KERIS Dan EMPU
(Bawa Rasa Tosan Aji)
Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan pada seseorang tergantung
karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog
yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan
watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.Di kalangan masyarakat Jawa
Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara
perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep
(busana Jawa lengkap).
Dan kewajiban itu
harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai
busana pengantin gaya
Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan
juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris
itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol
"kejantanan." Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin
prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili
sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Pandangan ini
sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula
eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris,
yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah
Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan,
baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat
agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa,
seperti Karaton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain.
Kepercayaan itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di
Jawa. Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu
bumi/pertiwi. Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di
masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada
menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan
Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho).
Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi
komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon
kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan,
kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk
membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh.
Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak
pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya
sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka
keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan
sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas
berkilauan sebagai
kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung
keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya.
Tosan Aji atau senjata pusaka
itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan hampir seluruh
daerah di Indonesia
memiliki senjata tajam pusaka andalan, seperti rencong di Aceh, badik
di Makasar, pedang, tombak berujung tig (trisula), keris bali, dan
lain-lain.
Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha
Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit
yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra.
Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu
keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel,
bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga
kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang
Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu.
Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang
sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak
lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu. Pernah ada suatu
pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan
bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata
(tak tampak dengan mata biasa).
Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana
pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati
yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar
hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan
memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna,
sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Harya Penangsang.
Kaitannya dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang
berperang melawan Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak
bisa menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh
Sutawijaya. Usus keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin balas
dendam dengan penuh kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu
mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya. Ia terus menyerang
musuhnya. Pada suatu saat Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai
Setan Kober di bagian pinggang, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh
mata keris pusakanya. Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan
banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan hiasan
untaian bunga mawar dan melati.
Tosan aji atau senjata pusaka
seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan rasa keberanian yang
luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel,
penambah kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang
diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu mengandung
kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala
kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang
diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta
kembali oleh sang raja.
Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa
diartikan secara ilosoi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai
keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling
kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan
kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga
kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera. Selain saling
menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga
harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya
masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari tosan
aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung pelbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini
terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya
kurang diminati ketimbang aspek legenda dan magisnya.
RICIKAN ATAU ANATOMI KERIS
Anatorni keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Berikut
ini akan diuraikan anatorni keris satu persatu :
Ron Dha, yaitu ornamen pada
huruf Jawa Dha.
Sraweyan, yaitu dataran yang merendah di
belakang sogogwi, di atas ganja.
Bungkul, bentuknya seperti bawang,
terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ga~qa.
Pejetan, bentuknya seperti bekas pijatan
ibu jari yang terletak di belakang gandik.
Lambe Gajah, bentuknya menyerupai bibir
gajah. Ada
yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
Gandik, berbentuk penebalan agak bulat
yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
Kembang Kacang, menyerupai belalai
gajah dan terletak di gandik bagian atas.
Jalen, menyerupai taji ayam jago yang
menempel di gandik.
Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf
Jawa Dha ( ) yang berderet.
Tikel Alis, terletak di atas pejetan
dan bentuknya rnirip alis mata.
Janur, bentuk lingir di
antara dua sogokan.
Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan
kepanjangan dari pejetan.
Sogokan belakang, bentuk alur yang
terletak pada bagian belakang.
Pudhak sategal, yaitu sepasang bentuk menajam
yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan.
Landep, yaitu bagian yang
tajam pada bilah keris.
Gusen, terletak di be!akang
landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
Gula Milir, bentuk yang meninggi di antara gusen
dan kruwingan.
Kruwingan, dataran yang terietak di kiri
dan kanan adha-adha.
Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah
dari bawah sampal ke atas.
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis lurus)
1.BETHOK
2.BROJOL
3.JAKA LOLA
4.KEBO LAJER
5.TILAM UPIH
6.PULANG GENI (
A )
7.SEPANG
8.YUYU RUMPUNG
9.KELAP LINTAH
10. REGOL
11. TILAM
SARI
12. KALA
MUNYENG
13. MARAK
14. JAKA
TUWA
15.
PINARAK
16. PANJI
NOM
17. JALAK
NGUWUNG
18. JALAK TILAM SARI
19. JALAK DINDING
20. JALAK NGORE
21. JALAK SUMELANG GANDRING
22. JALAK SANGU TUMPENG
23. KEBO DHUNGKUL
|
24. LAR
NGATAP
25. LALER
MENGENG
26. SINEBA
27. CENGKRONG
28. CUNDRIK
29. KEBO DHENDHENG
30. DHUWUNG
31. MUNDHARANG
32. RONING TEKI
33. PASUPATI
34. MENGKURAT
35. JAMANG MURUB
|
36.
SARDULA MANGSAH
37. SUJEN
AMPEL
38. KEBO
TEKI
39. MESEM
40.
TUMENGGUNG
41. SEPANER
42. KALA
MISANI
43. SINOM
44. SINOM WORA-WARI
45. CAMPUR
46. CADHONG
47. TEBU SAUYUN
48. CONDHONG CAMPUR ( A )
49. SEMAR
TINANDHU
50. PANJI
PENGANTHEN
51. KARNA TANDING
52. SEMAR PETHAK
53. RASEKSA
54. PUTHUT
55. GAJAH
SINGA
56. SINGA
57. SINGA
SANGU TUMPENG
58. SONA
|
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 3)
59. JANGKUNG
60. JANGKUNG MAYANG
61. JANGKUNG PACAR
62. JANGKUNG SAGARA WINOTAN
63. PUDHAK JANGKUNG
64. SAGARA WINOTAN
|
65. TEBU
SAOYOTAN
66.
SAMBADA
67. LARA
SIDUWA
68. MAHESA NEMPUH
69. URUBING DILAH
70. PANJI CALURING
|
71. CAMPUR BAWUR ( A )
72. CAMPUR BAWUR ( B )
73. BANGO DHOLOK
74. MAYAT
75. LAR MONGA
|
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 5)
76. PULANG GENI ( B )
77. KAL NADHAH
78. KEBO TEDHAN
79. DHOLOG
80.
PANDAWA LARE
81.
PANDAWA SINGA
82.
PANDAWA
|
83.
PANDAWA CINARIT0
84.
PANDAWA KARNA TANDHING
85. CUNDRIK PANDAWA
86. KEBO DHENGEN
87. NAGA
SARI
88.
PUNDHAK SATEGAL
|
89. MANGKURAT MANGKU NEGRA
90. HANOMAN
91. URAP-URAP
92. SINGA SINEBANING DILAH
93. PANJI KUDA
94. SINERASAH
|
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 7)
95. SEMPANA BUNGKEM
96. SEPOKAL ( A )
97. JARAN GUYANG
98. PANJI SEMEDI
|
99. SEMPANA PANJUL
100. CARUBUK
101. MURDA MALELA
|
102. .KIDANG SOKA
103. BELEBANG ( A )
104. CONDHONG CAMPUR ( B )
105. NAGA KERAS
|
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 9)
106. KIDANG MAS
107. BUTA IJO
108. JARUMAN
109. CARANG SOKA
110. SEMPANA
111. SABUK TAMPAR
112. PANIWEN
|
|
113. PANIMBUL
114. JARADEH
115. BALEBANG ( B )
116. PUDHAK PANIMBAL
117. BALE KENCANA
118. SAGARA MUNCAR
|
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 11)
119. JAKA WARU
120. SEPOKAL ( B )
121. BANDHOTAN
122. SABUK INTEN
|
123. CARITA GENENGAN
124. CARAITA BUNGKEM
125. CARITA GANDHU
126. CARITA PRASAJA
127. CARITA KAPRABON
|
128. CARITA GULA MILIR
129. CARITA DALEMAN
130. SANTAN
131. WALURING
|
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 13)
132. JOHAN MANGAN KALAK
133. KARA WELANG
134. LUNG GANDHU
135. KANTAR ( A )
|
136. KANTAR ( B )
137. SANGKELAT
138. PARUNG SARI ( A )
139. PARUNG SARI ( B )
140. PARUNG SARI ( C )
|
141. NAGA SASRA
142. NAGA SELUMAN
143. NAGA BONGKOKAN
144. PANJI PANIWEN
|
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 15)
145. BIMA KRODHA
146. MAHESA NYABRANG
|
147. RANGGA PASUNG
148. RANGGA WILAH
|
149. SEDHET
150. CARITA BUNTALA
|
NAMA/BENTUK/DAPUR
KERIS (jenis LUK 17)
151. NGAMPAR BUTA
|
152. LANCINGAN
|
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 19)
