Social Icons

Blog Keris Pusaka;silakan call/sms ke nomor;087855335960 @ 081235415435

Pages

Sabtu, 08 Desember 2012

Keris Sriwijaya

SEKEDAR CONTOH /BENTUK KERIS BUATAN KERAJAAN KALINGGA/RAJA SRIWIJAYA .,.                          Sriwijaya, disebut dengan berbagai macam nama Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu, adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di Nusantara didirikan di pulau Sumatera, seorang pendeta cina I Tsing mencatat sejak pada tahun 671M Sriwijaya sudah ada, pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa (prasasti kedukan Bukit 682M).

Selanjutnya Sriwijaya berkembang dengan menaklukan kerajaan lain di nusantara Itsing mencatat Melayu dan Kedah telah menjadi kekuasaan Sriwijaya, Berdasarkan prasasti kota kapur yg berangka tahun tahun 686 kemaaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, ini menjelaskan runtuhnya tarumanegara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah, pada saat yg sama menguasai lampung (prasasti palas pasemah lampung Selatan),

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina.Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Sriwijaya juga berperan menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa, Prasasti Pucangan menyebut sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Teguh Darmawangsa. Selain Wura wari wangsa syailendra di Jawa Tengah (abad 9 M) juga merupakan kerajaan bawahan dan berasal dari Sriwijaya (Buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan Balai Pustaka) hal ini didasarkan pada beberapa prasasti berkaitan dengan wangsa Syailendra di jawa yang ditulis dalam bahasa Melayu kuno (bahasa yg digunakan di Sriwijaya) diantaranya prasasti Sojomertodan  prasasti Kalasan, didukung prasasti ligor yang ditemukan di Thailand.

Pada akhirnya daerah kekuasaan dan kerajaan bawahan Sriwijaya menjadi sangat luas sehingga membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang), Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Luasnya wilayah kekuasaan dan kekuatannya secara militer dan akumulasi kekayaan kerajaan Sriwijaya membuat kerajaan ini banyak memberi pengaruh pada kerajaan lain di Nusantara.
Penaklukan wilayah yang begitu luas yang dilakukan Sriwijaya tentu didukung dengan persenjataan yang paling canggih pada masanya ,  contoh keris yang dipercaya sebagai peninggalan Sriwijaya

ARTIKEL KERIS BUGIS /SUMBAWA MELAYU

Tak mudah menyusun sebuah buku tentang keris Sulawesi, kita harus mengakui bahwa notasi kuno pun dipastikan tak memadai, sementara nara sumber tutur sering mengalami pergeseran. Dalam pengetahuan keris kita masuk pada tafsir-tafsir…. Lalu sebagiannya berkait pada artefak keris itu sendiri dan manuscript yang ditemukan.

Diskusi Senjata Pusaka Bugis, 12 Nopember 2011, cukup menggairahkan dengan pemaparan yang sangat komprehensif dari prof. Ahmad Ubbe yang lalu diramaikan oleh hipotesa atau pendapat-pendapat dari Dr. Ramli Raman dari Malay University, yang membawa banyak kabar tentang penelitiannya. Keduanya memiliki banyak detail-detail yang berbeda, tetapi satu kesamaan bahwa keduanya sepakat apa yang disebut Bugis terkait perkerisan bukan asal-usul “keris” tetapi “bugis influence” atau pengaruh Bugis memang ada dimana-mana. Nomenklasi pada keris Bugis – Melayu memang sangat kaya sehingga tampaknya perlu dikuatkan dengan pembakuan istilah bersama para komunitasnya dari sisi pandang yang berbeda-beda.

Dalam buku ”Pesona Hulu Keris”, saya (penulis) pernah ungkapkan dengan hati-hati : ”Although there is not a lot of information about the Malay Peninsula kris, the kris lover communities that have emerge in Malaysia and Singapore are now trying to discover past kris, There for, there are many terminologies for kris hilt that are due to the friendship and influence of the etnic language on the Malay Peninsula. An example is Anak Ayam Sejuk kris hilt for Jawa Demam……./ Tidak banyak catatan tentang keris Semenanjung Malaya, tetapi sekarang mulai diangkat dengan baik oleh komunitas penggemar keris yang berkembang di Malaysia dan Singapura. Oleh sebab itu sangat banyak istilah-istilah hulu keris yang ada lahir karena pergaulan dan pengaruh bahasa etnik Semenanjung Malaya, seperti sebutan hulu keris Anak Ayam Sejuk, untuk menyebut Jawa Demam......”. (132; The Beauty of Krist Hilt).Tinjauan etnografis tampaknya harus menyertai penelitian dan kemudian dikemukakan dalam berbagai hal, bahwa orang Bugis adalah insan bahari dan telah berasimilasi dengan suku-suku lain di Semenanjung bahkan ke Sumbawa. Disinilah akulturasi terjadi, sehingga mewarnai pada kerisnya, pada sarung (sampirnya) dan busana adatnya.

