dengan warna dasarnya/besinya.Biasanya berwarna keputihan,bisa putih keperakan,atau ada yang kekuningan tergantung bahan pamornya.Pamor dari kata dasar amor,yang berarti bersama-sama atau menyatu.Jadi awalnya pembentukan pamor pada keris kemungkinan tidak disengaja oleh sang empu.Tiba-tiba saja,pada saat akhir proses pembuatan keris,yaitu setelah tahap pewarangan,muncul nuansa/warna keputihan di bilah kerisnya.Hal ini kemudian menjadi menarik perhatian sang empu,yang setelah dilakukan beberapa kali uji coba,ditemukanlah formula/rumusan dalam pembuatan pamor.Pamor awal kemungkinan adalah pamor tiban,yaitu pamor yang timbul tanpa unsur kesengajaan,istilahnya sakmetune.Terserah apalah betuknya,biasanya orang sering menyebutnya bentuk pamor wos wutah/beras tumpah.Pamor ini muncul dari perpaduan berbagai macam besi yang diambil dari beberapa tempat,biasanya besi-besi tua dari alat bajak sawah,roda pedati,galangan kapal,dan lain-lain.Pamor yang timbul,nuansanya tidak begitu jelas,lamat-lamat,atau istilahnya kelem.Pamor ini kemudian juga disebut dengan pamor sanak.Dalam perkembangannya nantinya akan semakin beragam variasi bentuk pamor,teknik pembuatan,dan bahan-bahannya.Jadi kesimpulannya keris haruslah mempunyai sedikitnya dua dari tiga unsur tersebut,yaitu besi,baja dan pamor.
Setelah membahas unsur/elemen dasar daripada keris,sekarang tentang bentuk-bentuk keris.Bentuk keris ada dua,yaitu keris berbentuk lurus,dan berluk.Bentuk mana yang lebih dulu? Menurut banyak ahli berpendapat,keris luruslah yang pertama kali ada,karena saat ini keris yang paling tua ditemukan adalah keris tangguh kabudan,yaitu sekitar abad 8-9 M,yang berbentuk/berdhapur jalak dan bethok,semuanya itu keris lurus berbilah pendek,agak gemuk atau melebar di bagian bawah.Gambar disamping adalah keris dengan bentuk(dhapur) jalak buda.
Namun baru-baru ini diketemukan keris dengan tangguh/perkiraan tahun yang lebih tua dari keris kabudan,yang ditemukan di muara sungai Bengawan Solo,di daerah Porong,Sidoarjo pada waktu terjadi musibah lumpur Lapindo Brantas,oleh ahli perkerisan dinamakan keris tangguh Purwacarita,diperkirakan berasal dari Kerajaan Mataram Hindu/Medang,yaitu abad 8 M.
Keris ini ternyata berluk, luk(lekukan) berjumlah lima,masing-masing berdhapur(bentuk) Pandhawa Prasaja berpamor keleng(tanpa pamor) dan Pandhawa Larebrawukberpamor adeg telu(adeg tiga).Pada keris Pandhawa Prasaja tampak besi kelengnya sangat lentur,liat,namun keras.Bentuk ganja(alas keris)nya wilut,menandakan kalau ganja wilut sudah ada sebelum jaman Majapahit,bahan methuk(cincin keris)nya dari bahan perunggu yang nyaris sempurna.Sedangkan yang bentuk/dhapur Pandhawa Lare,nampak pamor adeg/berdiri,berupa garis-garis membujur sejajar bilah,yang teknik pembuatannya jelas lebih sulit,teknik ini dikenal dengan teknik miring.Ini menandakan teknologi peleburan,penempaan,dan pelipatan besi berkualitas sudah dimiliki oleh nenek moyang kita jauh sebelum era Majapahit.
Benarkah hal demikian? Ini menjadi pertanyaan besar juga,apakah nenek moyang kita benar-benar telah menemukan sendiri teknik tempa lipat besi yang sudah sedemikian majunya tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu maju,seperti India dan China? Ataukah telah terjadi transfer of knowledge and technology dari bangsa-bangsa lain tersebut? Mengingat bangsa India dan China telah lebih dahulu maju peradabannya dibanding bangsa kita.Bangsa India telah lebih dahulu kontak/berhubungan dengan bangsa kita sejak abad I Masehi,melalui para pedagang,ksatria dan brahmana.Para pedagang itu menjual dengan sistem barter,yaitu saling tukar menukar barang dengan taksiran harga yang sama.Barang-barang yang diperjualbelikan seperti kamper,kapur,cendana,gaharu,emas,perak,rempah-rempah,sarang burung,hewan ternak,bahan-bahan tekstil,barang kerajinan dari tembaga,perunggu dan besi.Barang-barang kerajinan ini,berupa patung-patung,manik-manik,kalung,gelang,pisau,pedang,alat-alat pertukangan dan lain-lain.Jadi kemungkinannya adalah kebanyakan nenek moyang kita menjual bahan-bahan mentah karena tanah air kita memang kaya akan hasil buminya,dan kita membeli barang-barang setengah jadi atau barang jadi karena merekalah yang memiliki teknologi pengolahannya.
Negeri kita memang sudah terkenal sejak jaman dahulu sebagai negeri yang subur makmur,kaya akan sumber daya alam,seperti pulau Sumatera terkenal dengan julukan Suwarnadwipa yang artinya pulau emas,dan pulau Jawa terkenal dengan Jawadwipa yang artinya pulau biji-bijian.Dengan perantaraan perdagangan,kita menjadi saling mengenal kebudayaan antar bangsa,disamping itu juga mempelajari teknologi mereka,termasuk dalam hal ini teknik tempa lipat besi.Para empu/pengrajin kita ini entah mendapatkan pengetahuan teknik tempa dengan mempelajari langsung dari para pengrajin/empu mereka,ataukah secara otodidak diam-diam dipelajari dan dipraktekkannya sendiri.Tidak adanya bukti-bukti transkripsi(tertulis) yang jelas bahwa para empu kita telah mentransfer teknologi dari mereka,membuat kita susah memastikannya.
Teori yang lain mengatakan kerajaan-kerajaan pertama di Indonesia yang beragama Hindu itu karena adanya pengaruh dari India,yang dibawa oleh para brahmana.Para brahmana ini mengajarkan pada penduduk lokal Nusantara mengenai ajaran-ajaran agama Hindu-Buddha,hukum,tata tertib administrasi,tulisan/aksara,dan syarat-syarat pendirian suatu negara menurut ajaran Hindu.Sehingga timbulah kerajaan-kerajaan awal di Nusantara seperti Kutei dan Tarumanegara.Nama-nama rajanya pun mengadopsi nama raja-raja Hindu di India,dengan akhiran warman,Mulawarman,raja Kutei dan Purnawarman,raja Tarumanegara.Ajaran Hindu yang berkembang di Nusantara ini ada dua aliran,yaitu penganut Shiwa dan Wisnu.Namun demikian,tidak seutuhnya ajaran para brahmana ini diterapkan di Nusantara,melainkan dimodifikasi/dikombinasikan dengan ajaran lokal/nenek moyangnya,sehingga terbentuklah suatu akulturasi dan asimilasi budaya yang berbeda dengan induknya di India.Hal ini bisa dilihat dari bentuk-bentuk bangunan suci/candi yang berbeda dengan yang ada di India.Sistem pemerintahannya pun tidak seluruhnya mengadopsi sistem pemerintahaan Hindu di India.Sistem pemerintahaan di kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara lebih bersifat egaliter dan desentralisasi.Ini mencerminkan sifat/watak khas nenek moyang kita(bangsa Austronesia),dimana lebih mengutamakan sistem kekerabatan.Pengenalan aksara/tulisan juga dari para brahmana,yang bisa kita lihat dari tulisan-tulisan di prasasti/piagam yang menggunakan aksara/huruf Pallawa,huruf yang digunakan oleh kerajaan Pallawa di India Selatan.Dalam perkembangannya huruf/aksara Pallawa ini nantinya menjadi turunan huruf-huruf Jawa,Sunda,dan Bugis.Disamping huruf,juga diperkenalkan tahun Saka,tahun yang pertama dipakai oleh Raja Kanishka di kerajaan Kushan,India Utara.Tahun Saka ini bersesuaian dengan tahun 78 Masehi,yang dipakai hampir di semua kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara jaman dahulu,dan masih dipakai sebagai kalender nasional di India dan juga bagi para penganut Hindu-Buddha di Indonesia hingga sekarang.
Para ksatria dari India pun diduga juga ada yang melarikan diri dari negerinya di India karena peperangan atau keinginan untuk memperoleh kekayaan dan kejayaan di bumi Nusantara.Mereka ada yang mengabdi pada para raja lokal sebagai tentara bayaran atau ada yang diambil menjadi menantu raja.Kisah Sang Aji Saka yang membantu membunuh seorang raja raksasa yang selalu meminta korban manusia di Jawa,yang juga mengajarkan huruf-huruf Jawa,hanacaraka,mengisyaratkan kemungkinan kebudayaan India ditularkan juga oleh para ksatrianya.Kebudayaan India ini nantinya mempengaruhi dalam ricikan(ornamen) keris.
Kembali ke bentuk keris yang paling awal atau disebut dengan prototype keris,para ahli agaknya belum sepakat tentang hal ini.Mereka menduga keris awal itu berupa keris sajen,karena dimungkinkan sebab upacara-upacara keagamaan selalu disertai berbagai macam sesajian,termasuk keris,dimana yang terkenal adalah upacara sradha.Sradha dalam bahasa Sanskrit,artinya percaya.Dalam ajaran Hindu,ada lima sradha(kepercayaan) yang menjadi dasar ajarannya,yaitu brahman,atman,karmaphala,samsara,dan moksha.Namun di Bali,upacara sradha biasa disebut ngaben,yaitu upacara pembakaran jenazah untuk pembebasan jiwa orang yang meninggal ke alam nirwana(moksha),sehingga keris sajen dirancang khusus untuk upacara kematian,maka tidak heran jika bentuk arca pada hulu keris sikapnya berdiri menunduk,suatu gambaran tentang kematian.




