Keris Dalam Budaya Masyarakat Madura
Oleh : RB. Ahmad Ramadan
Selama ini masyarakat luas mengenal
pulau Madura hanya dari aspek kebudayaan yang berupa kerapan sapi dan
carok. Kerapan sapi dianggap sebagai ikon masyarakat madura di bidang
hiburan dan seni pertunjukan, sedangkan carok dianggap sebagai sebuah
aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan kepribadian umum masyarakat
Madura. Masyarakat Madura dikenal juga sebagai etnis yang religius dan
menampilkan kesan kelompok masyarakat yang fanatik terhadap agama yang
dianut dan diyakininya.
Sebenarnya masyarakat Madura hidup
dengan aspek budaya yang unik, karena didalam kehidupan masyarakat
Madura sendiri memiliki pola dan pandangan hidup yang berbeda-beda.
Secara administratif pemerintahan, Madura dibagi menjadi empat
kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Walaupun
secara garis besar suku bangsa mereka sama-sama berasal dari suku bangsa
Madura, namun masyarakat di masing-masing kabupaten didalam aktifitas
kesehariannya memiliki corak dan khas yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil pengamatan sementara,
pandangan hidup antara masyarakat Madura pesisir utara dan masyarakat
Madura yang berada di pesisir selatan memiliki perbedaan pola dan
pandangan hidup. Masyarakat Madura yang berada dibagian pesisir utara
terkesan memiliki pola dan pandangan hidup yang masih tradisional,
bahkan terkesan sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang dalam
bidang pendidikan yang berbeda dengan masyarakat Madura yang berada di
pesisir selatan yang dianggap kelompok masyarakat yang sudah mulai
mengalami masa transisi menuju masyarakat modern.
Selama ini masyarakat banyak yang kurang
memamahi kebudayaan Madura yang esensial. Masyarakat hanya memahami
kebudayaan Madura dari sisi permukaan saja, tanpa memahami konsep umum
kebudayaan Madura. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya
literatur yang berkaitan dengan penelitian terhadap kebudayaan Madura
secara khusus dan mendalam. Selama ini, literatur yang ada hanya
menggambarkan perkembangan budaya masyarakat Madura secara universal dan
terkesan bersifat subjektif.
Untuk ketaatan terhadap agama,
masyarakat Madura terkesan kelompok masyarakat yang fanatik terhadap
agama yang dianutnya. Ketaatan mereka terhadap agama juga diiringi
dengan perhatian mereka terhadap hal-hal yang berbau magis, seperti
dalam upacara perkawinan,kelahiran, kematian dan beberapa hal yang
berkaitan dengan mata pencaharian mereka serta perlakuan masyarakat
terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Perhatian mereka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan magis dan ritus
turut mewarnai dan memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan
kehidupan masyarakat Madura.
Salah satu bentuk kepercayaan terhadap
hal yang berbau magis tersebut adalah perhatian masyarakat Madura
terhadap benda pusaka yang berupa Keris ataupun jenis tosan aji yang
lain. Keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai magis yang terkandung di
dalam benda-benda pusaka tersebut menyebabkan masyarakat Madura
memiliki dan menyimpan benda pusaka tersebut di rumah atau bahkan
menjadikan benda-benda- tersebut sebagai sebuah “sikep”. Perburuan
terhadap keberadaan benda-benda pusaka itu dilakukan masyarakat Madura
hingga ke daerah luar Pulau Madura.
Keris dianggap sebagai sebuah benda yang
keramat oleh masyarakat Madura memiliki karakter yang unik dan khas
yang dapat menandakan corak perkembangan kehidupan masyarakat dari masa
ke masa. Selain itu ciri khas dan unik yang terdapat pada keris juga
dapat menjadi sistem pertanda tentang kehidupan sosial masyarakat Madura
yang paternalistik.