Jika analisa persebaran keris Jawa punya ”Ekspedisi Pamalayu”, Negara Kertagama... titik tolak buku keris bugis tampaknya masih ada kerancuan terutama pada tafsir-tafsir, apalagi jika persebaran pengaruh Bugis berpijak pada sastra atau roman sejarah I La Galigo... Namun semua kebutaan terhadap Senjata Pusaka Bugis sudah dibuka jendelanya oleh sebuah buku yang sarat dengan bahasa lokalnya, untuk dilanjutkan oleh hasil penelitian para peminat penelitian keris Bugis lainnya.

Ilmu sosial budaya bukanlah ilmu eksakta, mereka akan mengikuti temuan baru, analisa baru atau bukti ilmiah yang baru dikemudian hari nanti, dan kita pahami bersama sebagai sesuatu yang akan terus menuju kesempurnaannya.
Bravo Bugis - Melayu.
GAGRAK SEBAGAI ISTILAH YANG MULAI POPULER
Dibandingkan pada tahun 1980-an, keris-keris yang kita jumpai sangat terbatas, antara lain umumnya keris tangguh Majapahit dan Mataram. Setelah masa euforia (Indonesia mendapat pengakuan UNESCO), sosialisasi perkerisan semakin semarak. Pameran dan bursa diadakan dimana-mana, keris-keris bermunculan, semakin variatif karena apa yang belum pernah kita lihat mulai bermunculan. Keris penemuan (ditemukan di sungai) mulai terkenal dengan keris Singasari, kini Palembang sungai Musi juga mulai sering ditemukan keris-keris yang spektakuler baik detailnya maupun penggarapannya hingga pada asesorinya, diduga jaman Sriwijaya. Kemudian keris bermuculan di Jawa Barat (Cirebon) sungguh mempesona dengan sarung dan asesori yang sangat kaya model. Kekayaan dhapur rupanya tak terbatas pada yang sudah tertulis di buku-buku yang ada, keris mulai disimpulkan sebagai ’seni rupa’ senjata. Artinya keris-keris yang ada (sepuh) adalah karya yang diciptakan oleh seniman (empu) dengan gaya dan idenya masing-masing.Area ditemukannya di Banten - dengan hulu keris khas Jawa Barat.Ditemukan di area Mataram - dengan warangka original Mataram dan Ukiran tanpa PatraKajian-kajian terhadap keris juga terus dilakukan, sehingga melahirkan pengetahuan baru, menambah dan menyempurnakan yang ada, juga merevisi tulisan-tulisan terdahulu. ’Kawruh Padhuwungan’ menjadi semakin kompleks. Jika masa lalu kita terkagum-kagum oleh tulisan GJ. Tammens, W.H. Rassers dengan 'On the Javanese kris', Dr. Isaac Groneman dan penulis lainnya, perkembangan notasi tentang keris kemudian tidak berhenti begitu saja, muncul tulisan ‘The World of The Javanese Kris’ – Garrett Solyom, David Van Duuren dengan ‘An Earthly Approach to a Cosmic Symbol’, kemudian Karsten Sejr Jensen menyusun ‘Kris Disk’.