153. TRI MURDA.
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK 21)
154. KALA
TINANTANG
155. TRI SIRAH
156. DRAJIT
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK
25)
157. BIMA RANGSANG
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK
27)
158. RANGGA WIRUN
159. KALA BENDU
NAMA/BENTUK/DAPUR KERIS (jenis LUK
29)
160. RANGGA WULUNG
NAMA/BENTUK/DAPUR TOMBAK
161. GODHONG PRING
162. GODHONG ANDONG
163. KUDHUP CEPAKA
164. KUDHUP MELATI
165. KUDHUP GAMBIR
166. SUJEN AMPEL
167. TUMBUK
168. SADAK
169. TOTOG
170. BUNG AMPEL
|
|
171. BIRING DRAJIT
172. BIRING SUMBEN
173. BIEING JALER
174. BIRING ISTRI
175. CEKEL BELULUK
176. CEKEL PANGRAWIT
177. CEKEL ADILUWIH
178. PLERET
179. SEKAR JANTUNG
180. TUMPER INGAS
|
181. BARU
182. BARU KARNA
183. BARU KALANTAKA
184. BARU PANATAS
185. BARU TROPONG
186. BANYAK ANGREM
187. GODHONG DHADHAP
188. GODHONG SEDAH
189. SEMAR TINANDHU
190. PANDU
|
191. KUDHI
192. SAPIT ABON
193. SAPU ABON
194. DARA DASIH MENGGAH
188. GODHONG SEDAH
195. DORA MANGGALA.
196. SIPAT KELOR
197. BUTA MELER
198. SLADHANG HASTA
199. RANGGA
200. PANGGANG WELUT
|
201. PANGGANG LELE
202. CACING KANIL
203. MANGKON
204. MEGANTARA
205. KARACAN
206. LUNG GANDHU
207. SANGA-SANGA
208. CITRA
209. DARA DASIH
210. MASTAKA
|
Beberapa
hal yang berhubungan mengenai keris
ADEG IRAS,
PAMOR, adalah nama pamor yang menyerupai garis lurus
mulai dari ujung bilah sampai pangkalnya yang bersinggungan dengan bagian
ganja. Pada bagian ganja, pamor ini seolah menyambung lagi sampai kebagian
yang bersinggungan dengan pesi. Pamor ini dinilai baik tuahnya dan tergolong
pamor langka.
AENGTONG
TONG, nama desa di Serunggi, Sumenep yang sampai
kini masih membuat keris dan tombak. Desa ini dulu merupakan tempat tinggal
para EMPU yang memenuhi kebutuhan kerajaan Sumenep dan kini masih ada
beberapa orang yang bekerja sebagai pandai keris seperti Jaknal, Jembar,
Jekri, Hoji dan lain lain.
AEROLIT, adalah batu pamor yang sangat keras dan berasal meteor, bila
telah menjadi pamor akan berwarna kuning keabu-abuan. Gradasi warnanya tidak
terlalu kontras dibandingkan dengan kehitaman warna besi dasar sehingga sulit
dilihat mata, pamor dari bahan ini sering juga disebut Jalada.
AKHODIYAT, PAMOR, adalah bagian dari kelompok pamor yang memiliki kecemerlangan
lebih gemerlap dari bagian pamor lainnya. Pada satu permukaan bilah keris,
ada bagian yang kecemerlangan pamornya menonjol dibanding kecemerlangan pamor
disekitarnya dan sepintas lalu mirip dengan lelehan logam keperakan yang
putih mengkilap. Menurut EMPU Fausan Pusposukadgo, ini terjadi karena suhu
yang tepat pada saat penempaan dan bukan dibuat oleh logam perak seperti
dugaan orang, Pamor ini tidak dapat direncanakan dan tergolong pamor Tiban,
pamor ini banyak disukai orang, di Madura dan Jawa Timur disebut Pamor
Deling.
AKIM, nama
seorang pembuat keris yang hidup diawal abad 20, dijaman penjajahan Belanda
dan tinggal di kampung 21 Ilir, Palembang.
ALIAMAI,
sebutan orang Serawak, Brunei, Sabah
dan sebagian penduduk Mindanau Selatan untuk menyebut keris. Diperkirakan dari bahasa Sulu di
Mindanau Selatan.
ALIP, nama pamor yang selalu menempati
sor-soran, terutama pada sebilah keris, namun kadang ditemui juga di tombak. Termasuk pamor titipan dan pamor Rekan. Bentuknya hanya merupakan
garis lurus, tebal sepanjang sekitar 4 sampai 6 cm dan kadangkala ujung garis
itu membelok patah sedikit. Pamor Alip bukan merupakan pamor Sada Saler
terputus, tetapi sengaja dibuat begitu dan karena titipan kadangkala terdapat
disela pamor lainnya yang lebih dominan.
Bagi sebagian orang, pamor ini mempunyai
tuah baik yakni memperkuat iman, tahan godaan dan tidak tergolong pamor
pemilih hanya pemiliknya harus berpantang terhadap beberapa hal.
AMBER, MINYAK, campuran minyak keris dengan bau yang keras memberi kesan
sakral, ada yang menyebut minyak Misik.
ANDA AGUNG, salah satu bentuk pamor berbentuk garis-garis menyudut, bersusun-susun,
berjajar keatas dari pangkal keujung bilah, tergolong pamor tidak pemilih dan
dipercaya dapat memperlancar karier. Termasuk pamor Miring.
ANGGA CUWIRI, EMPU terkenal pada jaman kerajaan Majapahit sekitar abad 14,
buatannya dikenali dengan tanda sebagai berikut :
Ganjanya relatif berukuran panjang dibanding dengan keris buatan jaman
Majapahit lainnya. Gulu melednya berkesan kekar dan kokoh. Buntut cecaknya
tergolong ngunceng mati. Bagian gendokannya montok, gembung. Bilah kerisnya
berukuran sedang tetapi agak ramping dan agak tebal, besinya matang tempaan
berwarna hitam kebiruan namun mempunyai kesan kering. Dibanding dengan bentuk
keris secara menyeluruh, bagian sor-soran agak terlalu lebar, blumbangannya
juga lebar dan luas. Pamornya sederhana, kebanyakan Wos Wutah atau Pulo
Tirto.
Keris buatan EMPU Angga Cuwiri mempunyai kesan penampilan
yang keras, berwibawa dan meyakinkan.
ANDORAN, salah satu cara
mengenakan keris sebagai pakaian kelengkapan Adat Jawa Tengah terutama di Surakarta. Keris diselipkan di sela lipatan sabuk lontong, diantara
lipatan kedua dan ketiga. Kedudukan keris tegak, ditengah punggung si pemakai
sedangkan hulu dan warangka keris menghadap kekiri. Cara ini dipakai untuk
menghadap orang yang dihormati, umpamanya Raja atau berada ditempat yang
perlu dihormati seperti mesjid, makam dan sebagainya.
ANGGABAH KOPONG,
salah satu dari 4 macam bentuk ujung sebilah keris atau tombak,
menyerupai sekam padi kopong biasanya buatan Pajajaran atau Tuban banyak yang
berbentuk Anggabah Kopong.
ANJANI, NI EMPU, EMPU wanita terkenal dijaman Pajajaran sekitar abad 11, umumnya
bilahnya tipis, panjangnya cukup dan manis, besinya pilihan, tempaan matang
dan berwarna hitam. Pamornya tergolong Mubyar, biasanya Udan Mas, Wos Wutah
atau Pendaringan Kebak dan pamor sejenis itu.
ANGGREK KAMAROGAN, KINATAH, adalah hiasan berupa pahatan relief (gambar timbul) pada sebilah
keris atau tombak. Bentuknya berupa rangkaian bunga anggrek. Pahatan ini
hampir selalu dilapisi dengan logam emas atau emas dan perak, paling sedikit
hiasan ini memenuhi setengah bilah. Dahulu yang berhak memakai ini hanya
kerabat Raja dan Patihnya saja.
ANOMAN,
Nama dapur keris Luk Lima.
Ukuran panjang bilahnya sedang, memakai kembang kacang, lambe gajahnya hanya
satu, pakai ri pandan, sogokannya rangkap dan panjang sampai kepucuk bilah,
selain itu tidak ada ricikan lain. Keris ini gampang
dikenali karena sogokannya yang panjang tersebut.
ANUKARTO,
PAMOR, lihat
pamor rekan.
AREN,
KAYU, jenis kayu
biasanya untuk tangkai tombak (Landeyan, bahasa Jawa), karena cukup berat
biasa dipakai prajurit berbadan cukup kuat.
