![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixGLoX8ddJ7CSzx3n6_MquWS_spjj4XdSrY3ZsM2-bNinFZHzjt3zu5vneeLhhxFUCzubwXBr7nhH-JLuK-E73dMqKcr_ICYevZ9murC05ChpsAfVa6HQ5sKNts-lCMWStnwZsoxzFttPN/s320/Picture+352.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg568UqWc8zoNiCm6Cbtp8xw-Axh1vGGciUjZGtsUMjs4hLG0uMqXN9ClCvabqPOEbuNW00P4w4ax8FzTGUHBLn2Nq10QTJlx1vxlHxRO-TVH0qzUKmR-gUkOlnLBckRB7kzx-rJS4J4TSE/s320/Picture+347.jpg)
Adalah salah satu dapur Keris yang sangat
sederhana. Memiliki ricikan seperti Kebo Lajer, tetapi bilahnya lebih
lebar. Gandik panjang dan umumnya berasal dari tangguh sepuh seperti era
Pajajaran atau Tuban.
Istilah Gumbeng, selain untuk menyebut
dapur Keris, juga merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional
masyarakat Jogjakarta, terutama di wilayah Gunung Kidul, juga pernah
berkembang di daerah Banyumas. Disebut
rinding Gumbeng. Di Ponorogo juga dikenal istilah
Gong Gumbeng. Keseluruhan kesenian tradisional ini memanfaatkan
bambu
sebagai alat instrumen. Pelaksanaan kesenian rinding Gumbeng ini
bernuansa sakral dan sering dilakukan untuk berharap panen yang baik.
Inti dari kesenian ini adalah ekspresi dari kesederhanaan, keluguan
masyarakat yang bersahaja. Lebih jauh, melalui tradisi Gumbeng ini,
manusia diharapkan mampu menjalani kehidupan sehari-hari dengan ulet,
sederhana dan penuh kearifan baik dalam konteks vertikal (keTuhanan) dan
horizontal (alam dan manusia) untuk mencapai suatu kemakmuran hidup
bagi masyarakat (sosial-ekologis- kultural) .
Rupanya tidak jauh berbeda dengan kesenian Gumbeng yang telah berkembang di masyarakat semenjak ratusan tahun lalu,
keris dapur GUMBENG
juga menunjukkan bentuk yang sederhana, lugu dan memiliki muatan sakral
serta magis dan ada kaitannya dengan keselarasan manusia dengan alam.
Dalam budaya keris, Gumbeng secara harfiah bermakna "
tingkat kesadaran tertentu pada saat bersemedi".Semedi (meditasi, red),
adalah salah satu bentuk meditasi yang dilakukan oleh manusia untuk
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan alam semesta. Berusaha
mencapai keselarasan pikir, hasrat dan daya-rasa-cipta pada diri manusia
dengan Tuhan dan alam. Dalam tataran tertentu, ketika bersemedi,
manusia akan melalui suatu batas antara kesadaran pikir dalam tataran
manusia dengan kesadaran hakiki atas makna keTuhanan dan alam semesta.
Semedi, juga menjadi semacam metode penyucian batin (
tazkiyatun nafs) serta berusaha mengelola energi alam.
Dalam bersemedi, manusia bisa jadi akan mengalami seperti apa yang dialami oleh Bima ketika berusaha menjalankan titah mencari
Tirta Pawitra dalam cerita
Dewa Ruci.
Melalui sebuah batas dari tataran syariat, tarekat, hakikat dan
makrifat yang disimbolkan dengan beberapa warna cahaya sampai pada batas
pencapaian (
Kala Bintulu). Atau dalam budaya
Jawa dikenal sebagai laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa.
Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam
Wedhatama, empat tahap laku ini disebut :
sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.Daya
dorong kearah positif dan negatif harus, diselaraskan, diharmoniskan
dan selalu dijaga keseimbangannya. Jika daya nafsu bisa kita kendalikan
dengan baik, akan sama artinya kita telah bergerak untuk menyatukan diri
dengan Tuhan, Hyang Moho Tunggal. Menyatukan disini dalam pengertian
ini bukan menyatunya dzat manusia dengan Dzat Tuhan. Manusia tidak
perlu menyatukan dirinya dengan Dzat Tuhan, karena Tuhan keberadaan-Nya
sudah meliputi segala sesuatu. Yang perlu disatukan adalah
“Sifat, Asma dan Af’al “
manusia, agar selaras dengan sifat, asma dan af’al Tuhan yang telah
diberikan kepada semua manusia sebagai Kodrad dan Irodad yang sudah ada
dalam diri setiap manusia. Jadi tugas manusia hanyalah
“menyelaraskan dan menyerasikan“
dengan Kodrad dan Irodad Tuhan. Inilah batas yang ada dalam semedi.