Ada beberapa hal yang menarik adalah mengenai ”tangguh”. Boleh dikatakan hampir semua penulisan tentang tangguh hanya dilakukan oleh penulis-penulis Indonesia seperti pada buku-buku kuno 'Pakem Katjoerigan’ oleh Tanojo R., ’Ular-ular Panangguhing Dhuwung’ oleh Suranto Atmosaputra, ’Dhuwung Winawas Sakwatawis’ oleh Darmosoegito, ’Pakem pengetahuan tentang Keris’ oleh Kusni, Serat Centhini dan juga penulis seperti Haryono Arumbinang, Bambang Harsrinuksmo.... mereka dengan segala cara menggambarkan tentang tangguh keris dengan kata-kata agar memadai apa yang dimaksud. Saat itulah muncul sebuah kesenangan menentukan tangguh keris. Pengayaan sebutan semakin merebak seperti gagah, wibawa dlsb, sementara apa yang digambarkan dengan kata-kata sering tak bisa ditangkap bentuk visualnya secara tepat, karena karya tulis waktu itu tidak disertakan dokumentasi foto, bahkan tidak melalui research yang serius.

Istilah 'tangguh' bisa disimpulkan artinya adalah ’perkiraan jaman pembuatan’ yang ditentukan dari bentuk keris, dimana bentuk keris itu mempunyai ciri-khas gaya (characteristic style) tertentu sesuai jamannya. Pemahaman ini telah dirintis oleh para sesepuh keris masa lalu, seiring dengan penulisan pada buku-buku yang ada. Kemudian pula, dalam komunikasi para penggemar keris ciri-khas gaya perwujudan seutuhnya (keris bersama warangkanya) diistilahkan dengan kata ”gagrak”, yang kemudian entah dari mana pemahaman itu hadir menjadi sangat kental pengertian ’gagrak’ adalah gaya dari perwujudan seutuhnya sesuai jaman kerajaan atau kedaerahannya. Gagrak dalam bahasa Jawa artinya tampan, gagah.... mungkin korelasinya dengan istilah gagrak keris adalah ”postur” atau ”dedeg”. Artinya melihat dedegnya bisa ditentukan gagrak keris itu adalah Hamengku Buwanan, Pakubuwanan, Luar Jawaan, atau Balian... dst (?). Walaupun mungkin bilahnya adalah tangguh Majapahit atau Mataram. Istilah 'gagrak' lebih dititik beratkan pada aliran jenis warangka dan keharmonisan antara warangka dengan hulu kerisnya.


Ditemukan di area Mataram - dengan warangka original Mataram yang patah dan Ukiran tanpa Patra.
Kesepakatan ’tangguh’ memang terasa riskan, oleh sebab tuntutan agar 'tangguh' lebih dapat 'dipastikan' atau bukan hanya 'perkiraan'. Seolah nilai 'kebenaran ilmiah' menuntut 'tangguh' menjadi kajian akademik terutama pada rintisan ”kerisologi”. Sedangkan yang berkembang dengan istilah 'gagrak' tampaknya lebih menuju simplifikasi (penyederhanaan) demi kesenangan bersama, atau demi perdagangan (barang antiq), sehingga selain istilah 'tangguh' , mulai populer istilah 'gagrak' yang kini menjadi sebuah kerangka pengelompokan. Misalnya yang disebut 'gagrak Surakarta', 'gagrak Ngayogjakarta', 'gagrak Jawa Timuran - Madura', tentu akan menimbulkan pertanyaan pula 'gagrak Majapahitan', 'gagrak Pajang', 'gagrak Mataram' dlsb, itu yang bagaimana...? Sementara kita tak pernah mengetahui yang sebenar-benarnya...

Berbeda dengan Karsten dalam ’Kris Disk’ lebih suka menulis secara jujur (ilmiah) tanpa menyebut 'tangguh' pada setiap foto kerisnya dengan keterangan asal-muasalnya sesuai letak geografis dimana ditemukannya. Dilema tentang ”tangguh” memang masih perlu direnungkan dan ditinjau kembali. Sementara pembiasaan menyebut 'gagrak' juga sangat memungkinkan memunculkan perdebatan. Apakah generasi mendatang cukup bisa menerima begitu saja (?). Sementara itu kesenangan atau hobby untuk menentukan 'tangguh' dan menerima pemahaman 'gagrak' telah bersahabat secara alamiah oleh komunitas penggemar keris di Indonesia, menjadi sebuah ’dinamika’ yang pada nantinya akan dituntut pula ’keilmiahannya’... (TJ).


Ditemukan di area Cirebon, bilahnya menurut beberapa penangguh dianggap tangguh Mataram Amangkurat, sementara beberapa penanguh yang berkecimpung dengan keris Cirebon menyebut tangguh Cirebon
SULITNYA MENGUAK PENEMUAN SRIWIJAYA




Penemuan sungai Musi, mendak Sriwijaya yang telah aus ornament 'tumpal'nya.