Keris sajen ini jika dilihat secara detail,berbilah pendek sampai panjangnya hampir 50 cm,bisa lurus atau berluk,bentuknya sederhana,terkesan primitif,berpamor sanak,kadang ada yang pamor adeg,dan bertangkai menyatu dengan bilahnya,atau disebut keris deder iras.Deder(handdle) nya biasanya berbentuk stilasi wujud manusia dalam posisi menunduk.Oleh seorang peneliti dari Belanda,J.L.Brandes dikatakan sebagai keris Majapahit,padahal secara kualitas keris-keris tangguh Majapahit jauh lebih unggul dibanding keris-keris sajen ini.
Menurut para ahli purbakala,keris sajen memang mirip dengan pisau DongSon dari daerah Vietnam Utara yang terkenal dengan kebudayaan perunggunya.Gambar disamping adalah pisau DongSon.Jika dilihat sepintas memang mirip,pisau DongSon terbuat dari perunggu dengan teknik cetak cire per due.Hulu/pegangan pisaunya berbentuk stilasi manusia,rata-rata dalam posisi berkacak pinggang,kebanyakan adalah bilahnya lurus,pendek,kedua sisinya tajam,berfungsi sebagai senjata penusuk.Perunggu sendiri terbuat dari campuran tembaga dan timah.
Di Indonesia tidak mengenal kebudayaan tembaga,melainkan kebudayaan perunggu dan besi.Kedua kebudayaan ini bersamaan masanya,sehingga tidak diketahui proses transisi dari perunggu ke besi.Sehingga tidak dapat dipastikan juga apakah benar pisau DongSon ini merupakan bentuk peralihan darikeris sajen.Namun jika dikatakan bentuk pisau DongSon telah menginspirasi bentuk keris sajen,mungkin ada benarnya,karena kebudayaan DongSon telah lama dikenal di kepulauan Indo-Melayu sekitar abad kelima sampai pertama sebelum Masehi,yaitu sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dari India.Kebudayaannya menyebar ke seluruh pelosok Asia Tenggara,mulai dari wilayah IndoChina sampai Semenanjung Malaysia dan Indonesia.Diduga penyebarannya melalui jalur perdagangan dan perpindahan penduduk.Karena bentuknya yang indah,kemungkinan pisau DongSon telah beralih fungsi tidak hanya sebagai senjata tajam biasa tetapi sudah menjadi barang mewah/prestise untuk ukuran jaman dahulu,karena bentuknya yang indah dan elegan.Pisau-pisau ini mungkin hanya dipunyai oleh para kepala suku/penguasa,yang bisa juga dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan mereka dan dipakai sebagai perlengkapan upacara-upacara suci keagamaan.
bronzefigurinedongsonculture500bce-300cethailand
Foto Arca Dong Son
Coba sekarang kita bandingkan antara pisau DongSon dengan keris sajen.Persamaannya adalah sama-sama bisa sebagai senjata penusuk karena mempunyai sisi-sisi yang tajam,bilah dan hulu yang menyatu,serta hulunya berbentuk arca/patung manusia.Perbedaanya terletak pada bahan bakunya,pisau DongSon terbuat dari perunggu dengan teknik cetak a cire perdue,sedang keris sajen dari besi berpamor dengan teknik tempa lipat.Tidak hanya itu kalau diperhatikan,keris sajen ada yang berluk,sedangkan pisau DongSon tidak.Bentuk arca manusianya pun ada perbedaan sikap/karakter,kalau pisau DongSon rata-rata berkacak pinggang(malangkerik) sedang keris sajen rata-rata berdiri membungkuk atau berjongkok.Sepertinya ada perbedaan makna filosofis dari keduanya.Perbedaan ini jelas menggambarkan perbedaan cara pandang,budaya/kearifan lokal,dan adat istiadat setempat.Bagi manusia etnis Austronesia-Jawa,yang sangat menjunjung tinggi sifat egaliter,rendah hati,dan kompromis,menilai sikap berkacak pinggang menunjukkan sikap kesombongan diri.Jadi tidak aneh,kalau bentuk arca pada keris sajen kebanyakan dalam posisi menunduk/sangkuk suatu simbol kerendahan hati.Ternyata ada makna lainnya juga,yaitu menggambarkan ‘kematian’, jiwa yang pasrah,tunduk pada Sang Pencipta.Dalam perkembangannya,hulu keris sajen nantinya akan berubah menjadi hulu keris/deder yang lebih indah/estetis,diukir lebih rumit/teliti,dan lebih memiliki taksu,atau jiwa.Karena pengaruh ajaran Islam,bentuk arca juga berubah menjadi bentuk ‘planar’ yang diukir dalam posisi menunduk,yang bagian-bagian ornamennya tetap mengambil nama bagian tubuh manusia.

Mari kita mencoba merekonstruksi evolusi keris dari gambar di samping ini.Jika kita menengok jauh ke belakang,ke jaman pra sejarah,disebut juga jaman nirleka,jaman belum adanya tulisan,dimana manusianya masih hidup berpindah(nomaden),tergantung dengan alam sekitarnya,mengandalkan kemampuannya dalam berburu dan meramu,alat-alat yang digunakan masih menggunakan bahan dari batu,tulang,dan kayu.Oleh para ahli purbakala,jaman pra sejarah dibagi ke dalam beberapa periode berdasarkan ilmu geologi dan arkeologi.Ilmu geologi meninjau dari sudut lapisan-lapisan tanahnya,dimana tiap lapisan tanah mewakili periode tertentu,semakin ke bawah lapisan semakin tua umurnya.Pembagian jaman prasejarah menurut sudut pandang geologi adalah sebagai berikut:
Arkaekum
Jaman ini kira-kira berlangsung selama 2500 juta tahun,dimana kulit bumi masih panas sehingga tidak dimungkinkan adanya kehidupan.
Paleozoikum
Jaman ini berlangsung selama kira-kira 340 juta tahun,bahkan ada yang mengatakan 600 juta tahun,dan disebut juga dengan jaman primer,dimana sudah ada makhluk hidup yang pertama di bumi ini,berupa mikroorganisme,ikan,amfibi,reptil,dan binatang yang avertebrata.
Mesozoikum
Jaman ini berlangsung kira-kira selama 140 juta tahun,disebut jaman sekunder,atau jaman reptil karena kehidupan waktu itu didominasi oleh jenis reptil.
Neozoikum
Jaman ini dibagi menjadi jaman tersier dan kuartier.Jaman tersier berlangsung sekitar 60 juta tahun,binatang yang berkembang adalah mamalia/binatang menyusui.Jaman kuartier adalah yang terpenting karena jaman ini dimulai adanya kehidupan manusia.Dan jaman kuartier masih dibagi lagi ke dalam jaman Pleistosen dan Holosen.Jaman Pleistosen(Dilluvium) berlangsung kira-kira 3 juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu.Jaman Pleistosen dimulai dengan meluasnya lapisan es di kedua kutub bumi yang disebut jaman glasial,kemudian diselingi dengan jaman mencairnya lapisan es disebut dengan jaman interglasial,keadaan ini berlangsung silih berganti sampai empat kali.Kalau di daerah tropis jaman glasial berupa jaman hujan(jaman pluvial),dan diselingi dengan jaman kering(interpluvial).Pada jaman glasial,permukaan air laut turun dengan drastis,sehingga banyak dasar laut yang kering menjadi daratan.Di Indonesia dasar laut yang kering di sebelah barat disebut dengan dataran Sunda,dan menyebabkan kepulauan Indonesia bagian barat menjadi satu dengan benua Asia,sedangkan yang di sebelah timur disebut dengan dataran Sahul,dan menyebabkan kepulauan Indonesia di sebelah timur menyatu dengan benua Australia.Sehingga ini semua mempengaruhi jenis flora-faunanya juga.Manusia yang hidup di jaman Pleistosen adalah jenis Homo erectus.Jaman Pleistosen berakhir kira-kira 10 ribu tahun sebelum Masehi.Kemudian diikuti datangnya jaman Holosen(Alluvium) yang masih berlangsung hingga sekarang.Dan jaman ini muncul manusia jenis Homo sapiens,yang diduga menjadi nenek moyang manusia sekarang.
Jika berdasarkan tinjauan arkeologis,pembagian berdasarkan alat/artefak yang digunakan manusia jaman prasejarah,maka dibagi menjadi:
1) Jaman Batu
Jaman Batu dikenal karena alat-alat yang digunakan terbuat dari batu,selain kayu dan tulang.Karena batu lebih awet,maka peninggalannya kebanyakan berupa batu.Jaman ini masih dibagi lagi menjadi beberapa jaman yaitu:
1.1) Jaman Batu Tua(Paleolithikum)
Manusia purba di jaman paleolithikum,yaitu Homo erectus pada mulanya menggunakan batu sebagai alat yang dipakai buat menumbuk biji-bijian,membuat serat-serat dari pepohonan yang digunakan sebagai pakaian,membunuh binatang buruan atau sebagai senjata menyerang lawannya.Batu itu dibentuk juga sebagai senjata genggam yang mirip dengan kapak tetapi tidak bertangkai,yang kemudian sering disebut dengan kapak genggam,chopper(alat penetak),atau kapak perimbas.Pembuatan kapak genggam dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam,dan membiarkan sisi yang lainnya apa adanya sebagai tempat memegang.
Di Indonesia yang terkenal dengan kebudayaan paleolithikum ini banyak ditemukan di desa Ngandong dan Pacitan,Jawa Timur.Sehingga para ahli purbakala,sepakat membaginya ke dalam kebudayaan Ngandong dan Pacitan.
Pada awalnya mayoritas kapak genggam ditemukan di permukaan bumi sehingga tidak diketahui pasti berasal dari lapisan tanah yang mana.Namun hasil penelitian terbaru pada tahun 1990-2000 di pegunungan sewu(seribu) dengan cara penggalian/ekskavasi yang dilakukan oleh tim Indonesia-Perancis memastikan bahwa kapak genggam digunakan oleh manusia jenis Homo erectus.
Kapak perimbas juga ditemukan di Jampang Kulon,Parigi(Jatim),Tambang Sawah,Lahat,KaliAnda(Sumatera),Awangbangkal(Kalimantan),Cabenge(Sulawesi), dan Teruyan(Bali).Gambar disamping adalah salah satu jenis kapak genggam dari daerah Teruyan,Bali.
Di daerah Ngandong ditemukan juga alat-alat dari tulang yang bentuknya mirip belati dan ujung/mata tombak yang bergerigi pada sisi-sisinya.Adapun fungsinya untuk mengorek ubi atau keladi di dalam tanah serta buat menangkap ikan.Alat-alat dari tulang ini juga masuk kebudayaan paleolithikum dari Ngandong.
Ada juga ditemukan alat-alat lain berupa serpihan-serpihan yang disebut dengan flakes,yang terbuat dari batu-batu biasa tetapi ada juga yang dari batu berwarna/caldeson.Berbeda dengan kapak genggam,flakes ini berukuran lebih kecil dan tajam.
Peralatan ini terutama ditemukan di sekitar daerah Sangiran,Pacitan,Ngandong(Jawa),Lahat(Sumatera),Sumbawa,Sulawesi,dan Flores.Contoh flakes bisa dilihat pada gambar diatas.Flakes ini berfungsi untuk menguliti hewan buruan,mengiris daging atau memotong umbi-umbian.Jadi fungsinya mirip dengan pisau sekarang.
1.2)Jaman Batu Tengah(Mesolithikum)