Semedi tanpa menyadari adanya batasan diri akan menyebabkan manusia
menjadi
"owah". Berubah cara pikir dan perasaan terhadap lakuning urip lan kesejatian.
Untuk
bisa menyatukan diri dengan Tuhan, manusia dalam berbagai cara
melakukan diantaranya adalah dengan cara Semedi yang dalam hal ini
manusia harus bisa menyatukan segenap perasaan dan pikiran dengan
nafasnya dalam bermeditasi. Puncak dari adanya penyatuan ini biasanya
dalam ukuran minim yang bisa terasa adalah timbulnya
“ketenangan Jiwa“ dan tentramnya Qalbu. Hanya dengan
“mengingat“ Tuhan lah qalbu/hati bisa menjadi tenang.
Salah
satu "semedi" dalam situasi, ajaran dan bentuk yang lain adalah Puasa.
Puasa atau Poso diserap dari dua kata Sansekerta, yaitu
“upa” = dekat dan
“wasa” = berkuasa. Jadi “
upawasa” biasa dilafalkan sebagai Poso atau puasa, merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bahasa Arabnya
shaum atau shiam. Dalam bahasa Inggris
“fasting” yang diserap dari kata Jerman kuno
“fastan” = menggengam. Puasa dalam bahasa Ibrani
tsum, tsom dan “inna nafsyo” yang berarti merendahkan diri dengan berpuasa, sedangkan dalam bahasa Yunani =
nesteuo, nestis atau asitia/asitos.
Orang melakukan puasa, bukan hanya karena kewajiban atau karena ketentuan
agama saja, bisa juga untuk tujuan
politik,
seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi ataupun Martin Luther King
Jr dengan demontrasi mogok makan. Begitu juga kita sering diwajibkan
puasa demi
kesehatan misalnya sebelum melakukan test
laboratorium atau pada saat melakukan detoksifikasi ataupun para
penderita diabetes. Begitu juga banyak orang melakukan puasa karena
diet, hal ini banyak dilakukan oleh para teenager. Orang berpuasa juga untuk menyatakan
rasa duka ataupun karena
ingin meraih satu tujuan tertentu. Ada juga orang yang berpuasa sebagai
persiapan diri menghadapi suatu tugas khusus misalnya merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu.
Puasa dapat disebut
doa dengan tubuh,
karena menyangkut seluruh orang dan tingkah laku rohaninya. Puasa dapat
memberikan kemantapan dan intensitas pada doa, karena dapat
mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya dan dapat bermakna
mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dan dengan Puasa menolong
orang untuk menghindari keserakahan dan bisa merupakan tanda
penyesalan,
pertobatan. Puasa juga mempunyai
akar psikologis yang mendalam, yakni sebagai usaha pemurnian dan sebagai
prasyarat mempermudah pemusatan perhatian waktu semedi dan berdoa.
Banyak
pelajaran yang dapat dipetik dari puasa. Sekurang-kurangnya, kita
diingatkan kembali oleh Sang Pencipta arti penting hidup bersama dengan
manusia lainnya. Dengan kata lain, makhluk sosial ini tidak akan bisa
hidup tanpa ada hubungan baik dengan sesamanya. Ketika puasa, kita dapat
merasakan pahit getir menahan lapar dan dahaga. Padahal penderitaan ini
hanya sesaat, yaitu sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Buat
fakir miskin kesengsaraan ini dijalani sepanjang hayatnya. Melalui cara
ini, mata batin kita akan peka, naluri ingin menolong akan semakin
sensitif dan kepedulian kita kepada semua manusia akan semakin baik.
Semoga, dengan Puasa, kita bisa terlahir kembali menjadi sesosok insan
yang memahami adanya “batas”. Batas pencapaian tujuan, batas hidup,
batas kemampuan dan batas diri lainnya. Juga memahami bahwa hidup di
dunia ini hanya sesaat karena kesejatian hidup adalah ketenangan jiwa
yang mengarah pada pendekatan diri terhadap Sang Khaliq.
Kang sinedyo tineken Hyang Widi… (Yang diinginkan dikabulkan oleh Tuhan)
Kang kinasara dumadakan keno… (Yang dikehendaki tiba-tiba didapat)
Tur sisihan Pangerane… (dan dikasihi oleh Tuhan)
Nadyan tan weruh iku… (Meskipun dirinya tidak tahu)
Lamun nedyo muja semedi… (Akan tetapi ketika dia hendak melakukan semedi)
Sesaji neng segoro… (Dia memberikan sesajian di Samudera/Hati/Qalbu)
Dadya ngumbaraku… (Jadilah pengembaraan itu)
Dumadi sariro tunggal… (Untuk menjadi satu diri)
Tunggal jati swara aowr ing Hartati… (Satu kesejatian suara yg ada dalam Qalbu)
Kang aran Sekar Jempina… (Itulah yang disebut Bunga Jempina )