Saya pikir dan renungkan ternyata begitu sulitnya merangkai perjalanan keris. Saya menyimpulkan bahwa ’sejarah’ keris tidak bisa dituliskan dengan sembarangan dan digampangkan. Setidaknya penelitian archeologist harus berperan. Sudah hampir 2 tahun saya mengikuti jejak penemuan Sriwijaya, karena seorang teman sedang berkutat disana... berburu dan mencatat penemuan sungai Musi. Beberapa hal sangat menakjubkan... ada kemungkinan akan mengubah hipotesa ”keris Singosari” atau lebih tepat disebut jaman Kediri. Bahkan prototype keris jaman itu pun mungkin perlu dikaji ulang, karena pemahaman kita belum melalui penelitian dari manuskrip kuno, sosiologi, anthropologi dan archeo metallurgi. Kita menyerahkan pemahaman-pemahaman yang ada sekarang ini pada kawruh yang turun temurun minim data ilmiah.


Miniatur yang mungkin hanya dapat dicapai dengan alat kuno yang lebih sederhana.


Perhatikan mendak (ring) Sriwijaya yang tak ternilai harganya oleh karena pekerjaan yang sangat rumit dan detail, dengan ornament tumpal yang merupakan chronogram (simbol tahun).


Sriwijaya jauh lebih tua dari jaman Kediri (Mataram Hindu?) ... pada penemuan-penemuan sungai Musi sangat jelas hampir mayoritas keris yang ditemukan memiliki prototype sama dengan penemuan Brantas yang dikategorikan Kediri (saya lebih suka menyebut Kediri dari pada Singosari). Keris di sekitar Sumatera selatan ini, saya yakini pastilah sangat indah dan bukan sembarangan. Beberapa indikasi prototype keris Sriwijaya saya temukan masih sama dengan Melayu (Palembang/Kesultanan) dimana masih ditandai sisa-sisa estetika 'greneng' dari masa Budha Sriwijaya, serta teknologi emasnya yang tak tertandingi. Tetapi berbeda pada penampang gonjo (sirah cecak) serta postur condong leleh yang sangat membungkuk. Sedangkan keris penemuan Musi jika dibandingkan keris penemuan Brantas terdapat perbedaan pula pada sirah cecak (penempang gonjo) dan perbedaan pada ornamental asesori emas terutama pada mendaknya (ring). Ada beberapa peninggalan seni emas yang sangat signifikan menunjukkan bahwa sebuah kebesaran keris Sriwijaya pernah di-agungkan.


Penemuan Sriwijaya sangat berbeda pada sirah cecak dan rumbai grenengnya dibandingkan temuan Brantas, tetapi yang paling signifikan adalah pada mendak bawaan yang masih menyatu, ornament tumpalnya sudah aus, tersisa tiang pegangannya saja.


Pergeseran alat, keinginan pada kepraktisan menurunkan nilai pada hasil karya kriya emas yang canggih di jaman lampau.

Penemuan ”ring keris” (mendak; Jw) dapat menjadi indikasi bahwa memang penemuan Musi dan Brantas tidak sama, dimana tampak bergeser dari detil yang indah.

Berbeda pula setelah jaman Kesultanan dimana semua menjadi sederhana oleh sebab hal: 1. Pengabdian seniman pandai emas (Panday Tamraga) jaman Budha. 2. Kehidupan yang layak bagi seniman waktu jaman Budha. 3. Ada pergeseran teknologi emas.


Terjadi penyederhanaan dimana ornament tumpal berubah menjadi untu walang (Kesultanan)

Mungkin perlu menelusuri bab 3... tentang pergeseran teknologi emas, saya menganalisa teknik tiup (ubub) masa kuno masih menggunakan mulut, sementara kemudian teknologi maju menggunakan ububan kaki, sehingga pekerjaan yang sangat kecil dan detail mulai disederhanakan oleh sebab kemampuan alat sudah berbeda pencapaiannya. Ububan kaki memang lebih cepat dan praktis, sementara teknik kuno menjangkau kerumitan yang tiada tara.