Alat-alat yang digunakan dari batu yang sudah mulai diasah/dihaluskan terutama di bagian yang digunakan untuk memotong atau menyayat.Tembikar juga sudah mulai dikenal.Mata pencariannya juga masih berburu dan meramu tingkat lanjut.Manusia pendukungnya adalah Homo sapiens dari ras Austromelanosoide(mayoritas) dan Mongoloide(minoritas).
Di Asia Tenggara terkenal dengan barang-barang kerajinan Hoabinhian,yang asalnya dari Vietnam kemudian menyebar sampai di kepulauan Indonesia,terutama pesisir pantai timur laut Sumatera.Sistem penguburan Hoabinhian dengan kuburan tekuk,dimana posisi mayat kedua kaki ditekuk seperti janin,dan ditutupi debu kuning tanah kemerahan.Hidupnya kadang nomaden kadang menetap.Artefaknya berupa batu penumbuk dan lumpang,diperkirakan dibuat 13 ribu tahun lalu.


Disebut dengan kapak Sumatera,karena kapak ini paling banyak ditemukan lokasinya di pesisir timur Sumatera yaitu antara Langsa dan Medan.Para arkeolog menyebutnya dengan pebble.Kapak ini diduga merupakan hasil kebudayaan jaman Mesolithikum,dimana manusia pada waktu itu sudah mulai hidup menetap,namun kadang juga masih berpindah-pindah atau semi nomaden.Mereka hidup menetap di gua-gua atau di pinggir pantai,sehingga disebut juga dengan abris sous roche atau Kjokkenmoddinger(sampah dapur).Abris sous roche adalah gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal dan perlindungan dari cuaca dan binatang buas.
Penelitian pertama dilakukan di gua Lawa di dekat Sampung,Ponorogo(Jawa Timur).Kebanyakan alat-alat yang ditemukan di gua Lawa itu adalah berasal dari tulang,tidak ditemukan adanya pebble atau hache courte sebagai inti dari kebudayaan mesolithikum,sehingga sering disebut dengan Sampung Bone Culture.Abris sous roche juga terdapat di gua Besuki,Bojonegoro(Jawa Timur),pulau Timor dan Rote,dan di gua Leang Patae,Lomoncong,Sulawesi Selatan yang pendukungnya adalah suku Toala yang sampai sekarang masih ada.
Sedangkan sampah dapur ini merupakan tumpukan kerang dan siput yang telah membatu sampai setinggi 7 meter.Dan di sekitar kerang itu ditemukan kapak genggam yang sama sekali lain dengan kapak genggam di jaman Paleolithikum,yang dinamakan pebble atau Sumateralith(kapak Sumatera).Bentuk kapak ini lebih sempurna dan halus,bahannya dari batu kali yang dipecah-pecah.Selain pebble,ditemukan juga kapak pendek,setengah lingkaran,yang disebut dengan hache courte/kapak pendek.Kapak ini digunakan dengan cara digenggam.Disitu juga ditemukan batu pipisan/lumpang yang dipakai buat menghaluskan biji-bijian atau bahan cat berwarna merah.Fungsi cat merah mungkin buat upacara ritual atau ilmu sihir.Manusia yang hidup pada masa Mesolithikum itu jenis Homo sapiens dari ras papua melanosoide.
Para peneliti kemudian mencari persebaran pebble dan kapak pendek sampai ke tempat asal mula ras Papua melanosoide di teluk Tonkin,Vietnam.Akhirnya ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari Hoabinhian dan Bacsonian,Vietnam Utara,namun disitu tidak diketemukan adanya flakes,sedangkan di dalam abris sous roche banyak ditemukan flakes.Flakes justru banyak ditemukan di gua-gua pulau Luzon(Filipina),jadi kemungkinannya flakes masuk ke Indonesia melalui Formosa(Taiwan),Jepang,dan Filipina.
1.3)Jaman Batu Baru(Neolithikum)
Alat-alat dari batu sudah diasah dan dipoles dengan halus dan indah.Disamping tembikar,dikenal juga kain tenun dan batik.Keliatannya ini awal manusia mengenal kesenian/keindahan,dimungkinkan juga karena manusianya sudah mulai hidup menetap,dan bercocok tanam,kehidupan menjadi agraris dan lebih terorganisir.Manusia pendukungnya mayoritas dari ras Mongoloide dan minoritas ras Austromelanosoide.
Nama kapak persegi diberikan oleh Van Hein Heldren atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium,ada yang berukuran besar yang lazim disebut beliung persegi yang fungsinya sebagia cangkul/pacul,dan yang ukuran kecil disebut dengan tarah/tatah yang berfungsi sebagai alat pahat.Bahan bakunya selain dari batu biasa juga dari batu api/chalcedon.Kemungkinan yang terbuat dari batu chalcedon ini sebagai alat upacara suci,tanda kebesaran atau jimat.Daerah penyebaran asal kapak persegi ini dari jalur barat/Asia,yang menyebar ke pulau Sumatera,Jawa,Bali,Nusa Tenggara,Kalimantan,Sulawesi,dan Maluku.
Sedang yang di Indonesia timur(jalur timur) menyebar kapak yang penampang melintangnya berbentuk lonjong,yang disebut dengan kapak lonjong.Bahan kapak lonjong dari batu kali berwarna kehitam-hitaman,bentuk keseluruhannya adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip sebagai tempat tangkainya,sedang ujung yang lainnya diasah sampai tajam,permukaannya halus merata.Yang berukuran besar disebut sebagai Walzenbeil,sedang yang kecil disebut dengan Kleinbeil.Fungsinya sama dengan kapak persegi.Daerah penyebarannya di Minahasa,Gerong,Leti,Seram,Tanimbar dan Irian.Dari Irian kapak lonjong ini akhirnya menyebar sampai ke kepulauan Melanesia,sehingga sering disebut dengan Neolithikum Papua.
Selain kapak persegi dan lonjong juga terdapat barang-barang gerabah/belanga,perhiasan,dan pakaian.Gerabah pembuatannya masih sederhana,tidak dengan roda pemutar,hanya dengan tangan.Perhiasan terbuat dari batu-batu berwarna,permata,dan kerang.Pakaiannya terbuat dari kulit kayu.Manusia pendukung kebudayaan Neolithikum ini dari ras Proto Melayu.
2) Jaman Logam
Di jaman ini manusia sudah mulai dapat membuat alat-alat dari logam,disamping masih ada juga alat-alat yang terbuat dari batu.Manusia sudah mengenal teknik pengolahan/pengecoran logam yang kemudian dicetak sesuai dengan keinginan.Teknik cetaknya ini ada dua macam,yaitu dengan cetakan dari batu(bivalve) dan dari tanah liat dan lilin yang disebut acire perdue.Jaman ini disebut juga jaman perundagian atau pertukangan,karena dalam masyarakat timbul golongan undagi/tukang yang trampil dalam melakukan pekerjaan tangan.Dan jaman logam ini masih dibagi lagi menjadi:
2.1) Jaman Tembaga