Selain mengandung unsur-unsur religi,
keris juga memiliki unsur-unsur lain yang terkandung didalamnya. Unsur
seni yang terdapat pada sebuah keris tidak hanya pada sisi estetika
saja, namun dari sisi religius dan etika masih tetap ditampilkan. Sisi
religi pada sebuah keris bisa ditampakkan melalui keyakinan masyarakat
terhadap kekuatan magis yang terkandung pada sebuah keris, hingga
menimbulkan tradisi.- dalam memperlakukan sebuah keris seperti tradisi
mewarangi, atau memabndikan keris, tradisi “ngokop” keris pada hari-hari
tertentu, dan memolesi dengan minyak yang harum. Sedangkan sisi etika
dalam sebuah keris ditunjukkan melalui cara mereka dalam menyandang
keris, membuka keris, dan sebagainya, bahkan dalam memilih kerispun
dengan cara meminta pertimbangan pada pemimpin sosial-religi masyarakat.
Kebiasaan masyarakat untuk meminta pandangan dari tokoh-tokoh sentral
masyarakat masih berlangsung hingga masa kini.
Secara umum, pandangan atau konsepsi
masyarakat Jawa dan Madura memiliki beberapa perbedaan yang dianggap
menjadi ciri khas dari masing-masing budaya. Perbedaan konsepsi inilah
yang akan menjadi titik tekan dalam proses pembuatan makalah ini.
Perbedaan konsepsi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah bentuk kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang memiliki
perbedaan. Secara sederhana kita dapat menilai bahwa kehidupan
masyarakat Jawa dan Madura memiliki perbedaan. Namun yang menjadi titik
tekan dalam makalah ini adalah perbedaan konsepsi dan persepsi
masyarakat terhadap sebuah benda pusaka yang bernama keris.
Gambaran Umum Keris Madura
Pada perkembangan masyarakat madura,
keris yang dibuat sebelum abad ke-16 sampai abad ke-17 tidak hanya
memiliki fungsi sebagai peralatan perang para prajurit. Keris yang dalam
bahasa Madura tingkat halus, disebut “abinan” dianggap sebagai sebuah
senjata tajam yang juga memiliki kekuatan magis. Sebelum pembuatan keris
dilakukan, terlebih dahulu sang empu melakukan ritual khusus yang
disebut “pojja ” yaitu sebuah ritual yang berupa tapa untuk memohon
kepada Tuhan dalam keadaan berkelakuan yang suci, meminta dengan
berendah diri lahir-batin agar keris yang akan, dibuatnya tersebut mampu
memberikan dorongan kepada orang yang memakainya agar supaya selalu
berkelakuan baik, selamat dan jauh dari semua perbuatan yang kurang
baik. Dalam proses sebelum pembuatan, biasanya sang empu akan membawa
besi calon keris yang akan dibuatanya ke pasar atau ke temp’at yang
ramai. Jika masyarakat masih dapat melihat besi yang dibawa sang empu,
maka sang empu akan mengulangi tapanya sampai besi tersebut benar-benar
tidak terlihat lagi oleh masyarakat umum, barulah sang empu melanjutkan
ke tahap pembuatan keris.
Setelah keris selesai dibuat, sang empu
melakukan tahapan akhir pembuatan keris yaitu penyempuhan dengan cara
menambahkan racun didalamnya, lalu sang empu mengatakan sepatah-dua kata
misalnya : Selamat, jaya, kaya dan lain sebagainya. Hal ini dipercaya
bahwa keris tersebut memiliki kegunaan bagi pemakainya seperti kata-kata
yang diucapkan oleh sang empu. Untuk menguji kekerasan besi keris, sang
empu menguji keris yang dibuatnya dengan cara menusukkan keris tersebut
kekulit kerbau putih yang sudah dikeringkan. Biasanya keris yang dibuat
pada abad-abad tersebut memiliki tiga atau empat lapis pamor saja pada
masing-masing bilahnya.
Keris yang dibuat pada abad tersebut,
masyarakat lebih mengenalnya sebagai keris judhagati, tesnagati yang
dipercaya mengandung khaslat untuk menambah keberanian (madura = tatag),
untuk mengusir musuh dan sebagai sikep dalam peperangan.
Konsepsi tentang keberadaan keris
masyarakat Madura mulai mengalami perubahan orientasi pada abad ke-18
dan ke-19. Puncak kejayaan pembuatan keris terjadi pada abad ini. Banyak
empu-empu yang menghasilkan karyanya pada masa itu. Keris tidak hanya
berkedudukan sebagai senjata. Pada abad tersebut keris digunakan sebagai
benda keramat yang dianggap bisa menjadi media untuk memperoleh
keselamatan melalui kekuatan magis yang tersimpan di dalamnya. Selain
berkedudukan sebagai media untuk memperoleh keselamatan, keris juga
mengalami perkembangan pada bidang seni pamor-nya. Keris yang dibuat
pada kisaran abad ke-18 dan ke-19. memiliki perkembangan nilai estetika
melalui seni bentuk dan seni pamor yang terdapat di dalamnya.