Keris Sriwijaya (Palembang) terus mempengaruhi prototype jaman berikutnya, yang mungkin pula dibawa oleh para seniman mantan pengabdi Tarumanegara... ke timur, lalu hijrahnya empu-empu pada jaman Pajajaran... Ada indikasi bukan oleh sebab ekspedisi Pamalayu dari Singosari yang kemudian mempengaruhi keris-keris seperti yang ditemukan di sungai Musi...?

Sejarah dan Gaya Keris Sumbawa

;gambar/contoh keris lurus sepokal dan luk,sumbawa/bimo/sulawesi;
DI Jawa keris disebut juga Dhuwung atau Curiga; di Minangkabau disebut Kerieh; di Lampung disebut Terapang; atau Punduk; di Sulawesi disebut Sale atau Kreh; di Bali disebut Kedutan; di Nusa Tenggara Barat disebut Keris (Lombok) dan Sampiri (Bima). Sedangkan di luar Indonesia, seperti di Filipina keris dinamakan Sundang, dalam bahasa Inggris disebut Creese, yaitu serapan dari keris (bahasa Indonesia). Kata keris pertamakali ditemukan pada Prasasti Karang Tengah yang terbuat dari perunggu dari Karang Tengah, Magelang yang berangka tahun 748 Caka (824 Masehi), serta Prasasti Poh dari Jawa Tengah yang berangka tahun 829 Caka (907 masehi).
Sejarah Keris di Sumbawa
Pada Masa Majapahit (abad XIV) keris telah mencapai masa puncaknya, kemudian menyebar ke wilayah kekuasaannya antara lain: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa (Dompu, Bima, Taliwang), termasuk juga Malaysia, Brunei, Filipina, Kamboja, dan Thailand.
Gaya keris Sumbawa baik dari suku bangsa Mbojo (Bima dan Dompu) maupun suku bangsa Samawa (Sumbawa) mirip gaya keris Sulawesi Selatan (Bugis). Berarti budaya keris yang masuk melewati lintas utara, yakni melalui Bugis-Makasar masuk ke Sumbawa.
Di desa Penana (Bima), masih ada beberapa kelompok pande besi yang pada abad ke-20 masih membuat keris. Pada waktu dahulu, di kalangan Kesultanan Bima, bila akan membuat keris akan dipanggil semua tukang ke istana untuk membuat bilah keris dan kelengkapannya sesuai dengan keinginan raja. Tidak seperti keris Jawa, keris Sumbawa tidak jelas tangguh-nya sehingga tidak mudah untuk mengetahui di mana keris tersebut dibuat. Belum diketemukan prasasti atau naskah yang menyebutkan pembuatan keris atau asal keris di Sumbawa.
Bentuk dan Gaya Keris Sumbawa
Keris Sumbawa lebih pendek ukurannya yaitu 34-51 cm, dibandingkan keris Jawa yang berukuran sedang yaitu 49-51 cm. Keris Sumbawa tidak banyak berbeda bila dibandingkan dengan keris Mbojo. Keris yang berpenampilan mewah disebut keris tatarapang. Keris tatarapang milik Kesultanan Bima bernama Lasmpraja; milik Kesultanan Dompu bernama Balaba; sedangkan milik Kesultanan Sumbawa bernama Baruwayat. Keris jenis ini bagian gandar maupun wrangka-nya dilapisi perak atau emas yang ditatah. Di wilayah Sumbawa khususnya Kabupaten Bima juga ada keris yang berukuran sedang, yang disebut Saronggi. Ada juga keris yang berukuran besar, yang disebut Sunda, yang bisanya dipakai oleh para pegawai Kesultanan Bima pada masa lalu. Pamor pada Keris Sumbawa kurang bervariasi dan kurang jelas. Keris Sumbawa diperkirakan menggunakan bahan pamor dari Luwu Sulawesi Selatan, yang bukan berupa batu meteor tetapi dari biji besi.
Bilah keris dari Sumbawa juga mempunyai dua bentuk yaitu lurus dan luk (berkelok). Jumlah luk keris dari Sumbawa mulai dari luk tiga hingga luk lima belas. Motif pamor keris Sumbawa secara umum sama dengan pamor keris Jawa. Ada sedikit perbedaan, misalnya; pamor kalisu (useran kepala) pada keris Bima, untuk keris Jawa bernama pamor mailut.