ARJANATI,
KANJENG KYAI,
salah satu tombak pusaka Pura Pakualaman, Yogyakarta. Bentuknya tidak biasa
termasuk Kalawija, bilah lurus, pipih dan dibagian pangkal seolah digigit
moncong Naga bersayap. Sayap naga tersebut dua susun,
depan dan belakang dan masing masing susun memiliki lima bulu. Tombak ini tergolong nom-noman.
ASIHAN, PAMOR, gambar motifnya seolah menyatu antara gambar yang ada di bilah
keris dan pamor yang ada di bagian ganja nya, pamor ini tidak berdiri sendiri
dan selalu digabingkan dengan pamor lain yang lebih dominan seperti Ngulit
Semangka Asihan dan sebagainya.
AWAR-AWAR, KAYU, sering dipakai untuk rangka keris karena memiliki poleng hitam seperti
kayu Timoho walau tidak seindah Timoho serta bahannya lunak.
BALEBANG,
dapur keris luk lima,
ukuran panjang bilah sedang, kembang kacang, lambe gajah satu, sogokan
rangkap pakai sraweyan, tanpa greneng. Selain luk lima juga ada Balebang luk tujuh dengan
kembang kacang, lambe gajah satu, sogokan rangkap dan sraweyan.
BALEWISA, KANJENG KYAI, pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Parungsari, wrangka dari kayu
Timoho dengan pendok bunton terbuat dari suasa. Semula milik Tumenggung
Sasranegara kemudian diberikan ke anaknya Tumenggung Sasradiningrat yang
menjadi menantu Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I, keris ini kembali ke Kraton
dijaman Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.
BANGO DOLOG, Dapur keris luk tiga , ukuran bilah
sedang, memakai kembang kacang, lambe gajah dua, pejetannya dangkal, memakai
tikel alis. Bagian belakang bilah, dipangkal (sor-soran) tepinya tidak tajam
sampai ke luk yang ke dua selain itu tidak ada ricikan lainnya.
BENDO SAGODO, pamor yang gambarnya merupakan bentuk gumpalan yang mengelompok rapat,
masing masing gumpalan terpisah jarak 0.5 cm – 1 cm dan tergolong pamor
rekan. Tuahnya gampang mencari rezeki dan pamor ini tidak pemilih.
BERAS WUTAH, lihat WOS WUTAH.
BERAS WUTAH PELET, gambaran pada wrangka kayu Timoho yang berupa bintik besar dan
kecil berwarna hitam tersebar tak beraturan, katanya mempunyai tuah yang baik
untuk mencari rezeki.
BESI KUNING, atau wesi kuning sebutan senjata tradisional yang terbuat logam
bewarna kuning biasa berbentuk bukan keris tetapi pangot, patrem, golok pendek
dan orang orang tua mengatakan bahwa besi kuningan merupakan campuran unsure
besi, timah putih, perak, seng, timbal, tembaga, emas. Dipercaya mempunyai
kekuatan gaib menjadi orang kebal terhadap senjata lain.
BESUT,
lihat MASUH.
BETOK,
salah satu dapur keris berukuran bilahnya lebar dibandingkan bilah keris
lainnya. Panjang bilahnya pendek lurus, gandiknya panjang, pejetannya
dangkal, dan merupakan keris yang tua umurnya.
BIMA KURDA, salah satu dapur keris luk 13, memakai kembang kacang, jenggot
susun, lambe gajah satu, tanpa sogokan, tanpa tikel alis. Selain itu memakai
Sraweyan dan greneng lengkap. Selain luk 13 ada juga yang luk 23 dan ukuran
kerisnya lebih panjang dari kalawija, ricikannya memakai kembang kacang,
lambe gajah dua, sogokannya dua, ukurannya normal, memakai greneng lengkap
atau hanya ri pandan.
BIRAWA, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Carita, luk 11.
Wrangkanya terbuat dari kayu Timoho dengan pendok dari emas bertahta berlian.
Semula ini punya Sultan HAMENGKU BUWONO I yang dianugrahkan ke Pangeran
Hadikusuma, putranya, akhirnya setelah berganti ganti pemilik kembali lagi ke
Kraton dengan harga 300 ripis.
BIRING DRAJIT, salah satu dapur tombak lurus, bilahnya simetris. Sisi bilah
tombak di bagian tengah ada lekukan dalam,bentuknya
menyerupai pinggang yang sempit dan ramping, bagian bawah pinggang ini lebih
lebar dibandingkan bagian atas pinggang. Disisi paling bawah ada dua bagian
yang menyudut.
Tombak ini memakai ada-ada tipis
ditengah bilah mulai bawah sampai ke ujung. Separuh bilah tombak kebawah
permukaannya berbentuk ngadal meteng tetapi selebihnya datar saja.
BIRING LANANG, salah satu dapur tombak lurus seperti Biring Drajit, Sisi bilah
tombak di bagian tengah ada lekukan dalam,bentuknya menyerupai pinggang yang
sempit dan ramping, bagian bawah pinggang ini lebih lebar dibandingkan bagian
atas pinggang. Disisi paling bawah ada dua bagian yang menyudut.
Tombak ini memakai ada-ada tipis
ditengah bilah mulai bawah sampai ke ujung. Separuh bilah tombak kebawah
permukaannya berbentuk ngadal meteng tetapi selebihnya datar saja.
BLABAR, KANGJENG KYAI, nama pusaka kraton Yogyakarta
berdapur Pasopati berpamor sekar pala dengan wrangka kayu cendana, pendok
dibuat emas murni dan berbentuk blewehan. Keris ini
merupakan putran atau duplikat dari pusaka kraton Surakarta yang juga bernama Kyai Blabar.
Semula dimiliki Pangeran Hadikusumo tetapi pada pemerintahan HAMENGKU BUWONO
V ditarik kembali ke kraton.
BLARAK NGIRID, termasuk pamor miring dan rekan bentuknya mirip daun kelapa
dengan pelepahnya dan tuahnya untuk kewibawaan dan kepemimpinan, pamor ini
kadang disebut Blarak Sinered atau Blarak Ginered. Pamor ini tergolong mahal
dan susah pembuatannya.
BLANDARAN , LANDEYAN, tangkai tombak sekitar 3 atau 4 meter panjangnya, dahulu
digunakan prajurit berkuda mengejar musuh atau acara Rampogan dan Watangan
(latihan perang-perangan untuk prajurit berkuda) setelah ujungnya diganti
dengan semacam bahan lunak.
BLANDONGAN, alat untuk merendam tosan aji sebelum dicuci dan diwarangi,
terbuat dari kayu keras dengan ukuran 70 cm x 20 cm x 15 cm, tengahnya
ada lekukan dan kadang diukir. Blandongan disebut juga Kowen.
BLUMBANGAN, atau Pejetan atau Pijetan adalah bagian keris yang berupa
cekungan atau lekukan pada bagian bawah bilah keris letaknya dibelakang
bagian gandik dan didepan bagian bungkul
BANCEAN,
Wrangka kombinasi gaya Surakarta
dan Yogyakarta
disebut juga Bincihan.
BANDOTAN,
Salah satu dapur tombak luk tujuh, sepertiga panjang tombak lurus sedangkan
dua pertiga baru ada luk nya, sisi kiri/kanan bawah ada gandiknya berukir
naga kadang dihias kinatah, badan kedua naga tersebut menyatu dan menghilang
membentuk ada-ada yang besar dan menonjol mengikuti luk.
BANJURA, KI EMPU, seorang EMPU pada kerajaan Demak dan jarang tercatat dibuku,
buatannya bentuk ganjanya datar, rata dan tipis, guru melednya kecil , sirah
cicaknya panjang tetapi tidak sampai meruncing pada bagian ujung. Bilahnya
sedang dan ramping seperti buatan EMPU Majapahit tetapi besinya memberi kesan
“kering” berpori dan kurang tempaan, pamornya sederhana,
kembang kacangnya ramping tetapi lingkarannya besar, blumbangannya berukuran
dalam tapi sempit, sogokannya dangkal dan panjangnya cukup, secara
keseluruhan memberi kesan wingit.
BANYAK ANGREM, salah satu dapur tombak seperti angsa mengeram, tidak symetris,
lebar bagian bawah, permukaan datar tetapi memakai ada-ada tipis ditengah
bilah, ricikan lain tidak ada. Dapur ini banyak terdapat pada tombak lama dan
dibuat bukan untuk berperang tetapi sebagai pusaka.
BANYAK WIDE, EMPU, hidup jaman Pajajaran, ada yang menyebut namanya Ciung Wanara,
hasil karyanya ganjanya tergolong panjang (ganja wuwung), guru meled juga
panjang, sirah cecak membulat tetapi tepat bagian cocor meruncing kecil ,
besi keris hitam berkesan padat dan liat dan secara keseluruhan memberi kesan
angker, wingit.