Pada abad ke-21, pengrajin keris mulai
merubah persepsi dalam proses tujuan pembuatan sebuah keris. Persebaran
pengrajin keris di Kabupaten Sumenep banyak terdapat di Desa Aeng
Tongtong, Kecamatan Saronggi. Keris yang dibuat pada abad ke-21 hanya
menampilkan sisi estetika pada sebuah keris yang tercermin dari bentuk
keris serta pamor yang terkandung di dalam sebuah keris. Unsur seni yang
terdapat dalam sebuah keris semakin menunjukkan bahwa keberadaan keris
bagi masyarakat Madura masih begitu penting. Pada masa ini, keris tidak
lagi dianggap sebagai sebuah benda yang memiliki kekuatan magis, tetapi
dianggap sebagai sebuah benda seni yang memiliki nilai ekonomi yang
dapat dipejual belikan untuk dijadikan sebagai sebuah cendera mata
ataupun karya seni untuk di koleksi.
Karakteristik Keris Madura
Secara umum mengenai persepsi dan fungsi
keris yang dipahami oleh masyarakat Jawa dan Madura memiliki persamaan.
Keris yang dianggap sebagai sebuah benda pusaka yang keramat tidak
hanya memiliki kekuatan magis di dalamnya tetapi juga memiliki nilai
histories, falsafah serta nilai-nilai seni yang ditampilkan pada seni
bentuk dan seni pamor. Keris juga digunakan sebagai aksesoris bagi
busana yang digunakan kaum pria dan diyakini mampu memberikan
perlindungan terhadap keselamatan orang yang memilikinya.
Seiring dengan perjalanan sejarah
persebaran kens, pada masing-masing daerah persebaran budaya yang
berkaitan dengan benda pusaka ini memiliki karakteristik yang khas yang
dapat menandakan corak kehidupah masyarakatnya. Keris Madura memiliki
bentuk yang khas serta ricikan yang sangat sederhana. Secara umum yang
menggambarkan perbedaan antara keris Jawa dan Madura adalah pada seni
bentuk serta corak pamornya.
Perbedaan bentuk yang dimaksudkan dalam
penjelasan diatas adalah perbedaan pada bagian “sor-soran”. Umumnya
ganja pada keris Madura berukuran lebih pendek bila dibandingkan dengan
ganja pada keris Jawa. Hingga jika ditarik garis vertikal sampai ujung
ganja membentuk sebuah pola yang agak kaku dan oleh masyarakat Madura
disebut sebagai pola noron pjan seperti yang tertera pada (gambar 1).
Selama ini masyarakat luas mengenal
pulau Madura hanya dari aspek kebudayaan yang berupa kerapan sapi dan
carok. Kerapan sapi dianggap sebagai ikon masyarakat madura di bidang
hiburan dan seni pertunjukan, sedangkan carok dianggap sebagai sebuah
aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan kepribadian umum masyarakat
Madura. Masyarakat Madura dikenal juga sebagai etnis yang religius dan
menampilkan kesan kelompok masyarakat yang fanatik terhadap agama yang
dianut dan diyakininya.
Sebenarnya masyarakat Madura hidup
dengan aspek budaya yang unik, karena didalam kehidupan masyarakat
Madura sendiri memiliki pola dan pandangan hidup yang berbeda-beda.
Secara administratif pemerintahan, Madura dibagi menjadi empat
kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Walaupun
secara garis besar suku bangsa mereka sama-sama berasal dari suku bangsa
Madura, namun masyarakat di masing-masing kabupaten didalam aktifitas
kesehariannya memiliki corak dan khas yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil pengamatan sementara,
pandangan hidup antara masyarakat Madura pesisir utara dan masyarakat
Madura yang berada di pesisir selatan memiliki perbedaan pola dan
pandangan hidup. Masyarakat Madura yang berada dibagian pesisir utara
terkesan memiliki pola dan pandangan hidup yang masih tradisional,
bahkan terkesan sebagai kelompok masyarakat yang terbelakang dalam
bidang pendidikan yang berbeda dengan masyarakat Madura yang berada di
pesisir selatan yang dianggap kelompok masyarakat yang sudah mulai
mengalami masa transisi menuju masyarakat modern.