Alat-alat yang digunakan terbuat dari tembaga.Tapi tidak semua daerah/negara mengenal jaman ini.Di Asia Tenggara,khususnya Indonesia tidak mengenal jaman ini.
2.2) Jaman Perunggu
Jaman ini manusia sudah mengenal teknik mencampur tembaga dan timah sehingga dihasilkan logam yang lebih keras yang disebut dengan perunggu.Kebudayaan yang terkenal dengan kebudayaan perunggu di Asia Tenggara adalah di daerah DongSon,Vietnam Utara.Kebudayaan inilah yang dianggap sangat berpengaruh terhadap masa perundagian di Indonesia.
2.3) Jaman Besi
Jaman ini manusia sudah mengenal teknik peleburan bijih besi,untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan.Teknik ini lebih sulit,karena dibutuhkan suhu pemanasan yang sangat tinggi mencapai kurang lebih 3500 derajat celsius.Di Indonesia jaman besi diperkirakan baru dimulai di jaman sejarah.
Kemajuan pola pikir manusia telah mengubah alat-alat kebutuhannya yang semula berasal dari batu dan tulang menjadi terbuat dari logam.Berbeda dengan batu,yang cukup dengan dipukul-pukul atau dipecah yang kemudian diasah baru akan didapatkan peralatan yang sesuai dengan kebutuhannya,namun untuk membuat peralatan dari logam membutuhkan teknik peleburan/pengecoran yang kemudian dilakukan teknik pencetakan.Dikenal ada dua macam teknik cetak logam(perunggu) pada waktu itu,yaitu:
1).Teknik acire perdue atau cetakan lilin
Caranya ialah dengan membuat bentuk cetakan benda yang dikehendaki terlebih dahulu,yang terbuat dari lilin.Setelah membuat model dari lilin kemudian ditutup dengan lapisan tanah liat yang dilubangi di bagian atas dan bawah.Setelah itu dibakar,sehingga lilin yang terbungkus tanah akan mencair yang keluar melalui lubang bagian bawah.Selanjutnya cairan perunggu dimasukkan melalui lubang bagian atas,setelah pendinginan,maka cetakan itu akan pecah dan keluarlah benda yang dikehendaki.
2).Teknik bivalve atau setangkap
Caranya dengan membuat cetakan yang ditangkupkan dan dapat dibuka.Dimasukkan cairan perunggu,setelah dingin,tangkupnya dibuka,maka keluar bentuk yang dikehendaki.Cetakan ini terbuat dari batu/kayu.
Kebudayaan logam yang masuk di Indonesia berasal dari migrasi bangsa Deutro Melayu/Melayu Muda.Kebudayaan perunggu dan besi masuk secara bersamaan,sehingga sulit menentukan mana yang lebih dahulu masuk ke Indonesia.Kebudayaan perunggu pada jaman prasejarah yang terkenal adalah dari daerah DongSon,Vietnam Utara,sedangkan kebudayaan besi berasal dari Sa Huynh,Vietnam Selatan.
Salah satu barang kerajinan perunggu yang terkenal adalah kapak corong.Pada dasarnya bentuk bagian tajamnya tidak jauh berbeda dengan kapak batu,hanya pada bagian tangkainya yang berbentuk corong.Corong ini sebagai tempat untuk tangkai kayu.Disebut juga sebagai kapak sepatu,karena diumpamakan kapaknya seperti sepatu,dan tangkai kayunya disamakan dengan kaki.Ada variasi bentuk dari kapak corong,yaitu candrasa,dimana salah satu sisi tajamnya memanjang,bentuknya sangat indah dan dilengkapi dengan hiasan.Candrasa ini diduga tidak berfungsi sebagai alat pertukangan atau pertanian,melainkan beralih fungsi sebagai alat perlengkapan upacara keagamaan dan tanda kebesaran penguasa.Daerah persebaran kapak corong ialah di Sumatera Selatan,Jawa,Bali,Sulawesi Tengah dan Selatan,pulau Selayar,serta Irian dekat danau Sentani.Selain kapak corong,ada juga arca-arca dari perunggu.Arca/patung ini berbentuk manusia atau binatang,ukurannya kecil-kecil dan memiliki cincin di bagian atasnya,kemungkinan dipakai sebagai alat penggantung.Sehingga tidak mustahil arca-arca ini digunakan sebagai liontin/bandul kalung.Daerah penemuan arca ini di daerah Bangkinang(Riau),Palembang(Sumsel),dan Limbangan(Bogor).
Selain alat-alat yang terbuat dari perunggu,ada juga alat-alat yang terbuat dari besi,walaupun jumlahnya sedikit.Jenis barang yang terbuat dari besi diantaranya adalah kapak,sabit,cangkul,pisau,pedang,tongkat,dan tembilang.Daerah penemuannya ialah di Bogor,Wonosari,Ponorogo dan Besuki.
peta-kebudayaan-indochina
Peta Kebudayaan Indo-China
Kita bahas sekilas tentang dua kebudayaan DongSon dan Sa Huynh yang telah berpengaruh besar terhadap kebudayaan logam di Indonesia.Berbeda dengan yang di Eropa,India,dan China jaman perunggu dan besi tidak bisa dibedakan secara jelas di kepulauan Indo-Melayu.Oleh karena itu penggunaan istilah-istilah “perunggu” atau “logam” sama sekali tidak memiliki arti kronologis dan hanya mencerminkan suatu tataran tertentu dalam perkembangan kultural dari masing-masing populasi Asia Tenggara.Untuk menyederhanakan dan memberi ciri fase peralihan revolusi teknis ini,lebih tepat digunakan istilah kerajinan Paleometalik.Dari beberapa artefak yang telah diukur usianya,kelihatannya teknologi pengecoran logam yang pertama di Asia Tenggara dilakukan di Indo-China.
Cara pengenalannya ke kepulauan Indo-Melayu tetap menjadi sebuah misteri.Meskipun ada korelasi antara difusi kerajinan,pengenalan teknik pertanian,dan anyam-anyaman yang baru.Pengenalan teknik pengecoran logam pastilah telah terjadi melalui pertukaran-pertukaran komersial.Ada dua teori terkait Asia Tenggara sebagai tempat kerajinan paleometalik:
1).Teori difusi kebudayaan DongSon dari Vietnam Utara dengan alasan hasil-hasil kerajinan perunggu yang paling awal yang diketemukan di Indo-Melayu umumnya bergaya DongSon.
2).Teori yang terkini berdasarkan penemuan artefak-artefak besi dan tembaga di Thailand Tengah.Semua artefak ini lebih tua dari barang-barang DongSon,oleh karena itu teori kedua meyakini difusi dari Thailand Tengah,apakah melalui Semenanjung Malaysia ataukah melalui wilayah-wilayah Sa Huynh,Vietnam Selatan.Kedua wilayah itu dihuni oleh komunitas Austronesia yang melakukan hubungan dengan para keturunan kebudayaan Ban Kao Thailand Tengah.Teori ini juga dikuatkan oleh adanya kenyataan bahwa kerajinan pecah belah yang serupa dengan barang-barang Sa Huynh telah diketemukan juga di Bali,bersama dengan kepala-kepala kapak serupa yang ditemukan dalam jumlah besar di situs Nil Kham Hend di Thailand Tengah(artefak ini berasal dari masa 700-500 SM).Namun barang-barang yang terbuat dari perunggu,seperti kuali-kuali dan benda seremonial lainnya justru mendapat pengaruh dari kebudayaan DongSon.Sebaliknya peralatan dari besi memiliki bentuk lokal yang sama sekali berbeda.Ini menyiratkan pengetahuan-pengetahuan industri lanjut menjalar begitu cepat di sepanjang kepulauan Indo-Melayu,tidak seperti perunggu,barang-barang dari besi diproduksi hanya untuk keperluan lokal,bukan untuk perdagangan.Artefak besi muncul pertama pada 700 SM di Thailand Tengah,sedangkan DongSon baru menggunakan besi pada 300 SM.
2422313617_b817e111171
Peta Lokasi Kebudayaan Paleometalitikum di Asia Tenggara dan Indo-China
Kebudayaan DongSon
Kebudayaan ini muncul pertama kali pada 600 SM di Vietnam Utara.Kemunculan kerajinan perunggu yang di Vietnam tidak didahului dengan fase tembaga,kelihatannya telah terjadi secara bersamaan di Vietnam,Thailand Tengah dan Utara.Artefak-artefak awal di Vietnam Utara kebanyakan terdiri atas kapak lubang(socketed axes),mata tombak dan panah,pisau,belati,gelang dan lain-lain.Jumlahnya yang besar menunjukkan sebagian darinya pastilah diproduksi secara massal dalam bengkel-bengkel tertentu.Barang-barang yang dihasilkan awalnya terdiri dari campuran tembaga dan timah,dengan berjalannya waktu ditambahkan elemen lain semacam timah hitam.Perekonomian DongSon didasarkan atas hasil produksi padi secara ekstensif pada lahan-lahan yang beririgasi dengan bantuan bajak dan kerbau.Produksi pangan secara besar-besaran ini memungkinkan pertumbuhan penduduk yang meng-urban.
3681541851_b68c0df5d4
Foto Dong Son Culture
Situs DongSon yang luasnya kira-kira 600 hektar telah ditemukan.Populasi Vietnam awal mungkin sudah sangat beradab,ini ditunjukkan dari situs-situs makamnya yang telah ada pembagian kelas sosial.Tahun 179-111 SM wilayah Tonkin,jantung ibukota DongSon menjadi bawahan/vassal Dinasti Zhao dari China.Awalnya kekuasaan daerah masih dipercayakan oleh penguasa lokal,namun dengan timbulnya pemberontakan oleh Trunk bersaudara pada tahun 43 M,membuat marah pemerintahan Dinasti Han Timur,yang akhirnya setelah dipadamkan pemberontakan itu,wilayah Tonkin dikuasai penuh menjadi salah satu propinsi China.Ini ditunjukkan dengan akumulasi difusi kebudayaan China di antara populasi Vietnam yang menimbulkan evolusi kebudayaan DongSon,sampai abad 3 M ditemukan artefak-artefak kombinasi gaya DongSon dan Dinasti Han.
Kebudayaan Sa Huynh
45280
Salah Satu Hasil Kebudayaan Sa Huynh berupa Tembikar

Para Imigran Austronesia telah bermukim di Vietnam Selatan kira-kira 1500 SM.Mereka mengembangkan sebuah kebudayaan yang biasa dinamai dengan nama desa dimana situs pertama ditemukan.Orang-orang Austronesia ini selama berabad-abad telah melakukan kontak budaya dengan Ban Kao dan DongSon.Teknik pertanian dan metalurgi yang berkembang di Thailand Tengah dan Vietnam Utara mempengaruhi kebudayaan mereka juga.Situs-situs Sa Huynh tersebar luas di sepanjang pantai Vietnam Selatan sampai pada delta sungai Mekong.
binh-gom-bai-coi
Foto Sa Huynh Culture
Ada dua fakta yang pantas untuk dicatat terkait hubungan kultural Sa Huynh dengan para tetangga Indo-Chinanya:
1).Sangat sedikit artefak DongSon di situs-situs Sa Huynh.
2).Situs-situs ini lebih banyak menghadirkan artefak-artefak besi daripada perunggu.Sebaliknya DongSon lebih banyak menghasilkan artefak-artefak perunggu daripada besi.
3775499978_a53ca30ce1
Foto Dong Son Culture
Dari ini bisa disimpulkan orang-orang Sa Huynh mungkin lebih banyak hubungan komersial dengan komunitas Thailand Tengah daripada dengan orang-orang DongSon.
3730070756_01d12b5093
Foto Arca Dong Son
Mengikuti pencaplokan Tonkin oleh dinasti Han,Vietnam Tengah sejenak berada di bawah kendali China.Wilayah-wilayah utara Vietnam yang telah takluk dijadikan salah satu propinsi bernama Rinan.Akhirnya pada tahun 192 M,terjadi pemberontakan,yang berhasil mendirikan sebuah pemerintahan Sa Huynh yang merdeka di sebelah selatan Rinan yang disebut sebagai Lin Yi oleh orang-orang China.Selama berjalannya waktu,Lin Yi mengembangkan pengaruhnya sampai ke arah selatan dan timur pantai-pantai Vietnam Tengah.Kebudayaan asli Sa Huynh bertahan hingga awal millenium pertama M,saat kemudian kebudayaan ini cenderung berkiblat ke India melalui pengaruh Funan dan kemudian dikenal sebagai Champa(Cham).
3774691973_98900b5d6f
Foto Dong Son Culture