BARU,
nama salah satu dapur tombak lurus, Bilahnya simetris. Bentuk menyerupai daun
bambu dengan sedikit lekukan landai dibagian bawah pinggangnya. Lebar bilah
bagian bawah sedikit lebih lebar daripada bagian atas pinggang. Tombak ini
memakai bungkul dibagian sor-soran, bilah diatas sor-soran berbentuk ngadal
meteng. Dapur Baru ini tergolong popular, banyak dijumpai terutama pada
tombak buatan Majapahit dan Belambangan.
BARU CEKEL, nama salah satu dapur tombak lurus, bagian tengah bilah agak
kebawah ada tekukan landai membentuk semacam pinggang yang cukup ramping,
memakai ada-ada dan bungkul kecil. Sisi bilah paling bawah bentuknya
menyudut, tetapi permukaan bilah yang menghadap kebawah bentuknya datar.
BARU GRONONG, nama salah satu dapur tombak lurus, bilahnya simetris, bentuknya
pipih, tipis, mempunyai lekukan landai dibagian tengah bilah yang menyerupai
pinggang. Lebar bilah bagian atas lebih sempit disbanding bagian bawah
pinggang. Diatas metuk ada bungkul. Tombak ini memakai kruwingan dikiri kanan
bagian bungkul tetapi permukaan bilahnya tidak memakai ada-ada.
BARU KALANTAKA, salah satu dapur tombak lurus, dibagian sisi tengah bilah ada
lekukan landai membentuk semacam pinggang yang tidak begitu ramping. Bagian
dibawah pinggang ini lebih besar daripada bagian diatasnya. Memakai ada-ada,
dibawah ada-ada ada bungkul kecil. Sisi bilah yang menghadap kearah bawah
membulat membentuk semacam separuh elips.
BARU, KANGJENG KYAI, tombak pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur baru, semula milik Ki
Sawunggaling dari Bagelen kemudian diberikan ke Pangeran Mangkubumi melawan
penjajahan Belanda.
BARU KUPING, nama salah satu dapur tombak lurus, bilahnya simetris, menyerupai
daun bambu, dengan sedikit lekukan landai pada bagian bawahnya. Hampir mirip
bentuknya dengan tombak dapur Baru. Lebar bagian bawah pinggang sedikit lebih
kecil dari atas pinggang, memakai bungkul diatas mentuk,
permukaan bilah tombak diatas bagian bungkul berbentuk ngadal meteng.
BARU PENATAS, tombak salah satu dapur lurus, simetris, pipih dan tipis.
Mempunyai lekukan seperti pinggang ditengah, lebar bagian bawah pinggang
lebih besar daripada bagian atas, diatas bagian metuk ada bungkul
besar, permukaan bilah tombak diatas bungkul berbentuk ngadal meteng.
BARU TEROPONG, salah satu dapur tombak lurus, bagian tengah ada tekukan landai
seperti pinggang tetapi tidak begitu ramping. Bilahnya agak tebal, tidak
memakai ada-ada tetapi memakai bungkul berukuran besar namun tipis dan tidak
begitu menonjol. Permukaan bilah tombak berdapur umumnya nggigir sapi.
BASSI PAMARO, sebutan bagi pamor Luwu, biasa dipakai orang Malaysia, Singapore
dan Brunei
dan menjadi bahan dagangan semenjak jaman Majapahit.
BATANG GAJAH, KANGJENG KIAI, Keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Carita Luk 11, wrangkanya
kayu Trembalo, pendoknya emas blimbingan rinaja warna.
BATU LAPAK, pamor yang selalu menempati bagian sor-soran sebuah keris, badik,
pedang atau tombak. Bentuknya merupakan berkas garis yang melengkung setengah
lingkaran atau menyudut dan tergolong pamor miring serta pamor rekan , tuahnya bisa melindungi dari bahaya tak terduga.
BAWANG SEBUNGKAL, pamor dengan bentuk mirip dengan irisan bawang, menempati
sor-soran keris tergolong pamor miring dan rekan. Tuahnya memelihara
ketenangan dan ketentraman rumah tangga.
BEKEL JATI, EMPU, hidup di Tuban pada jaman Majapahit, tanda kerisnya Panjang
bilah sedang, condong kedepan sehingga berkesan menunduk, lebar bilah dan ketebalannya
cukup, bagian ganja agak sempit dibandingkan buatan Tuban lainnya dan
termasuk ganja wuwung.
BADAELA,
pamor yang dianggap kurang baik termasuk pamor tiban dan terletak di
sor-soran, karena tuahnya buruk maka sering diberikan ke museum atau dilarung.
BAKUNG,
nama dapur keris luk lima,
ukuran panjang bilahnya sedang. Cekungan pejetannya dalam, tikel alis dan
greneng, selain itu tidak ada ricikan lain.
CACAP, Suatu
kebiasaan keliru yang dilakukan pemilik keris dimasa lampau yaitu merendam
bilah kerisnya dengan bisa ular atau isi perut ketonggeng, hal ini bisa
merusak bilah .
CACING KANIL, nama salah satu dapur tombak luk 3, 5 atau 7, mirip cacing
menggeliat dan berbentuk beda dengan luk keris biasa, pada cacing kanil maka
luk mengarah kesegala arah. Tombak dengan motif cacing kanil tidak pipih
tetapi bulat atau persegi, bisa segi 3, 4 atau berbentuk belimbing.
Tombak cacing kanil sekarang berubah
fungsi bukan sebagai tombak tetapi banyak digunakan sebagai tongkat komando.
CALURING, atau Cluring merupakan dapur keris luk 11, memakai kembang kacang
dengan sogokan rangkap tanpa ricikan lain, bilah panjang dan tebal, luk nya
makin keujung makin rapat, keris ini mudah dikenali dari luk nya.
Ada juga Caluring
luk 13 dengan ricikan yang sama.
CAMPUR BAWUR, keris luk 3, ukuran bilah sedang, luk ada di atas, bawah dan
tengah keris sehingga keris cenderung lurus. sogokan
keris rangkap, memakai greneng dan pejetan.
CANCINGAN, lihat KANCINGAN.
CARANG MUSTOPO, EMPU, hidup dijaman PAKU BUWONO IV, dikenal juga sebagai EMPU Kyai
Mustopo, kerisnya dikenali sebagai berikut , ganja
model Sebit Ron Tal, gulu meled sempit, buntut cicak model buntut urang,
ukuran ganja seimbang dan serasi dengan panjang bilah. Bilah ramping dengan
posisi agak merunduk, matang tempaan dan rapih, keris yang lurus rata rata
lebih tebal dibandingkan yang luk. Pamornya sederhana berpenampilan tampan,
sopan dan rapi menyenangkan.
CARANG SOKA, Keris luk 9, memakai kembang kacang,
lambe gajah satu, sraweyan, ri pandan.
CARITA,
keris luk 13, ukuran bilah sedang memakai kembang kacang, lambe gajah satu,
sogokan rangkap dan greneng. Ada juga Carita luk 11.
CARITA
BUNTALA, keris
luk 13, bilah sedang, kembang kacang, lambe gajah satu, sraweyan, ri pandan,
kruwingan tidak melengkung landai tetapi berbentuk patah kaku. Ada juga luk
15, memakai kembang kacang, lambe gajah dua, memakai jalen, sraweyan, ri
pandan.
CARITA DALEMAN, keris luk 11, panjang bilah sedang, kembang kacang bungkem,
jenggot dan greneng serta lis-lisan dan gusen.
CARITA GANDU, keris luk 11, ukuran sedang, kembang kacang, jenggot, lambe gajah
satu, sraweyan dan ri pandan.
CARITA GENENGAN, keris luk 11, bilah sedang, luknya dalam, kembang kacang, jenggot dan
lambe gajah satu, sogokan rangkap, sraweyan dan ri pandan. Dapur ini disebut juga Carita
Gunungan.
CARITA
KANAWA, keris luk
9, panjang bilah sedang, kembang kacang, lambe gajah dua, jalen dan jalu
memet, dus sogokan normal, sraweyan, lis-lisan, gusen, kruwingan.
CARITA
KAPRABON, keris
luk 11, bilah sedang, gusen sampai keujung bilah, kembang kacang, tikel alis,
jenggot, jalen, jalu memet, lambe gajah dua, sraweyan, ri pandan, greneng
tanpa sogokan.
CARITA PRASAJA, keris luk 11, bilah sedang, kembang kacang dan lambe gajah dua.
CARUBUK, keris
luk 7, panjang bilah normal, kembang kacang, lambe gajah dua, sraweyan dan
greneng lengkap, ada yang mengatakan harus ditambahi dengan kruwingan.
CELURIT,
senjata tradisional Madura, mirip arit, sabit tetapi bagian lengkung
diujungnya lebih panjang dan runcing.