Selama ini masyarakat banyak yang kurang
memamahi kebudayaan Madura yang esensial. Masyarakat hanya memahami
kebudayaan Madura dari sisi permukaan saja, tanpa memahami konsep umum
kebudayaan Madura. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya
literatur yang berkaitan dengan penelitian terhadap kebudayaan Madura
secara khusus dan mendalam. Selama ini, literatur yang ada hanya
menggambarkan perkembangan budaya masyarakat Madura secara universal dan
terkesan bersifat subjektif.
Untuk ketaatan terhadap agama,
masyarakat Madura terkesan kelompok masyarakat yang fanatik terhadap
agama yang dianutnya. Ketaatan mereka terhadap agama juga diiringi
dengan perhatian mereka terhadap hal-hal yang berbau magis, seperti
dalam upacara perkawinan,kelahiran, kematian dan beberapa hal yang
berkaitan dengan mata pencaharian mereka serta perlakuan masyarakat
terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Perhatian mereka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan magis dan ritus
turut mewarnai dan memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan
kehidupan masyarakat Madura.
Salah satu bentuk kepercayaan terhadap
hal yang berbau magis tersebut adalah perhatian masyarakat Madura
terhadap benda pusaka yang berupa Keris ataupun jenis tosan aji yang
lain. Keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai magis yang terkandung di
dalam benda-benda pusaka tersebut menyebabkan masyarakat Madura
memiliki dan menyimpan benda pusaka tersebut di rumah atau bahkan
menjadikan benda-benda- tersebut sebagai sebuah “sikep”. Perburuan
terhadap keberadaan benda-benda pusaka itu dilakukan masyarakat Madura
hingga ke daerah luar Pulau Madura.
Keris dianggap sebagai sebuah benda yang
keramat oleh masyarakat Madura memiliki karakter yang unik dan khas
yang dapat menandakan corak perkembangan kehidupan masyarakat dari masa
ke masa. Selain itu ciri khas dan unik yang terdapat pada keris juga
dapat menjadi sistem pertanda tentang kehidupan sosial masyarakat Madura
yang paternalistik.
Selain mengandung unsur-unsur religi,
keris juga memiliki unsur-unsur lain yang terkandung didalamnya. Unsur
seni yang terdapat pada sebuah keris tidak hanya pada sisi estetika
saja, namun dari sisi religius dan etika masih tetap ditampilkan. Sisi
religi pada sebuah keris bisa ditampakkan melalui keyakinan masyarakat
terhadap kekuatan magis yang terkandung pada sebuah keris, hingga
menimbulkan tradisi.- dalam memperlakukan sebuah keris seperti tradisi
mewarangi, atau memabndikan keris, tradisi “ngokop” keris pada hari-hari
tertentu, dan memolesi dengan minyak yang harum. Sedangkan sisi etika
dalam sebuah keris ditunjukkan melalui cara mereka dalam menyandang
keris, membuka keris, dan sebagainya, bahkan dalam memilih kerispun
dengan cara meminta pertimbangan pada pemimpin sosial-religi masyarakat.
Kebiasaan masyarakat untuk meminta pandangan dari tokoh-tokoh sentral
masyarakat masih berlangsung hingga masa kini.
Secara umum, pandangan atau konsepsi
masyarakat Jawa dan Madura memiliki beberapa perbedaan yang dianggap
menjadi ciri khas dari masing-masing budaya. Perbedaan konsepsi inilah
yang akan menjadi titik tekan dalam proses pembuatan makalah ini.
Perbedaan konsepsi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
adalah bentuk kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang memiliki
perbedaan. Secara sederhana kita dapat menilai bahwa kehidupan
masyarakat Jawa dan Madura memiliki perbedaan. Namun yang menjadi titik
tekan dalam makalah ini adalah perbedaan konsepsi dan persepsi
masyarakat terhadap sebuah benda pusaka yang bernama keris.