Jadi disini ada dua difusi kebudayaan paleometalik ke kepulauan Indo-Melayu: apakah itu berasal dari Vietnam Utara(DongSon) atau Thailand Tengah(melalui Sa Huynh).Karena pertukaran kultural dan komersial di kepulauan itu hanya bisa dilakukan melalui laut,dan karena tidak seperti orang-orang Austronesia,belum pernah ada bukti apapun bahwa orang-orang Viet adalah para pelaut ulung,maka kesimpulannya para pelaut Austronesia lah yang mungkin lebih berperan sebagia vektor/perantara bagi kerajinan-kerajinan baru itu.Hubungan-hubungan yang kelihatannya tidak erat antara Sa Huynh dan DongSon menimbulkan teori bahwa ada lebih banyak pertukaran antara komunitas Austronesia Sa Huynh dengan Thailand Tengah daripada dengan Vietnam Utara.Kelihatannya juga kerajinan paleometalik terdifusi dari Thailand Tengah,baik sepanjang pantai semenanjung Melayu ke Sumatera dan Jawa atau langsung dari pusat-pusat Sa Huynh melalui jaringan komersial Laut China Selatan.
3775494632_2c10f7de5d
Foto Dong Son Culture
Sedangkan difusi barang-barang perunggu DongSon dimungkinkan melalui jalur perdagangan khusus.Barang-barang ini telah menjadi barang berstatus atau barang mewah,langka yang tidak sembarangan orang mampu memilikinya.Bagi para pemimpin Austronesia kepemilikan sebuah benda bernilai seni tinggi adalah pertanda yang nyata bagi status sosial mereka,dan itu diwakili oleh barang-barang kerajinan DongSon yang paling indah dan langka.Barang status DongSon yang paling terkenal adalah kuali-kuali perunggu.Kuali-kuali ini telah digolongkan menjadi 4 type menurut seorang ahli bernama Heger.Di Indonesia hanya type 1 yang diketemukan.Kesamaan mereka adalah mereka dicor secara kesatuan dengan menerapkan metode lilin hilang(lost wax method) dan menggunakan campuran logam tembaga,timah,dan timah hitam.Timah hitam digunakan untuk mengurangi titik didih dan memungkinkan pengecoran benda-benda logam yang lebih besar.Kuali-kuali itu dihiasi dengan figur/gambar berupa sosok-sosok manusia,binatang dan rumah dalam bentuk yang geometris.
3775498254_2f8297f0df
Foto Dong Son Culture
Teknik pengecoran sebuah kuali dalam satu kesatuan sangatlah sukar dan perlu berabad-abad bagi para pandai besi DongSon untuk mempelajari komposisi campuran logamnya.Teknik ini tidak pernah berkembang di kepulauan Indo-Melayu dan untuk menirunya,sebuah teknik baru dikembangkan di Bali dan Jawa Timur.Kuali-kuali yang dikembangkan berbeda dengan yang di DongSon dalam dua segi,kuali-kuali ini dicor dalam dua bagian dan mereka memiliki sebuah tympanum yang menonjol keluar.Yang mewakili ini adalah kuali ‘bulan Pejeng’ di Bali.
Dampak material dan kultural dari difusi kerajinan Paleometalik di antara komunitas Austronesia menjadi semacam titik tinggal landas yang menimbulkan perubahan sosial yang mendalam dan menandai awal suatu transisi dari komunitas agrikultural yang cukup egalitarian menjadi masyarakat yang lebih berhirarki dan lebih urban.
Keris mengalami fase-fase perkembangan juga sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia sebagai pemilik budaya.Seperti benda-benda budaya lainnya,dan juga manusianya keris sepertinya mengalami evolusi hingga mencapai bentuknya yang sekarang ini.Dugaan semula keris awal adalah keris Bethok Buddha,karena mengingat bentuknya yang amat sederhana.Tetapi dengan ditemukannya keris Purwacarita yang berluk dan berpamor adeg,membuat dugaan awal selama ini perlu direkonstruksi lagi.Apakah keris awal adalah berbentuk lurus ataukah berluk? Atau kedua-duanya dibuat bersamaan? Yang masing-masing kemudian mengalami jalur perkembangannya masing-masing sesuai dengan fungsinya?
Menurut Groneman,keris berluk muncul lebih dahulu,hal ini dianalogikan sebagai jiwa muda,dinamis,banyak keinginan,lalu dengan semakin matangnya kejiwaan berangsur-angsur menjadi lebih statis,pasrah,dan tenang(menjadi keris lurus).Sebaliknya Panembahan Hadiwidjojo berpendapat,keris lurus lebih dahulu dibuat karena diibaratkan sebagai pribadi yang masih murni,belum ada niat dan ambisi macam-macam.Sementara Richadiana,seorang arkeolog,berargumen bahwa keris berluk terinspirasi oleh bentuk lidah api.Bukankah lidah api itu sesuatu yang sering dilihat sehari-hari oleh para empu? Lidah api sekaligus melambangkan dewa Agni sebagai simbol penerangan dan pengetahuan.Dalam seni rupa Jawa,bentuk lidah api distiler menjadi pola modang,yang banyak dipakai dalam hiasan pendhok,warangka sunggingan,batik,sunggingan wayang dan ukiran kayu.Sementara ada pula yang berpendapat,bahwa luk pada keris terinspirasi oleh salah satu jenis tombak India.
Peralatan tajam dipergunakan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya,seperti untuk memotong,menyayat,menusuk binatang buruan,atau yang lain.Alat-alat tajam ini bisa terbuat dari tulang,kayu,batu atau logam.Dalam perkembangannya alat-alat tajam tapi tidak semuanya,hanya berfungsi secara teknik/praktis saja tetapi juga berfungsi sebagai alat sosio-religi,status sosial,dan keperluan upacara-upacara keagamaan.Alat-alat tajam yang digolongkan sebagai ‘wesi aji’ saja yang beralih fungsi menjadi hal yang istimewa dan diagungkan.Namun demikian,tidak dapat dipungkiri,dugaan bahwa keris merupakan perkembangan lanjutan dari peralatan tulang atau batu yang ditajamkan memang ada benarnya.Terlebih penelitian membuktikan bahwa pada masa logam,orang masih menyerupakan benda-benda logam buatannya dengan peralatan dari tulang atau batu.Lambat laun setelah itu mereka membentuk protype lain yang berbeda.
Menurut Barnett Kempers,peneliti dari Belanda mengatakan kalau pisau/belati DongSon merupakan prototype dari keris yang menyatu dengan hulunya atau disebut keris deder iras.Keris ini kemudian lebih dikenal sebagai keris sajen.Akan tetapi dugaan ini bisa disanggah karena adanya perbedaan dalam proses pembuatannya,dimana pisau DongSon dibuat dengan teknik cire perdue,sedangkan keris dengan proses penempaan.Ini artinya dalam perkembangannya keris dengan belati DongSon berdiri sendiri tanpa ada saling keterkaitan.Meskipun bentuk keris deder iras kemungkinan terinspirasi oleh bentuk pisau DongSon.
Jika mengikuti perkembangan sejak awal jaman prasejarah yang dimulai dengan jaman batu,sangat mungkin cikal bakal keris bermula dari kapak batu genggam/perimbas,kemudian mengalami proses pengasahan sederhana menjadi kapak pendek/Sumatera,berlanjut menjadi kapak lonjong/persegi yang sudah lebih halus dan berfungsi spesifik,yang ukuran kecil biasanya sebagai kapak pendek atau alat tatah/pahat.Masuk ke dalam jaman Logam,dikembangkan jenis kapak corong yang bertangkai dari kayu,mempunyai variasi bentuk yang lebih indah dan artistik,dinamakan dengan candrasa,yang fungsinya sudah tidak lagi sebagai senjata tajam biasa melainkan sudah bergeser menjadi alat perlengkapan upacara atau tanda kebesaran.
Dalam perkembangan selanjutnya peralatan-peralatan yang digunakan itu mempunyai fungsi yang berbeda-beda sehingga akan menciptakan bentuk yang bervariasi sesuai dengan fungsinya masing-masing.Seperti halnya kapak genggam yang tadinya berfungsi hanya sebagai alat pemecah biji-bijian atau pemukul berubah fungsi menjadi alat penusuk.Untuk mengikuti perubahan fungsi ini,bentuk kapak menjadi lebih memanjang,sehingga menyerupai pisau genggam.Dengan berjalannya waktu,karena dinilai lebih merepotkan dan kurang efektif yang disebabkan oleh licin ketika basah dan seringnya menimbulkan gesekan antara logam dengan tangan si pemakai atau menimbulkan luka gesekan,maka dimunculkanlah bagian kecil dari logam(besi) nya menjadi semacam dudukan gagang,yang kemudian disebut dengan pesi.Dengan adanya pesi,alat penusuk ini selain sebagai pisau juga berfungsi sebagai semacam tombak hanya dengan mengganti gagangnya dengan tongkat yang lebih panjang.Sehingga dalam perkembangan selanjutnya muncul kelompok yang menggunakan alat penusuk ini sebagai mata tombak dan kelompok lain yang menggunakannya sebagai pisau yang nantinya merupakan cikal bakal dari keris.
Cikal bakal(prototype) keris ini kemudian dipasangi methuk,yaitu semacam bentuk cincin yang melingkar dibawah bilah fungsinya sebagai penahan apabila terjadi benturan keras di ujungnya maka bilah tidak akan masuk ke dalam gagang/tangkainya.Sekarang ini methuk jarang dipakai untuk keris,kebanyakan dipakai untuk tombak.Sebagai gantinya methuk,keris memakai cincin yang disebut dengan mendhak.Adanya prototype keris dengan methuk merupakan bentuk transisi/peralihan menjadi keris atau menjadi tombak,yang dibuktikan juga dengan bentuk keris buddha yang bilahnya tegak segaris dengan pesinya,bahkan pesinya ada yang panjangnya lebih dari sejengkal.Pesi dengan panjang lebih dari sejengkal biasa dipakai untuk mata tombak.Kemungkinan sebelum terjadinya transisi menjadi bentuk keris atau tombak,prototype ini tadinya berdwifungsi,artinya bisa berfungsi sebagaimana keris tapi pada saat yang lain bisa dipakai juga sebagai tombak.
Yang membedakan keduanya selanjutnya adalah muncul bentuk ganja pada keris,sebagai penahan/teknomik dan pelindung genggaman tangan ketika sedang dilakukan penusukan.Ganja ini diambil dari bagian keris pada saat proses penempaanya dan kemudian disisipkan di bagian bawah bilah dengan membuat lobang di tengahnya sebagai jalan masuknya pesi.Adanya ganja mungkin juga akibat pengaruh dari India(Hindu),dimana ganja diumpamakan sebagai simbol dari yoni(perempuan/Durga) dan bilah/batang keris itu sebagai lingga(laki-laki/Syiwa) yang mempunyai makna kesatuan antara laki-laki dan perempuan,simbol harmoni alam,kesuburan,dan regenerasi.Tombak tidak pernah memakai ganja.
Perubahan bentuk dari keris yang sebelumnya dapat digunakan sebagai tombak menuju keris yang hanya berfungsi sebagai keris diikuti oleh perubahan derajat kemiringan pesi terhadap bilahnya,dan ini berlangsung sangat lama.Perubahan dengan derajat kemiringan tertentu ini nantinya bisa dipakai untuk menentukan keaslian keris-keris tangguh Buddha/Purwacarita yang asli.Sudah ada kajian yang mendalam dari para ahli yang kemudian dicetuskan ke dalam teori yang disebut teori Condong Leleh,berdasarkan derajat kemiringan pesi terhadap bilahnya.Selanjutnya bentuk keris menjadi lebih ramping dan memanjang walaupun masih tampak dempak dan sangkuk.
Evolusi Pamor Keris
Keahlian dalam teknik metalurgi/pengolahan logam,secara tidak sadar telah memunculkan adanya bentukan alur-alur garis atau gambaran di atas bilah tosan aji(keris),yang disebut dengan pamor.Awalnya pamor ini terbentuk dari dua jenis besi yang berbeda kandungannya atau berbeda asal/tempatnya.Kemudian oleh sang Empu dipelajari lebih mendalam yang pada akhirnya mampu menemukan bahan pembuat pamor yang terbaik.Saat ini bahan pamor terbaik yang diakui mayoritas pemerhati tosan aji adalah pamor yang berasal dari meteor.Penemuan bahan pamor ini diikuti juga dengan penemuan teknik pembuatan pamor yang beragam sehingga menampilkan bentuk yang semakin indah dan menarik.Saat ini ada tiga macam teknik dikenal dalam pembuatan bentuk-bentuk pamor yaitu teknik mlumah,miring dan ceblokan.
Pengaruh Agama dan Budaya Luar terhadap Bentuk Keris
Pengaruh agama yang pertama masuk ke Indonesia adalah agama Hindu-Buddha,yang menggeser kepercayaan sebelumnya dari nenek moyang kita,animisme dan dinamisme.Agama ini masuk pertama ke Indonesia diperkirakan pada awal abad pertama Masehi melalui jalur perdagangan di daerah pesisir pantai kepulauan.Lambat laun hubungan semakin terjalin antara para pedagang dan penguasa lokal yang akhirnya terjadi akulturasi kebudayaan.Agama Hindu-Buddha telah berperan besar di dalam mengubah pola kepemimpinan masyarakat pada waktu itu dari kesukuan menjadi pemerintahan kerajaan.Raja tidak dipilih seperti halnya memilih kepala suku,melainkan dipilih berdasarkan garis keturunan/dinasti.Maka dari itu mulailah para kepala suku memilih atau mengukuhkan salah satu diantara mereka sebagai pemimpin tertingginya,tentunya setelah melalui serangkaian penaklukan,menjadi raja pertama mereka.Raja ini menjadi cikal bakal atau peletak dinasti pertama yang nantinya semua anak keturunannya diharapkan bisa melanjutkan kepemimpinannya.Untuk itu kemudian diadakanlah serangkaian upacara keagamaan secara Hindu-Buddha yang pertama.Upacara ini jelas menguras tenaga dan biaya buat seluruh rangkaian sesaji/persembahan buat para dewa.Sang Raja pun juga diharuskan memiliki tanda-tanda kebesaran yang akan menguatkan dan mengesahkan dirinya sebagai seorang Raja.Diantara tanda-tanda kebesaran itu adalah berupa berbagai macam senjata tajam,seperti pedang,tombak,pisau,mata panah,candrasa,kudhi,keris,dan lain-lain.Senjata-senjata ini selain menunjukkan kekuasaan dan kesaktian juga sebagai alat legitimasi.Sehingga tidak aneh jika senjata-senjata milik para Raja adalah senjata-senjata yang pinilih/berstatus.Seperti keris,jika dimiliki oleh seorang Raja jelas ini keris pilihan,terbaik dari segi garap/bentuknya maupun tuah/keampuhannya.
Untuk itu keris awal yang masih berbentuk sederhana kemudian berkembang menjadi semakin rumit dan beragam.Keanekaragaman bentuk keris ini ditunjukkan dari adanya ornamen/asesori keris terutama di bagian bawah bilahnya(sor-soran).Ornamen ini kemudian disebut dengan ricikan.Setelah itu budaya pekerisan menjadi berkembang sedemikian pesat,karena mendapat dukungan penuh dari para Raja/penguasa sebagai alat legitimasi kekuasaan mereka.Diadopsilah nama-nama yang diambil dari kisah-kisah kepahlawanan/pewayangan yang menunjukkan kesaktian dan keampuhan pusakanya sebagai nama dari sebagian bentuk keris,seperti dhapur keris Pasopati,Pulanggeni,Kalamisani atau juga diambil dari nama-nama tokohnya seperti dhapur Semar Bethak,Anoman,Karno Tinandhing,Pandhawa,dan lain sebagainya.Selain itu nama keris juga diambil dari latar belakang peristiwa penting bagi kerajaan,seperti penaklukan suatu wilayah,hilangnya pusaka kerajaan atau penawar dari suatu musibah.Ricikan/ornamen keris itu tidak hanya sekedar wujud fisik semata melainkan juga sebagai simbol/perlambang tertentu yang mengandung pesan tersembunyi berupa nilai-nilai luhur kearifan lokal,bisa juga dipakai sebagai sengkalan(perlambang waktu dari suatu kejadian penting).
Masuknya agama Islam di tanah Jawa yang terutama dipelopori oleh para Wali Sanga,khususnya Sunan Kalijaga,tidak serta merta menghilangkan seluruh budaya masyarakat pada waktu itu termasuk budaya perkerisan,tapi justru memperkaya khasanahnya.Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya nama-nama dhapur keris yang baru seperti,carubuk,sengkelat,segara wedhang,sabuk inten,kala munyeng,dan lain-lain.Bentuk warangka(sarung keris) pun juga mendapat pengaruh Islam,seperti warangka penanggalan atau wulan tumanggal yang mirip bentuk bulan sabit,simbol agama Islam.Adanya rajah atau goresan-goresan pada keris yang berisikan tulisan-tulisan Arab/kaligrafi yang diambil dari ayat-ayat Al Qur’an jelas itu merupakan pengaruh agama Islam.