CENDANA KAYU, bahan pembuat wrangka yang banyak disukai terutama didaerah Surakarta sekitarnya.
Pohonnya berkayu keras dengan tinggi bisa mencapai 15 m, kayu cendana dari Sumbawa terkenal harum baunya lebih dari cendana jawa.
Urat kayu cendana yang bagus disebut ngulit urang, doreng, makin bagus makin
mahal harganya.
CENGKRONG,
salah satu dapur keris lurus, bilahnya sedang posisinya agak membungkuk,
bagian gandik terletak dibelakang, panjang sampai lebih dari setengah bilah,
tanpa ricikan apa apa, beberapa jenis dapur cengkrong ada yang luk 3, 5, 7,
luk terletak diujung keris, dulu banyak dimiliki oleh alim ulama.
CENDANA MINYAK, untuk meminyaki keris, karena mudah menguap dan terlalu kental
maka dicampur minyak klentik atau minyak mesin.
CEPLOK BANTENG, PELET, pelet kayu timoho yang bintik bintik besar rapat satu sama
lainnya, kadang bersinggungan dan menyebar diseluruh permukaan kayu wrangka.
Tuahnya baik untuk kewibawaan.
CEPLOK KELOR, PELET, pelet kayu timoho, bulatan bulatan sebesar daun kelor agak
lonjong, menyeluruh di wrangka, tuahnya dapat menawarkan ilmu jahat.
CINCIN KERIS, lihat Mendak,
CITRO,
salah satu dapur tombak luk 13 mempunyai semacam kembang kacang, dua lambe
gajah ditepi bilah menghadap kebawah didekat bagian mentuk, selain itu memakai
ada-ada tipis disepanjang bilah, kebanyakan buatan Mataram.
COCOR,
bagian paling depan dari ganja dan merupakan bagian
ujung dari sirah cicak. Cocor ada yang tumpul ada yang runcing, kadang
disebut cucuk.
CONDONG CAMPUR, salah satu dapur keris lurus, panjang bilah sedang dengan
kembang kacang, lambe gajah satu, sogokan hanya satu didepan dan ukuran
panjang sampai ujung bilah, sogokan belakang tidak ada, selain itu juga
memakai gusen dan lis-lisan.
CUNDRIK,
salah satu dapur keris lurus berukuran kecil sekitar sejengkal bilahnya
umumnya agak tebal dan membungkuk, gandik terletak dibelakang berukuran
panjang dan terdapat kruwingan yang jelas dan tegas, sepintas seperti keris
Cengkrong.
CUNDUK UKEL, keris yang diberikan mertua kepada menantu nya sebagai ikatan
keluarganya, biasanya sebelum diberikan ke menantu terlebih dahulu diberikan
kepada anak perempuannya. Bila suatu saat mereka bercerai maka keris itu
dikembalikan kepada anak perempuan tersebut.
CURIGA, kata
lain dari keris yang lebih halus dan sopan.
DADUNG MUNTIR, pamor yang hampir mirip pamor Sada Saler, bedanya garis yang
menjulur sepanjamg bilah tidak berbentuk garis biasa tetapi lukisan pamor
yang mirip dengan pintalan tambang atau pintalan tali. Tuahnya menambah
kewibawaan dan keberanian serta keteguhan hati, tergolong pamor rekan dan
banyak terdapat pada keris dan tombak buatan
Madura, termasuk pamor pemilih, tidak setiap orang bisa cocok.
DAMAR MURUB, lihat URUBING DILAH.
DAN RIRIS,
lihat PANDAN IRIS.
DANUWARSA, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta berdapur Jalak Sangu Tumpeng,
warangkanya dari kayu trembalo, pendoknya dari suasa, merupakan putran dari KKA
KOPEK, buatan Empu Supo dibuat jaman HAMENGKU BUWONO V.
DAPUR,
adalah penamaan ragam bentuk atau tipe keris, sesuai dengan ricikan yang
terdapat pada keris itu dan jumlah luk nya. Penamaan dapur keris ada
patokannya, ada pembakuannya. Dalam dunia perkerisan, patokan dan pembakuan
ini biasanya disebut pakem dapur keris.
DARADASIH,
nama salah satu dapur tombak luk 5, ditengah bilahnya memakai ada-ada yang
ukurannya besar dan tebal sehingga terlihat jelas, bilahnya tebal dan
ditepinya ada gusen serta lis-lisan, sisi bilah bagian bawah tombak ini
berbentuk menyudut. Ricikan lainnya tidak ada.
DARADASIH MENGGAH, salah satu dapur tombak luk 5, pada luk pertama terdapat pudak
sategal, serta kruwingan dibagian sor-soran, permukaan bilah pada separuh
bagian atas cenderung datar tetapi bagian bawah berbentuk ngadal meteng. Sisi
bilah yang menghadap terdapat semacam kembang kacang dan dua lambe gajah yang
kecil kecil ukurannya.
DEDER,
bagian hulu keris terbuat dari kayu untuk pegangan keris itu, bentuk deder
itu ada ratusan, tiap daerah punya ciri sendiri, di Yogyakarta dan surakarta disebut juga
ukiran. Kayunya biasanya dipilih yang gampang diukir tetapi harus keras dan
punya urat yang indah, kayu yang dianggap baik di Jawa adalah kayu Tayuman
sedang di Malaysia, Riau, Brunei
adalah kayu kemuning.
DELING, PAMOR, nama lain dari Akhodiat di Madura, kalau menyebar dibilah keris
disebut Delung Settong, kalau mengumpul diujung bilah disebut Deling
Pucuk dan kalau dibagian pesi disebut Deling Paksi.
DEWADARU, PELET, nama gambar pada warangka yang berupa garis garis tipis dan tebal
berwarna hitam atau coklat tua berjajar dari atas kebawah atau miring,
tuahnya bisa mendapat keberuntungan, karena indahnya maka timoho pelet
dewadaru banyak dicari orang.
DORA MENGGALA, salah satu dapur tombak luk 5, memakai pudak sategal dan kruwingan , bilah bagian bwah sor-soran agal tebal, tetapi
mulai tengah bilah sampai ujung tipis dan datar. Pada sisi bilah uang
menghadap kebawah terdapat bentuk yang menyerupai kembang kacang dan satu
lambe gajah berukuran kecil.
DORENG PELET, gamvaran warangka kayu timoho berupa jurai jurai berwarna hitam
atau coklat pada permukaan kayu, sepintas mirip kulit harimau, gambaran ini
selain di kayu timoho juga ada pada kayu cendana dan kayu yang lain.
DRAJIT,
nama keris luk 21, tergolong kalawija, ukuran kerisnya sedikit lebih panjang
daripada keris bukan kalawija. Mempunyai kembang kacang, lambe gajah dua dan
sraweyan. Tergolong keris langka dan buatan lama.
DUNGKUL,
lihat WUNGKUL.
DUWUNG,
padanan kata keris, dianggap lebih halus dan biasa digunakan oleh priyayi
Jawa.
DWISULA, tombak
bercabang dua, ada yang lurus dan ada yang ber luk 3, 5 atau lebih, tidak
terlalu populer dibandingkan tombak Trisula, kegunaannya lebih sebagai tombak
pusaka yang tidak dipakai secara langsung dalam pertempuran, biasanya dibuat
indah bahkan ada yang diberi kinatah.
EKSOTERI KERIS, ilmu mengenai keris yang tampak dari luar
dan merupakan lawan dari esoteri keris.
ENDAS BAJA, pamor yang menurut banyak orang bertuah buruk, katanya pemiliknya
akan sering mendapat musibah karena ulahnya sendiri. Apa yang dilakukan serba
salah, sebaiknya dibuang atau dilarung , pamornya
selalu terdapat pada bagian sor-soran.
ENTO-ENTO, atau ngento-ento merupakan nama
desa di Sleman yang pada masa silam merupakan tempat Empu Supo Winangun.
Menurunkan Empu Jeno Harumbrojo dan Empu Genyo.
ENTO
WAYANG, Empu yang
hidup zaman Kartasura, anak Empu Supanjang dan leluhur Empu Jeno. Tanda tanda
kerisnya tidak tercatat hanya selalu membuat keris gaya Mataraman.
EPEK, semacam ikat pinggang tradisional
dan merupakan kelengkapan pakaian Jawa, terbuat dari bludru dan kadang dihiah
benang emas atau manik manik, lebar sekitar 6 cm dan panjang sekitar 95 cm
sampai 140 cm.
Sebuah
epek baru dapat dikenakan bila dilengkapi timang, semacam
kepala ikat pinggang, pada umumnya berwarna dasar hitam, kadang ada yang
berwarna dasar merah, biru atau hijau. Disesuaikan dengan baju yang
dipakai.