Gambaran Umum Keris Madura
Pada perkembangan masyarakat madura,
keris yang dibuat sebelum abad ke-16 sampai abad ke-17 tidak hanya
memiliki fungsi sebagai peralatan perang para prajurit. Keris yang dalam
bahasa Madura tingkat halus, disebut “abinan” dianggap sebagai sebuah
senjata tajam yang juga memiliki kekuatan magis. Sebelum pembuatan keris
dilakukan, terlebih dahulu sang empu melakukan ritual khusus yang
disebut “pojja ” yaitu sebuah ritual yang berupa tapa untuk memohon
kepada Tuhan dalam keadaan berkelakuan yang suci, meminta dengan
berendah diri lahir-batin agar keris yang akan, dibuatnya tersebut mampu
memberikan dorongan kepada orang yang memakainya agar supaya selalu
berkelakuan baik, selamat dan jauh dari semua perbuatan yang kurang
baik. Dalam proses sebelum pembuatan, biasanya sang empu akan membawa
besi calon keris yang akan dibuatanya ke pasar atau ke temp’at yang
ramai. Jika masyarakat masih dapat melihat besi yang dibawa sang empu,
maka sang empu akan mengulangi tapanya sampai besi tersebut benar-benar
tidak terlihat lagi oleh masyarakat umum, barulah sang empu melanjutkan
ke tahap pembuatan keris.
Setelah keris selesai dibuat, sang empu
melakukan tahapan akhir pembuatan keris yaitu penyempuhan dengan cara
menambahkan racun didalamnya, lalu sang empu mengatakan sepatah-dua kata
misalnya : Selamat, jaya, kaya dan lain sebagainya. Hal ini dipercaya
bahwa keris tersebut memiliki kegunaan bagi pemakainya seperti kata-kata
yang diucapkan oleh sang empu. Untuk menguji kekerasan besi keris, sang
empu menguji keris yang dibuatnya dengan cara menusukkan keris tersebut
kekulit kerbau putih yang sudah dikeringkan. Biasanya keris yang dibuat
pada abad-abad tersebut memiliki tiga atau empat lapis pamor saja pada
masing-masing bilahnya.
Keris yang dibuat pada abad tersebut,
masyarakat lebih mengenalnya sebagai keris judhagati, tesnagati yang
dipercaya mengandung khaslat untuk menambah keberanian (madura = tatag),
untuk mengusir musuh dan sebagai sikep dalam peperangan.
Konsepsi tentang keberadaan keris
masyarakat Madura mulai mengalami perubahan orientasi pada abad ke-18
dan ke-19. Puncak kejayaan pembuatan keris terjadi pada abad ini. Banyak
empu-empu yang menghasilkan karyanya pada masa itu. Keris tidak hanya
berkedudukan sebagai senjata. Pada abad tersebut keris digunakan sebagai
benda keramat yang dianggap bisa menjadi media untuk memperoleh
keselamatan melalui kekuatan magis yang tersimpan di dalamnya. Selain
berkedudukan sebagai media untuk memperoleh keselamatan, keris juga
mengalami perkembangan pada bidang seni pamor-nya. Keris yang dibuat
pada kisaran abad ke-18 dan ke-19. memiliki perkembangan nilai estetika
melalui seni bentuk dan seni pamor yang terdapat di dalamnya.
Pada abad ke-21, pengrajin keris mulai
merubah persepsi dalam proses tujuan pembuatan sebuah keris. Persebaran
pengrajin keris di Kabupaten Sumenep banyak terdapat di Desa Aeng
Tongtong, Kecamatan Saronggi. Keris yang dibuat pada abad ke-21 hanya
menampilkan sisi estetika pada sebuah keris yang tercermin dari bentuk
keris serta pamor yang terkandung di dalam sebuah keris. Unsur seni yang
terdapat dalam sebuah keris semakin menunjukkan bahwa keberadaan keris
bagi masyarakat Madura masih begitu penting. Pada masa ini, keris tidak
lagi dianggap sebagai sebuah benda yang memiliki kekuatan magis, tetapi
dianggap sebagai sebuah benda seni yang memiliki nilai ekonomi yang
dapat dipejual belikan untuk dijadikan sebagai sebuah cendera mata
ataupun karya seni untuk di koleksi.