Pengaruh budaya luar lainnya seperti China,memunculkan dhapur keris baru juga seperti Singa Barong,yang bentuk gandhik/muka berupa hewan mirip kilin,singa dalam mitologi China.Saat ini bahan warangan,yang digunakan sebagai pencuci/jamasan keris yang terbaik adalah yang berasal dari China.
Pengaruh Evolusi terhadap Tangguh Keris
Bentuk keris mengalami evolusi atau perkembangan yang bertahap melewati rentang waktu yang cukup lama.Tiap era/jaman diwakili oleh bentuk keris yang berbeda.Sehingga dikenal istilah tangguh.Semula tangguh sendiri mempunyai perbedaan pengertian,jika menurut serat Centhini yang disusun pada masa kekuasaan sinuhun Paku Buwono IV,Raja Karaton Surakarta Hadiningrat mendefinisikannya dengan gaya,langgam atau ciri khas yang dimiliki oleh sebuah keris yang tidak terikat oleh era/jaman dan daerah tertentu.
12863_1130687352856_1397407747_30324355_7933401_n
Keterangan Perkiraan Tangguh Keris berdasarkan jenis dan garap besinya
Keris dipelajari dari jenis/bahan besinya,pamornya,dan pasikutan/kesan yang timbul dari bentuk khas/gaya kerisnya.Namun ternyata dalam perkembangan selanjutnya,keris-keris yang mempunyai gaya/langgam yang sama terkait dengan era/jaman tertentu,dan akhirnya berhubungan juga dengan masa pemerintahan/kerajaan tertentu.
12863_1130687392857_1397407747_30324356_2048314_n
Foto Keterangan tentang Struktur Besi-Baja pada Keris
Dari sini muncul generalisasi keris-keris yang mempunyai gaya garap dan besi tertentu mewakili pada masa tertentu.Definisi tangguh yang sekarang akhirnya menunjuk pada masa pembuatan keris.Akan tetapi ternyata tidak semudah yang dibayangkan,karena tidak adanya patokan/pedoman yang pasti membuat penentuan masa pembuatan keris menjadi lebih sulit,apalagi penilaiannya berdasarkan visual/penglihatan dan perabaan semata.Subyektifitas menjadi lebih menonjol,yang tentunya akan membuat beragam macam tafsiran perkiraan masa pembuatan.
12863_1130688672889_1397407747_30324363_7299808_n
Foto Keris dengan Struktur Besi Tempa dengan Spasi Lebar
Dalam krisologi,ilmu tangguh menjadi cabang tersendiri yang masih terus membutuhkan inovasi dan teknologi yang terkini untuk menjawab hal/masalah periodisasi keris.Menarik untuk dipelajari dan dibutuhkan keseragaman dan kesepakatan dari para ahli terkait.Bahkan pernah diperkenalkan teknik pengujian laboratorium untuk menentukan usia besi,kandungan besi dan pamor,dan teknologi pengolahannya,yaitu dengan teknik NDTM(Non Destruktive Testing Materials).Pengujian materi/bahan dengan tidak merusakkannya diperkenalkan pertama kali oleh Ir.Haryono Arumbinang(Alm).Menurut ahli metalurgi ini,dengan mengetahui unsur-unsur penyusun keris menetapkan usia keris akan semakin mudah.Dalam penelitiannya ini,semua keris sepuh/tua yaitu sebelum abad XVIII,selalu mengandung unsur besi(Fe),arsenikum(As),titanium(Ti),timah(Sn),dan timbal(Pb).Unsur titanium diberikan oleh para empu agar keris yang dihasilkan terasa ringan kalau dipegang.Mineral ini terkandung di dalam pasir besi di pesisir pantai Pulau Jawa,sehingga mudah didapat secara lokal.Unsur timah dan timbal dipakai untuk memperkeras,menambah keuletan bahan campuran keris,dan dalam pamor keris sering nampak sebagai kilatan putih yang bervariasi.
12863_1130688712890_1397407747_30324364_7453461_n
Foto Keris dengan Struktur Tempa Besi Spasi Lebar-Sedang
Sungguh mengagumkan jika hal ini benar adanya,ternyata para empu jaman dahulu sudah paham dan ahli dalam ilmu logam.Jika teknik penelitian ini dipakai juga untuk mempelajari tentang evolusi keris maka akan sedikit banyak membantu memudahkan kita dalam mengungkap misteri tentang keris.
12863_1130688752891_1397407747_30324365_3772726_n
Foto Keris dengan Struktur Tempa Besi dengan Spasi Rapat
Para ahli memperkirakan munculnya suatu bentuk keris yang khas terkait dengan suatu masa dan tempat tertentu sehingga bisa dibedakan walaupun dengan dhapur yang sama,ini karena adanya kebiasaan mutrani(menduplikasi) dari keris yang sudah lebih dahulu ada.Bentuk khas ini memang disengaja kemungkinan atas perintah penguasa/raja pada waktu itu,yang setiap raja memiliki selera/kesukaan terhadap bentuk bagian keris tertentu,yang diatur dalam Paugering Praja ing Padhuwungan.
12863_1130688792892_1397407747_30324366_2374313_n
Foto Keris dengan Struktur Tempa Besi Rapat-Luluh
12863_1130688832893_1397407747_30324367_4850407_n
Foto Keris dengan Struktur Tempa Besi Matang-Rapat-Luluh