ERI
CANGKRING, bagian
yang menonjol pada sisi atas ditepi sebuah warangka gaya Surakarta,
Yogyakarta, Madura atau Bali, berbentuk menyudut tajam menonjol sekitar 0.5
cm dan tempatnya sejajar dengan tengah lobang searah dengan garis pesi keris.
ERI WADER, pamor yang menyerupai tulang ikan, sepintas seperti pamor Ron
Genduru, bedanya lebih kurus dan tergolong pamor miring. Pembuatannya
tergolong sukar dan karena dapat dirancang maka termasuk pamor rekan. Pamor
ini tergolong pemilih dan dipercaya dapat menambah wibawa pemiliknya.
ESOTERI KERIS, ilmu yang memusatkan pada apa yang tidak tampak dari luar,
membicarakan mengenai tuah, tanjeg, tayuh, khasiat, daya magis, manfaat,
pengaruh, penunggu dan semacamnya. Terlepas dari benar atau tidaknya maka
esoteri ini merupakan salah satu budaya per-kerisan dan dibicarakan juga
dinegara lain dan kadang sering dibicarakan dari
sudut agama.
GABILAHAN,
sebutan orang Madura untuk warangka model Gayaman, khususnya bergaya
Madura.
GADA
TAPAN, KANGKENG KYAI, tombak pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Gada. Kini KK Gada
Tapan dan KK Gada Wahana menjadi dua tombak pendamping pusaka KK
Ageng Pleret.
GADA
WAHANA, KANGJENG KYAI, puasa Kraton Jogya, berdapur Gada dengan hiasan sinarasah emas,
berasal dari pemberian pendeta dari Pratiwagung pada Sri Sultan HAMENGKU
BUWONO III.
GADING, bahan baku untuk warangka yang
banyak jumlahnya, gading gajah afrika umumnya panjangnya mencapai 2 m
dengan berat rata-rata 21 kg sedang gajah asia beratnya sekitar 19 kg dengan
panjang rata-rata 160 cm saja. Gajah Sumatra gadingnya termasuk paling mahal
dengan warna lebih putih dan keretakan tidak banyak, gajah Thailand agak
kekuningan warna gadingnya dan keretakan agak banyak, sedang gajah Afrika
banyak retak gadingnya. Sebagian pecinta keris menolak menggunakan warangka
gading ini karena kekerasannya dapat membuat aus bilah keris dan merusak
pamor, itulah sebabnya keris pusaka tidak ada yang diberi warangka gading.
GAJAH
MANGLAR, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Gajah Manglar, warangka dari
kayu Timoho, pendoknya dari emas bertahtakan intan berlian. Semula
milik Sri Sultan HAMENGKU BUWONO I, diserahkan kepada putranya Pangeran
Demang dan pada zaman Sultan HAMENGKU BUWONO V kembali ke Kraton.
GAJAH SINGA, nama salah satu jenis hiasan kinatah yang ditempatkan bagian
bawah ganja. Permukaan yang tidak tertutup hiasan gajah singa dihiasi ornamen
hiasan lain. Kinatah gajah singa diberikan karena keris tersebut telah
berjasa membantu pemiliknya, terjadi pada pemerintahan Sultan Agung
Anyokrokusumo. waktu itu didaerah Pati, Jawa Tengah bagian utara, terjadi
pemberontakan yang dipimpin Adipati Pragola, sesudah pemberontakan berhasil dipadamkan
maka Raja Mataram memberikan tanda kehormatan Kinatah Gajah Singa pada
prajuritnya.
Semua keris para prajurit sampai perwira
dikumpulkan dan diberi hiasan kinatah Gajah Singa kemudian dikembalikan lagi
kepada yang punya, ini untuk peringatan Mataram memadamkan pemberontakan Pati
karena Gajah Singa artinya perlambang angka tahun sesuai dengan candra
sengkala, Gajah melambangkan angka 8 sedangkan Singa angka 5, curiga (keris)
angka 5 dan tunggal melambangkan angka 1 dan karena candra sengkala (lambang
angka tahun) selalu dibaca dari belakang maka yang dimaksud adalah 1558
kalender Jawa. Walau penghargaan kinatah Gajah Singa diberikan pada zaman
Mataram tetapi ada juga keris buatan Majapahit, Tuban, Jenggala dan Singasari
menggunakan hiasan itu.
GANA KIKIK, salah satu dapur keris lurus yang panjang bilahnya berukuran
sedang, keris ini memakai gusen, ada-adanya tebal dan nyata, gandik keris ini
diukir dengan bentuk srigala sedang melolong, kaki depan tegak sedang kaki
belakang ditekuk. Ada
yang menyebutnya dapur Kikik saja atau Naga Kikik, dapur ini tergolong
populer dan banyak penggemarnya karena indah bentuknya dan tinggi mutunya.
GANDAR,
adalah salah satu bagian dari warangka keris, dibuat dari kayu yang tidak
terlalu kerasbentuknya bulat panjang dan pipih, kegunaannya untuk melindungi
bilah keris, banyak gandar dilapisi selongsong logam berukir indah dan
disebut pendok.
GANDAR IRAS, warangka yang menyatu dengan gandar ,
jadi seluruhnya dibuat dari satu bongkah kayu tanpa sambungan apapun.
Warangka Gandar Iras selalu lebih mahal dari
warangka biasa karena bahan kayu yang utuh dan cukup untuk membuat warangka
ini sulit dicari dan banyak bahan terbuang dalam proses pembuatannya.
GANDAWISESA, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Naga Siluman, warangka
dari kayu Trembalo dan pendok bertahta rajawarna. Keris
ini buatan Penembahan Mangkurat dizaman pemerintahan Sri Sultan HAMENGKU
BUWONO V.
GANDIK, adalah bagian “raut muka”
dari sebilah keris. Ada
gandik polos, ada yang dilengkapi racikan lain. Letaknya tepat diatas sirah
cecak. Bagian gandik ini hampir selalu berada dibagian depan keris, hanya
pada beberapa dapur keris antara lain dapur “cengkrong” yang
letaknya dibelakang dari bilah keris. Kata “gandik” dalam bahasa Jawa
berarti batu penggilas yang bentuknya bulat panjang. Ukuran
dan ketebalannya bermacam-macam.
GANJA,
bagian bawah dari sebilah keris, seolah-olah merupakan alas atau dasar keris
tersebut, pada bagian tengahnya ada lobang untuk memasukan bagian pesi.
Bagian bilah dan bagian ganja dari sebilah keris merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan melambangkan kesatuan lingga
dan yoni, ganja mewakili lambang yoni sedang bilahnya melambangkan
lingga. Bentuknya sepintas mirip buntut cecak tanpa kaki, bagian depanya
mirip kepala cecak disebut sirah cecak, begitu pula bagian perut dan ekornya
, bagian “perut” ganja disebut Wetengan atau Gendok, sedang
bagian “ekor” disebut buntut cecak. Ragam bentuk ganja ada beberapa macam, ganja Sebit Ron Tal, Wulung,
Wilut, Dungkul, Kelap Lintah. Disemenanjung Melayu, Brunei, Serawak
dan Sabah serta Riau disebut juga Aring, namun sering disebut ganja saja.
GANJA
WULUNG,
Ganja yang tidak berpamor, banyak pendapat emngapa kerisnya berpamor bagus
sedangkan ganjanya tidak berpamor. Pertama, keris itu adalah keris yang bagus
kemudian dibuatkan putran-nya (duplikat), bagian ganja keris yang bagus itu
dilepas lalu dijadikan campuran bahan baku pembuatan keris duplikat,
sedangkan keris aslinya dibuatkan ganja wulung. Kedua, pada jaman dulu banyak
orang yang memahami ilmu keris terutama isoterinya, dengan hanya melihat
bagian ganjanya yang tampak orang akan menduga keris itu berdapur apa,
pamornya apa, dan apa tuahnya dengan demikian apabila orang tersebut telah
tertebak apa tuah kerisnya dia merasa seperti “ditelanjangi” sehingga untuk
menutupinya dia memesan ganja wulung. Ketiga karena ganjanya rusak dan
diganti.
GANDRUNG,
PELET, gambaran
pada warangka kayu Timoho berupa bulatan besar tidak teratur
dipermukaan, selain indah bertuah baik dan disenangi orang sekeliling, banyak
dicari oleh Dalang.