Hulu keris Sumbawa berbentuk ekor lebah, kepala burung, dan ular, yang biasanya terbuat dari kayu, gading, atau tulang, dipakai oleh rakyat biasa. Hulu berbentuk Sang Bima, hanya dipakai pada keris Tataparang yang menjadi pegangan para Sultan Bima. Hulu berbentuk raksasa Niwata Kawaca hanya dipakai oleh para petugas yang memimpin penjagaan di perbatasan. Keris dengan hulu berbentuk Burung Garuda dipakai oleh pejabat kerajaan sekte Manggapo Donggo, sedangkan yang berbentuk naga dipakai oleh pejabat kerajaan sekte Bilmana, dan yang berbentuk manusia duduk dipakai oleh pemuka agama.
Mendak dan selut terbuat dari logam lebih lunak yaitu emas, perak, tembaga, atau kuningan. Mendak berbentuk bulat menyerupai cincin, terletak di antara ganja dan hulu. Sedangkan selut (bungkus) berbentuk bulat pepat, membungkus pangkal hulu dan berssun terhadap mendak. Keris Sumbawa memakai mendak yang menyatu dengan selut, yang dinamakan kili-kili, yang berhias dengan pola tumpal, sulur, bunga, geometris, yang dibuat dengan teknik patrian atau tatahan.
Pada waktu dahulu di Sumbawa, keris yang perhiasannya terbuat dari emas hanya boleh dipakai oleh bangsawan istana, sedangkan rakyat biasa hanya boleh memakai keris yang perhiasannya terbuat dari perak. Perhiasan keris Sumbawa membungkus seluruh sisi wrangka.
Fungsi Keris bagi Masyarakat Sumbawa
Di Bima dan Dompu yang berasal dari satu etnis Mbojo, yang mendiami bagian timur Pulau Sumbawa, mempunyai tradisi menganugerahkan keris kepada anak laki-lakinya yang dikhitan. Tradisi ini dinamakan compo sampiri, yang masih berlangsung sampai sekarang. Si anak yang telah dianugerahi keris (compo) dari kakeknya (sampii), kemudian melakukan maka dengan ucapan: "Mada dau raga, wau jaga sarumbu" yang artinya "saya laki-laki jantan, sanggup menjaga diri atau membela diri."
Pada masyarakat Sumbawa, untuk memenuhi tuntutan religi dan spiritual dalam daur hidupnya (perjalanan hidupnya), masih melakukan upacara ritual yang menggunakan keris, misalnya pada acara khitanan dan perkawinan. Sehingga menimbulkan suasana rapi, bersih, anggun dan mewah. Cara memakai keris pada masyarakat Sumbawa dengan menyelipkannya pada pinggang depan sebelah kanan yang disebut salongi (Mbojo) atau bagadu (Sumbawa).
Di Kesultanan Bima, keris tatarapang menjadi tanda atau lambang kekuasaan sultan, sehingga pada waktu penyerahan kekuasaan kesultanan ditandai dengan penyerahan keris. Keris juga dapat digunakan sebagai lambang status sosial, misalnya berdasarkan tanda hulu atau perhiasan yang ada. Pada upacara sorong serah aji krama, pembayun membawa salah satu unsur arta gegawan berupa keris yang disebut kao tindoq (kerbau tidur), yang melambangkan keamanan dan ketentraman.
Keris juga dapat digunakan sebagai benda yang mengandung tuah, daya kesaktian, serta dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kepercayaan diri, menyembuhkan penyakit, menolak hama, menghindarkan diri dari gangguan magic atau roh jahat, serta untuk mencari rejeki.
Karena masyarakat Sumbawa masih berpegang teguh pada adat dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, maka keris masih bertahan sebagai kelengkapan busana, bahkan dianggap sebagai kesopanan dalam berbusana secara adat. Keris sebagai benda budaya warisan nenek moyang yang dapat dihargai sebagai ungkapan ide, nilai seni, nilai filosofi, nilai teknologi, nilai simbolis, benda pajangan, serta sebagai obyek keilmuan dan kebudayaan.
Pada saat ini hampir semua bentuk dan gaya dari berbagai jenis keris di Pulau Sumbawa, telah dikoleksi oleh Museum Negeri Propinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, yaitu berjumlah lebih dari 100 buah. Keris-keris tersebut berasal dari Suku Samawa dan Suku Mbojo di Pulau Sumbawa. (Drs Sunarno Sastroatmojo)(Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan)
Sumber: Sumbawa news