Perbedaan ini bisa sangat menyolok contohnya seperti antara tangguh Segaluh dengan Mataram.

Tangguh Segaluh memiliki buntut urang (ekor udang) pada ganjanya yang bersifat nguceng mati(uceng adalah sejenis ikan kecil-kecil di sungai) dan kembang kacang( bunga kacang) berbentuk ngecambah aking (tunas yang kurus).Lihat gambar di atas,contoh keris tangguh Segaluh.

Sedangkan kalau melihat gambar di atas ini,adalah Tangguh Mataram dengan buntut urangnya berupa sebit ron tal/mekrok (daun lontar yang mengembang).Kembang kacangnya nggelung wayang (gulungan konde pemain wayang orang) yang sifatnya besar dan menggulung.Diperkirakan selisih tahun antara Segaluh dengan Mataram sekitar 400 tahun.
Namun ada juga walaupun pada masa yang sama keris yang dibuat di tempat berbeda akan memiliki bentuk yang berbeda pula,seperti antara tangguh Tuban dengan Majapahit.

Sirah cecak pada keris Tuban (gambar kiri atas) biasanya buweng/bulat,sedangkan Majapahit(gambar kanan atas) sirah cecaknya lancip.Bilahnyapun lebih ramping keris Majapahit dibanding dengan keris Tuban.Ujung bilahnya/pucukan berbeda juga,kalau keris tangguh Tuban biasanya bersifat gabah kopong(biji padi yang kosong) sedangkan keris Majapahit bersifat nyujen/lancip.
Karakter masyarakat yang berbeda akan menimbulkan selera yang berbeda juga.Contohnya masyarakat Mataram yang bersifat santun dan lemah lembut akan memunculkan keris dengan kesan dhemes atau tampan.Sedangkan masyarakat Majapahit yang berwibawa,kesan yang muncul pada kerisnya adalah berwibawa atau wingit.
Keris Tangguh Kamardikan
Perkembangan keris akan memunculkan bentuk-bentuk varian baru yang lebih indah,dinamis,dan unik.Keindahannya bisa dilihat dari kesempurnaan garap/teknik pembuatannya yang lebih berkesan dengan variasi ornamen yang rumit dan detail,corak pamor yang beragam,ditambah dengan kinatah atau sinarasah emas pada bilahnya membuat keris mengalami kesempurnaan dalam evolusinya.
kinatah
Foto Teknik Pembuatan Keris Kinatah
pembuatan-pendhok
Foto Teknik Pembuatan Pendhok atau Selongsong Warangka
pembuatan-warangka
Foto Teknik Pembuatan Warangka atau Sarung Keris

Menurut para ahli perkerisan puncak kejayaan dari kesempurnaan keris adalah pada masa Paku Buwono IX-X di Surakarta dan Hamengku Buwono VII-VIII di Yogyakarta.
Namun demikian untuk masa sekarang ini,apalagi keris telah diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya agung dunia,membuat kita sebagai generasi penerusnya harus tetap menguri-uri/melestarikan dengan berbagai cara diantaranya ialah dengan menjaga dan memelihara(ngrukti) keris-keris pusaka leluhur kita agar tidak rusak atau jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab.Disamping itu supaya adanya kontinuitas/kesinambungan maka dimunculkan ide-ide baru yang bersifat kontemporer dari para empu jaman kemerdekaan yang memunculkan adanya tangguh Kamardikan.Keris-keris tangguh Kamardikan ini selain bersifat kontemporer juga kadang keluar dari pakem yang ada.Seperti memiliki dua bilah tapi satu sor-soran,pucuknya berbentuk tokoh pewayangan,bergandik merpati,nyai blorong dan lain-lain.Hal ini menjadi sah-sah saja karena mengikuti selera masyarakat/pasar jaman globalisasi yang universal.
n1295215475_160265_6391
Foto Bung Karno Memperkenalkan Keris pada Fidel Castro
Dikenalkannya ide-ide baru dalam dunia perkerisan kepada generasi muda sedikit banyak akan membuang persepsi yang negatif/kurang baik pada keris.Tinggal bagaimana generasi sekarang ini dalam memperlakukan keris apakah hanya sekedar barang pajangan/pameran semata atau malah menjadi barang komoditi/dagangan yang tidak berbeda dengan barang komersial yang lain.
RICIKAN KERIS
ricikannama

Bagian dan sekaligus bentuk penghias bilah keris disebut ricikan.Ricikan sendiri berarti bagian atau rincian.Sebagian besar ricikan keris menempati bagian pangkal keris atau disebut sor-soran.Semua ricikan pada bilah keris dikelompokkan ke dalam empat bagian,yaitu:
1).Bagian Tangkai Bilah atau Pesi
Panjangnya rata-rata 6-7 cm.Ada sekitar 6 ragam bentuk yaitu:
1.Pesi gilig ajeg yang bentuknya silindris,diameternya 6-7 mm.Jenis pesi ini biasanya pada keris muda atau nom-noman.
2.Pesi gilig mucuk bentuknya mirip pesi gilig ajeg,tetapi makin ke ujung diameternya makin mengecil.Biasanya terdapat pada keris tangguh tua terutama tangguh Majapahit dan Mataram.
3.Pesi rada gepeng bentuknya mirip pesi gilig ajeg,tetapi penampang melintangnya tidak berbentuk lingkaran tetapi elips.
4.Pesi puntiran agak mirip pesi gilig mucuk,tetapi sekitar 3-4 cm menjelang ujung batang pesi dipuntir.
5.Pesi tindhikan yaitu pesi yang bagian ujungnya dipipihkan lalu dilubangi.Dalam dunia perkerisan,pesi tindhikan sering dianggap keris buatan empu Jaka Sura.
6.Pesi Tapak Jalak pada permukaan ujungnya diberi dua guratan bersilang atau diprapat,yang diisi emas atau perak.Dianggap memiliki tuah tertentu.Di karaton Surakarta,dulunya merupakan penanda keris buatan empu Brajakarya,seorang empu di zaman Paku Buwono IV-V.
2).Bagian Alas Bilah atau Ganja
Bagian alas bilah atau dasar bilah disebut dengan ganja.Ada beberapa variasi bentuk berdasar penampangnya.Dari samping dikenal bentuk:
1.Sebit Ron Tal
2.Wilut
3.Dhungkul
4.Kelap Lintah
5.Sepang
Dari penampang atas dikenal bentuk:
1.Nguceng Mati
2.Nyebit Ron Tal
3.Nyirah Cecak
Batang ganja mempunyai bentuk-bentuk ricikan sebagai berikut:
1.Sirah Cecak
2.Gulu Meled atau Gulu Cecak
3.Weteng Cecak
4.Kepet Urang
5.Kanyut atau Buntut Mimi
6.Greneng biasanya berisi :
a).Ri Pandan
b).Ron Dha
c).Thingil
7.Wuwungan adalah permukaan ganja yang tetap nampak apabila keris disarungkan.
8.Omah-omahan adalah lubang ganja yang ditembus pesi.
3).Bagian Pangkal Bilah atau Sor-soran
ricikan-keris-22