GAYAMAN, nama salah satu bentuk warangka
didaerah Surakarta dan Yogyakarta, mirip bentuk buah gayam, makanya
disebut gayaman. Bentuk gayaman Yogyakarta agak beda dengan gayaman
Surakarta, begitu pula gayaman Madura (gabilahan), warangka ini paling
banyak dipakai orang karena lebih sederhana , ringkas ukurannya dan tidak
mudah patah dan umum digunakan sehari-hari sebagai kelengkapan pakaian
daerah.
GEDONG
PUSAKA, bangunan
khusus di keratom tempat penyimpan pusaka, hanya petugas khusus dan kerabat
raja tertentu yang boleh masuk.
GENDOK, atau wetengan atau waduk adalah
nama bagian tengah ganja, bentuknya menggembung bagaikan perut kenyang. Ditengah bagian gendok terdapat lubang untuk memasukan pesi.
Sebagian orang menyebutnya wadukan.
GENYODIHARDJO, pandai keris dari Yogyakarta,
kakak empu Jeno walau garapannya masih kalah dari empu Genyo.
GIRIREJO, KANGJENG KYAI, keris pusaka Kraton Yogyakarta, berdapur Carita luk 11, warangka
dari kayu Timoho, pendok dari pendok slorok terbuat dari suasa, sedang
seloroknya dari emas murni. Keris ini dibeli Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V dari abdi dalem bernama Bekel
Wasadikara.
GRENENG, salah satu bagian keris yang
merupakan bagian tepi dari punggung keris sebelah pangkal, bagian tepi bilah
ini bentuknya menyerupai gerigi dengan ujung-ujung runcing. Bentuk variasi
dari gerigi ini berbeda dari daerah satu ke yang lain tetapi bentuk dasarnya
sama. Ada yang mengatakan bahwa bentuk greneng merupakan tandatangan sang
empu karena setiap empu terutama bagian Ron Da selalu berbeda satu dengan
lainnya.
GODONG
ANDONG, salah
satu dapur tombak bilah lurus dan bilahnya simetris, bentuknya mirip gadong
andong, ditengah memakai ada-ada dari pangkal hingga ujung bilah, ricikan lain
tidak ada , dapur ini banyak terdapat pada tombak kuno terutama buatan zaman
Pajajaran dan Segaluh.
GODONG
DADAP, salah satu
dapur tombak lurus seperti daun dadap, lebar, simetris dan tipis. Ditengah
bilah dari bawah sampai atas memakai ada-ada tipis, ricikannya yang lain
tidak ada. Biasanya tombak ini berukuran kecil kadang
disebut dapur Ron Dadap.
GODONG SEDAH, salah satu dapur tombak lurus berukuran kecil, menyerupai daun
sirih, lebar ditengah pipih, simetris dan tipis, bagian tengah dari bawah ke ujung
terdapat ada-ada, biasa disebut Ron Sedah.
GODONG PRING, salah satu dapur tombak lurus seperti daun bamby, simetris kiri
dan kanan, bilahnya tipis, hampir tak ada ada-ada, pada bagian bawah ada
lekukan landai yang berbentuk semacam pinggang, pamor ini tergolong populer
dan banyak dijumpai.
GOLOK,
salah satu jenis pedang sabet dan berat bobotnya, bentuknya agak beragam
umumnya berbentuk lameng pendek bagian punggungnya cembung pada ujungnya, sedang bagian depannya lurus. Yang
tajam hanya sisi depannya.
GOTHITE,
mineral besi terdiri dari trioksida besi yang terikat air berwarna
kekuningan, merah dan kecoklatan, rumus kimianya Fe2O3.H2O. besi ini kurang baik untuk bahan keris karena mudah
keropos dan berpori.
GUMBOLO GENI, pamor yang menyerupai binatang kala atau ketonggeng
dengan ekor mencuat keatas, pamor ini tergolong baik untuk menolak
sesuatu yang tidak dikehendaki dan tergolong pemilih. Pamor ini selalu terletak di
sor-soran.
GULING, EMPU, empu terkenal di zaman Mataram. Karya karyanya demikian indah.
Tanda tandanya adalah, ukuran bilah lebih besar dari rata rata buatan
Majapahit tapi lebih ramping, ganjanya melengkung, gulu melednya sempit sirah
cecak berbentuk lonjong dan meruncing pada ujungnya, buntut urangnya
berbentuk nguceng mati dan tidak pakai tunggakan, banyak keris karya Ki Empu
Guling memakai Ganja Wulung.
Besi yang dipakai 2 rupa, yaitu hitam
keabu-abuan dibagian tengah dan hitam legam dibagian pinggir bilah. Pamornya
rumit dan halus, lembut dan padat. Penampilan keris secara keseluruhan
memberi kesan gagah, berwibawa dan anggun. Kalau membuat kembang kacang
bentuknya melingkar sekali, jalennya pendek tapi lambe gajahnya menonjol
panjang. Sogokannya dangkal tapi panjang, janurnya berbentuk mirip lidi,
terus tetap kecil sampai kebawah. Kalau membuat bagian Dha pada Ron Dha,
lekukannya tergolong dangkal . jika
tidak memakai kembang kacang maka gandiknya agak panjang dan tidak begitu
miring.
GULU MELED, salah satu bagian dari ganja yang letaknya dibelakang sirah
cecak, dibagian gulu meled ini, ukuran ganjanya menyempit dibandingkan dengan
bagian depannya. Jadi mirip bagian leher seekor cicak.
GUNAWISESA, KANGJENG KYAI, pusaka Keraton Yogyakarta, berdapur Carita dengan bagian ganja
bertahtakan intan. Warangkanya dari kayu Timoho dengan pendok emas rajawarna.
Keris ini buatan empu keraton pada jaman
pemerintahan Sri Sultan HAMENGKU BUWONO V.
GUNUNGAN,
nama salah satu dapur tombak yang bentuknya menyerupai gunungan wayang kulit.
Tombak ini umumnya menyerupai gunungan wayang kulit, berbilah tipis dan
lebar, selain ada-ada pada bagian sor-soran tombak ini tidak punya ricikan
apapun.
GUTUK API, KANGJENG KYAI, keris pusaka keraton Yogyakarta, berdapur Jalak, warangkanya dari
kayu Timaha, pendoknya jenis blewahan terbuat dari emas bertahtakan intan
permata raja warna. semula milik Sri Sultan HAMENGKU
BUWONO I diberikan ke Pangeran Adinegara, putranya, selanjutnya jatuh
ketangan Temenggung Mertadiningrat dan dikembalikan ke keraton pada mas Sri
Sultan HAMENGKU BUWONO V.
GUSEN,
adalah daerah sempit sepanjang tepi bilah keris atau tombak, daerah sempit
itu yang dibatasi oleh tepi bilah yang tajam dengan garis lis-lisan.
GUNA, KYAI, empu terkenal yang hidup dijaman penjajahan Belanda, tinggal di
Magetan, Madiun. Kerisnya berukuran panjang dan besar dan pada umumnya
berdapur lurus. Karena dari bahan baja maka keris Kyai Guna terkenal amat
kuat dan dapat melubangi kepingan logam, sampai saat ini keris buatan Kyai
Guna masih populer didaerah Madiun dan Ponorogo dan sekitarnya. Banyak
diantaranya tidak memakai bahan pamor, orang Madiun dan Jawa Timur
menyebutnya keris pamor waja.
HARJAMULYA, KANGJENG KYAI, salah satu keris pusaka Kraton Yogyakarta
berdapur Cengkrong, warangka dari kayu Timoho, pendok blewahan terbuat dari
emas, dengan ukiran bahan gading. Keris ini didapat
Sri Sultan Hamengku Buwono II dari “Kangjeng Gubermen” sewaktu Sultan ditawan
di Penang.
HULU PEKAKAK, nama hulu keris terkenal disemenanjung Malaka, Riau, Jambi,
Serawak, Brunei dan Sabah, terbuat dari kayu keras, gading atau perak.
Bentuknya menyerupai kepala raksasa dengan mata besar dan hidung panjang yang
distilir. Dipulau Jawa bentuk ini dijumpai juga didaerah Surakarta dan disebut Rajamala.
HULU BURUNG, nama salah satu jenis hulu keris berbentuk burung, bentuk ini
sudah jarang dipakai namun dulu banyak dibuat orang di Jambi, Bangkinang,
Riau dan Semenanjung Melayu serta Pathani (Thailand Selatan), terbuat dari
bahan kayu yang keras, gading atau gigi ikan duyung, bahkan ada pula yang
dari perak.
YASADIPURA
II, pujangga
terkenal Kraton Solo. Tahun 1814 beliau menulis Serat Centini bersama RM
Ranggasutrasna dan RM Sastrodipura, membahas mengenai
Pakem Keris dan Tombak Jawa dibawah koordinasi Paku Buwono V, pekerjaan ini
selesai tahun 1823.