Karakteristik Keris Madura
Secara umum mengenai persepsi dan fungsi
keris yang dipahami oleh masyarakat Jawa dan Madura memiliki persamaan.
Keris yang dianggap sebagai sebuah benda pusaka yang keramat tidak
hanya memiliki kekuatan magis di dalamnya tetapi juga memiliki nilai
histories, falsafah serta nilai-nilai seni yang ditampilkan pada seni
bentuk dan seni pamor. Keris juga digunakan sebagai aksesoris bagi
busana yang digunakan kaum pria dan diyakini mampu memberikan
perlindungan terhadap keselamatan orang yang memilikinya.
Seiring dengan perjalanan sejarah
persebaran kens, pada masing-masing daerah persebaran budaya yang
berkaitan dengan benda pusaka ini memiliki karakteristik yang khas yang
dapat menandakan corak kehidupah masyarakatnya. Keris Madura memiliki
bentuk yang khas serta ricikan yang sangat sederhana. Secara umum yang
menggambarkan perbedaan antara keris Jawa dan Madura adalah pada seni
bentuk serta corak pamornya.
Perbedaan bentuk yang dimaksudkan dalam
penjelasan diatas adalah perbedaan pada bagian “sor-soran”. Umumnya
ganja pada keris Madura berukuran lebih pendek bila dibandingkan dengan
ganja pada keris Jawa. Hingga jika ditarik garis vertikal sampai ujung
ganja membentuk sebuah pola yang agak kaku dan oleh masyarakat Madura
disebut sebagai pola noron pjan seperti yang tertera pada (gambar 1).
gambar 1
Sedangkan nama ricikan yang berasal
dari bahasa Madura asli diantaranya: Keloran (sogokan), pejetan
(papakang), koko macan (kembang kacang), bubung (ada-ada), batton
(gusen). Selain itu, dikenal juga sebutan pang bar at dalam (bilah
bagian dalam) dan pang bar at luar (bilah bagian luar)
gambar 2. pang bar at dalam gambar 3. pang bar at luar
Sebagian masyarakat mempercayai bahwa sebuah keris harus lebih banyak
dan lebih bagus pamornya dibagian pang barat dalam-nya dari pada pang
barat luar, mereka beranggapan bahwa pang barat dalam adalah gambaran
masa depan sedangkan pang barat luar adalah gambaran keadaan kita pada
masa sekarang. Dikenal pula istilah ajub dalam yaitu pamor yang berada
di ujung keris pang barat dalam terlihat lebih menonjol dari pada pamor
yang berada di ujung pang barat luar. Ini juga dipercaya bahwa si
pemilik keris tersebut tidak akan kedahuluan lawannya dalam peperangan
dan Iain-lain. Sedangkan ajub luar adalah sebaliknya.
Kebiasaan masyarakat Madura tentang proses memilih keris yang diyakini memiliki kecocokan dengan si pemilik diantaranya dilakukan dengan cara pal. Pal adalah cara memilih dan menilai keris dengan cara mengukur bilah keris dengan menggunakan ukuran jempol, benang, serta tangan dengan ukuran tertentu. Selain melihat keris dari seni bentuk dan seni pamor, pal juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan masyarakat dalam memilih sebuah keris agar dapat menunjang perjalanan hidup mereka di masa depan.
Cara lain yang dilakukan mereka untuk memilih sebuah keris diantaranya dengan cara meminta pertimbangan dan pendapat pada tokoh masyarakat yang dianggap ahli tentang keris baik dari segi fisik maupun nilai mistik yang terkandung di dalam sebuah keris. Keberadaan tokoh masyarakat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sistem sosial mereka yang patemalistik. Mereka dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan suatu pilihan, termasuk pula di dalamnya bagaimana cara mereka memilih keris.
Alternatif lain yang dilakukan masyarakat untuk memilih sebuah keris ialah dengan menilai kualitas empu-nya. Mereka cenderung memilih keris yang dibuat oleh seorang empu yang terkenal, memiliki budi pekerti luhur, dan dianggap memiliki kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan mitos dan legenda dalam masyarakat yang berkaitan dengan para empu akan turut berpengaruh terhadap alasan masyarakat memilih sebuah keris. Mereka tidak menilai keris hanya dari seni bentuk dan seni pamor-nya saja, tetapi melakukan penilaian terhadap sebuah keris dari bobot spiritual empu yang membuatnya.