10135_103893312955641_100000049193010_106583_6647358_n
Foto Pangkal Keris atau Sor-soran
Pada bagian pangkal bilah atau sor-soran terdapat:
1.Pejetan atau Blumbangan
2.Bawang Sebungkul atau Genukan
3.Gandhik yang memiliki ragam bentuk seperti:
a).Lugas
b).Lugas Panjang
c).Laler Mengeng
d).Panji Penganten
e).Kembar
f).Bentuk Binatang atau Manusia yang distilir
Apabila bukan gandhik lugas biasanya berisi:
a).Lambe Gajah
b).Jalen atau Ilat Baya
c).Kembang Kacang atau Tlale Gajah dengan hiasan praen dan jenggot.
Bentuk kembang kacang ini juga bermacam-macam,yaitu:
c.1.Kembang Kacang Pogog
c.2.Kembang Kacang Bungkem
c.3.Kembang Kacang Nguku Bima
c.4.Kembang Kacang Ngecambah Aking
c.5.Kembang Kacang Nggelung Wayang
4.Tikel Alis juga memiliki ragam bentuk,seperti: jugag,cekak,rangkep,nrajang gandhik,nggagang terong,nggagang pohung,dhemes blumbangan,dhemes sekar kacang mlocok blumbangan,wiyar lajer kruwingan.
5.Sogokan ngajeng/ngarep/depan
6.Sogokan wingking/mburi/belakang
7.Janur/Sada
8.Puyuhan/Bebel
9.Sraweyan
10.Pidakan
11.Tungkakan
12.Wadidang
13.Pudhak Sategal depan-belakang
14.Gandhu
15.Ron Dha Nunut
4).Bagian Tubuh atau Awak-awakan dan Pucuk Bilah atau Panetes
Pada bagian tubuh atau awak-awakan terdapat:
1.Ada-ada atau Dhadha,dengan ragam irisan melintang antara lain:
a.Nggeger Sapi
b.Ngadal Meteng
c.Nglimpa
2.Kruwingan atau Plunturan
3.Gula Milir
4.Gusen
5.Lis-lisan
6.Hatirah-tirah atau landhep
7.Ucu-ucu
8.Lengkeh
9.Panetes atau Panitis(Pucuk Keris),bentuknya juga bermacam-macam yaitu:
a.Nggabah Kopong
b.Mbuntut Tuma
c.Ngudhup Gambir
d.Nyujen Sate
e.Nugi Pinetet
f.Ngumyang
Beberapa Jenis Dhapur Keris
Betok

betokkamardikan
Keris Betok adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus,bentuknya amat sederhana,lebih lebar,panjangnya kira-kira hanya separo atau tiga perempat panjang keris yang normal.Gandiknya polos/lugas,berukuran agak panjang,pejetannya luas dan dangkal.Selain itu tidak ada ricikan lainnya.Gambar di atas adalah salah satu keris berdhapur Betok tangguh Kamardikan.Namun untuk keris Betok yang tangguh Kabudan,biasanya dipakai sebagai keris tindih,keris peredam sifat-sifat yang kurang baik.
Brojol
sombro
Foto keris brojol yang sering disebut Keris Sombro

Adalah salah satu dhapur keris lurus,ada dua versi.Yang pertama,panjang bilahnya hanya 15-19 cm,bilahnya tipis rata dan biasanya merupakan keris kuno.Pejetannya hanya samar-samar,gandhik polos dan tipis.Kadang-kadang memakai ganja iras.Kadang juga ada lekuk-lekukan dangkal sepanjang bilah seperti bekas pijitan tangan.Keris ini sering disalah kaprahkan sebagai keris Sombro,nama empu wanita jaman Pajajaran.
brojol2
Foto keris Brojol versi kedua
Jenis yang kedua ukuran panjang bilahnya sama dengan keris biasa,sekitar 30-35 cm.Gandhik polos pakai pejetan,tanpa tikel alis dan ricikan lainnya.Tuahnya adalah untuk memperlancar persalinan.
Cengkrong
cengkrong
Foto Keris Cengkrong leres

Keris Cengkrong adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus,panjang bilahnya sedikit lebih pendek dibandingkan keris yang lain.Posisi bilahnya lebih membungkuk.Gandhiknya panjang,kadang sampai lebih dari setengah bilah,sehingga ganjanya bentuknya juga lain.Tidak ada ricikan lainnya kecuali bentuk perpanjangan antara pejetan dan kruwingan.
cengkrong-luk7
Foto Keris Cengkrong Luk 7
Dalam perkembangannya selain keris cengkrong selain yang lurus,juga ada yang berluk tiga,lima,sampai tujuh,namun namanya tetap Cengkrong.Luknya itu ditempatkan di atas gandhik.Ada juga kreasi baru dengan tambahan ricikan lainnya seperti memakai kembang kacang dan jenggot sungsun.Keris ini dulunya banyak dipakai oleh mereka yang mendalami bidang keagamaan,seperti para ulama.
Condong Campur
condong-campur3
Foto Keris Dhapur Condong Campur

Salah satu bentuk dhapur keris lurus yang ukuran panjangnya sedang,permukaan bilahnya nglimpa,tanpa ada-ada.Keris ini memakai ricikan: Kembang kacang dan lambe gajahnya satu,sogokan depan saja,memanjang sampai ke ujung bilah.Bilahnya memakai gusen dan lis-lisan.Ricikan lainnya tidak ada.
Cundrik
empu_pauzan_pusposukadgo_3
Foto Cundrik buatan Empu Pauzan Pusposukadga dari Solo
cundrikpthut
Foto Cundrik Sajen

Cundrik adalah dhapur keris lurus berukuran sedang sampai kecil,antara 22-36 cm.Bilahnya agak tebal,dan posisinya agak membungkuk.Gandhik keris polos terletak di belakang,ukurannya panjang sampai setengah panjang bilah.Disamping tepi gandhik terdapat kruwingan.Sepintas lalu memang mirip dengandhapur Cengkrong,Bedanya pada dhapur Cengkrong terdapat sraweyan.Ada juga cundrik yang memakai sogokan dan greneng.
Jalak Buda
jalak-buda
Foto Keris berdhapur Jalak Buda

Keris berdhapur Jalak Buda adalah keris lurus,lebar,pendek dan tebal.Bentuknya sederhana.Gandhiknya polos,pejetannya dangkal,sogokannya rangkap dan tipis,kadang-kadang memakai tingil.Ricikan lainnya tidak ada.
Permukaan bilahnya biasanya tidak rata,melainkan keropos seperti bopeng.Besinya memiliki kesan nglempung,bagai tanah liat.Keris berdhapur Jalak Buda diduga merupakan keris generasi pertama di Nusantara.Dari segi tuah,keris Jalak Buda mempunyai tuah yang baik bagi keselamatan.Itu sebabnya keris ini juga dipakai sebagai keris tindih,yaitu sebagai peredam tuah keris lain yang galak,keras,buruk dan mengganggu.
jalak_budha
Foto Keris Dhapur Jalak Buda dengan Methuk
Keris lainnya yang juga merupakan generasi pertama,yakni pada Zaman Kabudan,yaitu keris berdhapur Betok dan Brojol.Salah satu ciri khas Jalak Buda adalah adanya methuk di bawah ganjanya.Dengan adanya methuk ini,ukiran yang dipasang pada keris Jalak Buda tidak lagi memerlukan mendak.
Jalak Dinding
jalak-dinding
Foto Keris berdhapur Jalak Dinding

Keris dhapur Jalak Dinding disebut juga Jalak Dingin,adalah keris lurus berbilah sedang,memakai gusen,pejetan dan tingil.Selain itu tidak ada ricikan lainnya.Sepintas lalu keris ini mirip dengan keris berdhapur Tilam Sari.Bedanya hanya terletak pada gusen yang ada di sepanjang bilah.
Jalak Ngore
jalak-ngore
Foto Keris dhapur Jalak Ngore

Keris Jalak Ngore adalah keris berbilah lurus,panjang bilahnya sedang,ada-adanya terlihat jelas dan tepat sampai ke ujung bilah.Keris dhapur Jalak Ngore bergandik polos,memakai pejetan,tikel alis biasanya dangkal,sraweyan dan greneng.Ricikan lainnya tidak ada.
Jalak Nguwoh
jalak-nguwuh
Foto Keris dhapur Jalak Nguwoh
Jalak Nguwoh adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus,ukurannya sedang,gandik kerisnya polos,memakai pejetan dan thingil.Ada-adanya terlihat jelas dan tebal sampai ke ujung bilah.Dengan demikian permukaan kerisnya nggigir lembu.Ricikan lainnya tidak ada.
Sebagian pecinta keris menamakannya dengan dhapur Jalak Nguwuh,tapi sebenarnya kurang tepat,karena nguwuh itu bermakna menyampah,tapi ada juga yang mengartikan nguwuh itu memanggil atau menyapa.Sedangkan Nguwoh,berarti berbuah.Padahal dalam pemberian nama,orang Jawa selalu mengacu pada hal-hal yang baik.
Jalak Nguwung
jalak-nguwung
Foto Keris dhapur Jalak Nguwung karya Mpu Sukamdi,Surakarta

Dhapur Jalak Nguwung berbilah lurus,ukuran sedang,gandik polos,dengan pejetan,sogokan depan panjang hingga setengah tinggi bilah,memiliki sraweyan dan greneng bisa ada bisa tidak.Nguwung berarti berbentuk cekung.
Jalak Sangu Tumpeng
jalak-sangu-tumpeng
Foto Keris dhapur Jalak Sangu Tumpeng

Keris dhapur Jalak Sangu Tumpeng adalah salah satu bentuk dhapur keris yang bilahnya lurus,ukurannya sedang.Gandiknya polos,pakai pejetan,tikel alis,sogokan rangkap,sraweyan dan tingil.Ricikan lainnya tidak ada.
jalak-sangu-tumpeng-sor2an
Foto Keris Jalak Sangu Tumpeng pada bagian Sor-soran
Diantara para pecinta keris banyak yang beranggapan bahwa keris berdhapur Jalak Sangu Tumpeng ini umunya mempunyai tuah yang membuat pemiliknya mudah mencari rejeki.Itulah sebabnya keris ini biasanya dimiliki oleh para pedagang,pengusaha,atau sejenisnya.Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek,pusaka Keraton Kasultanan Jogjakarta yang terkenal itu juga berdhapur Jalak Sangu Tumpeng.
Jalak Sangupati
jalak-sangupati-pb-ix
Foto Keris dhapur Jalak Sangupati

Keris berdhapur Jalak Sangupati tergolong keris lurus yang langka.Permukaan bilahnya nggigir sapi karena keris ini memakai ada-ada.Ricikan lainnya adalah kembang kacang pogok,jalen,dua lambe gajah,sogokannya hanya satu yakni sogokan depan,sraweyan dan greneng sungsun.Jalak Sangupati adalah dhapur kreasi baru yang mulai ada sejak zaman pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IX,raja karaton Surakarta.
Jalak Sumelang Gandring
jalak-sumelang-gandring
Foto Keris dhapur Jalak Sumelang Gandring

Jalak Sumelang Gandring merupakan dhapur keris lurus.Ukuran panjang bilahnya sedang.Keris ini bergandik polos,memakai pejetan,sogokannya hanya satu di depan.Sogokan belakang tidak ada.Selain itu juga memakai tikel alis,kruwingan dan tingil.Bagian ada-adanya cukup jelas,permukaanya nggigir sapi.
Jalak Tilam Sari

jalak-tilamsari
Foto Keris dhapur Jalak Tilam Sari

Keris berdhapur Jalak Tilam Sari termasuk keris lurus,ukuran bilahnya sedang.Mempunyai gandik polos,pejetan dan tikel alis,dan sraweyan.Tingilnya berbentuk ri pandan.