ARTIKEL Keris Lurus dapur Jalak sumelang Gandring

Keris Lurus SUMELANG, dalam bahasa Jawa bermakna kekhawatiran atau kecemasan terhadap sesuatu. Sedangkan Gandring memiliki arti setia atau kesetiaan yang juga bermakna pengabdian. Dengan demikian, Sumelang Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas ketidaksetiaan akibat adanya perubahan. Ricikan keris ini antara lain : gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dapur Sumelang Gandring termasuk keris dapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak dikenal di masyarakat perkerisan..
Konon salah satu pusaka kerajaan Majapahit ada yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring. Pusaka ini hilang dari Gedhong Pusaka Keraton. Lalu Raja menugaskan mPu Supo Mandangi untuk mencari kembali pusaka yang hilang tersebut. Dari sinilah berawal tutur mengenai nama mPu Pitrang yang tidak lain juga adalah mPu Supo Mandrang,
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai macam hadiah,Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya. Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).

Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.

Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.

Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat keris putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen -nya. Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.

Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran, yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.

Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.

Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran. Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.

Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.

Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit.

Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan keris buatan Pangeran Sedayu.

Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.

ARTIKEL CIRI KERIS MANGKUBUMEN

Empu Brajakarya


Empu Brajakarya kuwi sawijining empu kondhang ing jaman krajan Surakarta. Keris-keris gaweyane umume karan keris tangguh Mangkubumen.
Keris gaweyane bisa kawruhan saka ganjane sing kagolong sebit ron tal, saengga wujude rada mlengkung. Pucuk endhas cecake lincip. Wetengane remping lan perangan pucuk buntut urange luwih amba.
Ukuran wilah kerise sedhengan, dedege lempeng. Pesine pandhe mateng, pamore kebak warata ing wilahan. Lan umume pamore nginden utawa mantulake cahya. Cakrik pamore maneka warna, umume kagolong pamor mlumah.
Yen gawe kembang kacang, umume cakrik gelung wayang. Sogokane rada jero, janure memper sada. Yen gawe ”da” ing perangan ” ron da” pucuk-pucuke lincip lan luk-luke jero. Yen tanpa kembang kacang, gandhike digawe miring. Keris gaweyane Empu Brajakarya kagolong gagah lan sulistya ing rupa, nanging ukurane ora gedhe

Kujang - Antara Falsafah dan Mitologi Sunda


Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (tatar Sunda). bentuk senjata ini cukup unik, dari segi desainnya tak ada yang menyamai senjata ini di daerah manapun, senjata ini di Jawa Barat. Tidak adanya kata yang tepat untuk menyebutkan nama senjata ini ke dalam bahasa International, sehingga Kujang dianggap sama pengertiannya dengan “sickle” (= arit / sabit), tentu ini sangat menyimpang jauh karena dari segi wujudnya pun berbeda dengan arit atau sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di Indonesia sendiri arit atau sabit sebetulnya disebut “chelurit” (celurit). Mungkin untuk merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan kewajiban budayawan sunda, dan media cetak lokal di tatarsunda yang harus lebih intensif mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia International.

Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang memilii pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan benda pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406) Sedangkan "Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.

BAGIAN BAGIAN KUJANG

  1. Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
  2. Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
  3. Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
  4. Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
  5. Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
  6. Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
  7. Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
  8. Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
  9. Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
  10. Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
  11. Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
  12. Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
  13. Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.


SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG

Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.

Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.

Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).


BENTUK DAN JENIS KUJANG SERTA FUNGSINYA
Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:
  1. Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
  2. Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
  3. Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
  4. Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
  5. Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
  6. Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
  7. Kudi; perkakas sejenis kujang.
Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:
  1. Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.
  2. Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.
  3. Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.
  4. Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan). 
KELOMPOK PEMAKAI KUJANG
Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.

Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.
  1. Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
  2. Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
  3. Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
  4. Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
  5. Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero).
  6. Kujang Bangkong: dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
  7. Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
  8. Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.
Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.

Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.

Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.

Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.

PROSES PEMBUATAN KUJANG

Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:

1. Patokan Waktu
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).


2. Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)
Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.

3. Bahan Pembuatan Kujang
Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
  • Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
  • Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
  • Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
  • Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
  • Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
  • Tuah “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
4. Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang
Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.