Keris merupakan senjata tradisional yang masih popular bagi masyarakat dan memiliki wilayah persebaran yang cukup luas. Keris tidak hanya menjadi identitas budaya masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Madura, keris dijadikan sebagai pusaka yang memiliki hubungan dengan nilai histories, falsafah dan nilai-nilai seni. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah keris meliputi nilai religi, etika dan nilai estetika.
Kepercayaan terhadap kekuatan mistik yang terkandung di dalam keris merupakan cerminan dari nilai religi pada sebuah keris. Keindahan pada seni bentuk dan seni pamor mewakili nilai estetika pada sebuah keris. Sedangkan pada nilai etika, ditunjukkan dengan cara masyarakat memperlakukan keris yang merupakan warisan budaya pada generasi berikutnya.
Pelaksanaan kajian ilmiah tentang keberadaan keris sebagai salah satu bentuk warisan budaya, diharapkan dapat memberikan pemahaman secara komprehensif bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
- Abdurrahman, Drs. 1979. Selayang Pandang Sejarah Sumenep. Sumenep : The Sun.
- Fatah, Zainal. 1942. Pengertian Tentang Keris Di Pulau Madura.
Kebiasaan masyarakat Madura tentang proses memilih keris yang diyakini memiliki kecocokan dengan si pemilik diantaranya dilakukan dengan cara pal. Pal adalah cara memilih dan menilai keris dengan cara mengukur bilah keris dengan menggunakan ukuran jempol, benang, serta tangan dengan ukuran tertentu. Selain melihat keris dari seni bentuk dan seni pamor, pal juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan masyarakat dalam memilih sebuah keris agar dapat menunjang perjalanan hidup mereka di masa depan.
Cara lain yang dilakukan mereka untuk memilih sebuah keris diantaranya dengan cara meminta pertimbangan dan pendapat pada tokoh masyarakat yang dianggap ahli tentang keris baik dari segi fisik maupun nilai mistik yang terkandung di dalam sebuah keris. Keberadaan tokoh masyarakat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sistem sosial mereka yang patemalistik. Mereka dapat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan suatu pilihan, termasuk pula di dalamnya bagaimana cara mereka memilih keris.
Alternatif lain yang dilakukan masyarakat untuk memilih sebuah keris ialah dengan menilai kualitas empu-nya. Mereka cenderung memilih keris yang dibuat oleh seorang empu yang terkenal, memiliki budi pekerti luhur, dan dianggap memiliki kedekatan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan mitos dan legenda dalam masyarakat yang berkaitan dengan para empu akan turut berpengaruh terhadap alasan masyarakat memilih sebuah keris. Mereka tidak menilai keris hanya dari seni bentuk dan seni pamor-nya saja, tetapi melakukan penilaian terhadap sebuah keris dari bobot spiritual empu yang membuatnya.
Keris merupakan senjata tradisional yang masih popular bagi masyarakat dan memiliki wilayah persebaran yang cukup luas. Keris tidak hanya menjadi identitas budaya masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Madura, keris dijadikan sebagai pusaka yang memiliki hubungan dengan nilai histories, falsafah dan nilai-nilai seni. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah keris meliputi nilai religi, etika dan nilai estetika.
Kepercayaan terhadap kekuatan mistik yang terkandung di dalam keris merupakan cerminan dari nilai religi pada sebuah keris. Keindahan pada seni bentuk dan seni pamor mewakili nilai estetika pada sebuah keris. Sedangkan pada nilai etika, ditunjukkan dengan cara masyarakat memperlakukan keris yang merupakan warisan budaya pada generasi berikutnya.
Pelaksanaan kajian ilmiah tentang keberadaan keris sebagai salah satu bentuk warisan budaya, diharapkan dapat memberikan pemahaman secara komprehensif bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
- Abdurrahman, Drs. 1979. Selayang Pandang Sejarah Sumenep. Sumenep : The Sun.
- Fatah, Zainal. 1942. Pengertian Tentang Keris Di Pulau Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI MASUKAN UNTUK MENUNJANG KARYA