YOGAPATI, pamor yang oleh banyak penggemar
keris dianggap buruk, pemiliknya akan sering dirundung malang, sehingga
sebaiknya dilarung atau diserahkan ke Museum saja, pamor ini terletak di
sor-soran dan tergolong pamor Tiban.
YONI,
semacam daya atau kekuatan gaib yang menurut ahli esoteri
dianggap sebagai kekuatan yang ada pada tuah keris. Ini menunjukan
ketinggian ilmu empu yang membuat.
YUYU RUMPUNG, salah satu dapur keris lurus, ada 2 versi mengenai keris berdapur
ini, yang pertama, bilahnya berukuran sedang, gandiknya panjang dan diatas gandik
ada kembang kacangnya berukuran kecil. Yang kedua gandiknya berada
dibelakang, panjang, bilahnya agak membungkuk, ganjanya kelap lintah.
Biasanya dimiliki petani dan mempunyai tuah membantu menangkal serangan hama dan menyuburkan
tanaman.
YASADIPURA II, pujangga terkenal Kraton Solo. Tahun 1814 beliau menulis Serat
Centini bersama RM Ranggasutrasna dan RM Sastrodipura,
membahas mengenai Pakem Keris dan Tombak Jawa dibawah koordinasi Paku Buwono
V, pekerjaan ini selesai tahun 1823.
YOGAPATI,
pamor yang oleh banyak penggemar keris dianggap buruk, pemiliknya akan sering
dirundung malang,
sehingga sebaiknya dilarung atau diserahkan ke Museum saja, pamor ini
terletak di sor-soran dan tergolong pamor Tiban.
YONI,
semacam daya atau kekuatan gaib yang menurut ahli esoteri
dianggap sebagai kekuatan yang ada pada tuah keris. Ini menunjukan
ketinggian ilmu empu yang membuat.
YUYU RUMPUNG, salah satu dapur keris lurus, ada 2 versi mengenai keris berdapur
ini, yang pertama, bilahnya berukuran sedang, gandiknya panjang dan diatas
gandik ada kembang kacangnya berukuran kecil. Yang kedua gandiknya berada
dibelakang, panjang, bilahnya agak membungkuk, ganjanya kelap lintah.
Biasanya dimiliki petani dan mempunyai tuah membantu menangkal serangan hama dan menyuburkan
tanaman.
NABI SULAIMAN, nama pamor yang letaknya didaerah sor-soran, merupakan pamor
titipan, pamor yang dibentuk kemudian setelah bilah keris selesai dikerjakan.
Bentuk pamor menyerupai bintang segi enam, tuahnya baik terutama dalam
keadaan darurat tetapi pamor ini pemilih dan katanya hanya raja atau
keturunannya yang bisa memilikinya.
NAGA GAJAH, keris luk 7, gandik keris diukir kepala gajah lengkap dengan
telinga dan belalai tetapi tanpa badan. Ricikan lain adalah sraweyan, ri
pandan dan greneng. Kadang memakai gusen,
selain itu tak ada ricikan lain. Keris ini tergolong langka, seandainya ada
kemungkinan bikinan baru atau tangguh muda, adapun pecinta keris menyebutnya
Naga Liman.
PARA EMPU
EMPU
PANGERAN SEDAYU
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu
Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa
Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa
sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja
akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan
dianugerahi berbagai macam hadiah.
Ki Supa menyatakan kesanggupannya.
Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama
adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya.
Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’
berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang
pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber
lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan,
lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi
sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga
merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).
Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi
menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak
Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima
menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan
menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.
Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu
hasil kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat)
sebilah keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan
duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran
keris itu dalam waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia
membuat keris putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen
-nya. Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan
menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar
jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.
Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu
oleh adiknya, Ki Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam
waktu 40 hari itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris
putran, yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang
aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris
putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan
sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan
tidak bisa lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran.
Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.
Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya
Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang
adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak
pulang ke Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika
anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah
cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit. (Baca juga Jaka
Sura, Empu).
Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa
berhasil menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa
Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat
menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah
Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran Sedayu.
Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan keris buatan
Pangeran Sedayu.
Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya
raya berkat kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu
masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai
dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya
berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Buntut
cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika
membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa
lumampah.
Posisi bilah pada ganja agak tunduk, tidak
berkesan galak, tetapi anggun berwibawa. Kembang kacang-nya dibuat
ramping nggelung wayang. Sogokan-nya agak melengkung di bagian
ujung, menyerupai paruh burung. Janur-nya serupa lidi. Tikel alis-nya
tergurat jelas. Begitu pula ron da-nya juga dibuat jelas.
Keris buatan Pangeran
Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna hitam kebiruan, nyabak,
dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan hampir selalu merupakan
pamor tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor sama sekali, yakni yang
disebut keris kelengan. Besi keris tangguh Pangeran Sedayu ini
demikian prima, tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun sekali.
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran
Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi
tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian
keris termasuk ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan
sempurna. Begitu rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi
bagian sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris,
buatan Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua
keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu
Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan
matang wasuhan.
Selain tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga
mendidik orang-orang di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu.
Mula-mula mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat
keris sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja
sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini disebut
keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris buatan
Pangeran Sedayu.
JAKA SURA
Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman Majapahit.
Keris buatannya dapat ditandai dengan memperhatikan
ciri-ciri sebagai berikut :
Ganjanya rata, gulu meled-nya sempit, sirah
cecak-nya lonjong. Kalalu membuat kembang kacang bentuknya kokoh
bagaikan kuku bima, blumbangan-nya dalam, guratan tikel alis-nya
jelas, sogokan-nya panjang, janurnya meruncing di ujungnya. Kalau Empu
Jaka Sura membuat ron da, bentuknya jelas dan runcing ujungnya.
Bilah keris buatan Empu Jaka Sura agak tebal,
penampilannya meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg - Bhs.
Jawa). Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan karakter
berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.
Kakak Jaka Supa
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak tiri Empu Jaka Supa,
sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian dikenal sebagai
Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri bangsawan
kerabat Adipati Blambangan.
Ketika menjelang remaja, Jaka Sura bertanya pada ibunya,
siapa dan dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah Jaka Sura adalah seorang
empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan. Sebelum Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Sebelum pergi
sang Ayah berpesan, agar jika anak yang lahir nanti laki-laki, diberi nama
Jaka Sura. Dan, kalau anak itu sudah dewasa, agar pergi menyusulnya ke
Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari ibunya, Jaka Sura lalu
belajar membuat keris. Ia banyak sekali membuat keris sajen - yang
biasanya dibutuhkan oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris sajen dalam jumlah besar itulah yang
dibawanya sebagai bekal perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah membawanya,
keris sajen yang ukurannya cuma sejengkal itu dilubangi pesi-nya,
seperti lubang jarum jahit tangan. Pada lubang itu dimasukkan tali. Cara ini,
menurut bahasa Jawa disebut direntengi.
Sepanjang perjalanan dari Blambangan ke Majapahit, ia
banyak bertanya pada petani yang dijumpainya, manakah arah jalan menuju
Majapahit. Sebagai terima kasih atas bantuannya menunjukkan arah, ia
menghadiahkan keris sajen buatannya pada para petani itu.
Dulu, para petani umumnya percaya, tuah keris sajen
karya Empu Jaka Sura ini berkhasiat untuk menyuburkan tanaman dan menangkal
serangan hama
tanaman. Bahkan sampai sekarang (akhir abad ke-20) sebagian petani di Jawa
Tengah dan Jawa Timur masih mempercayai hal tersebut.
Menjelang sampai di Ibukota Majapahit, Jaka Sura
menghentikan perjalanannya untuk membuat sebilah pedang. Rencananya pedang
itu akan dijadikan buah tangan untuk ayahnya, agar ayahnya tahu bahwa ia juga
mewarisi bakat menjadi empu.
Sesampainya di Majapahit Jaka Sura ternyata ditolak
ketika hendak masuk ke keraton. Penjelasan yang diberikan oleh empu muda itu
tidak dihiraukan oleh para prajurit penjaga pintu gerbang. Karena kesal Jaka
Sura lalu menghantamkan pedang buatannya pada pintu gerbang itu sehingga
pecah berantakan. Keributan itu menyebabkan Raja Majapahit keluar dan
menanyakan apa yang terjadi.
Sesudah mendengar laporan dari prajurit penjaga dan juga
dari Jakasura, raja itu memberi tahu bahwa ayahnya telah diangkat menjadi
Pangeran, dan tinggal di daerah Sedayu. Setelah mendapat penjelasan itu Jaka
Sura lalu mohon diri dan segera berangkat ke Sedayu. Sang Raja juga menugasi
Empu Salahita sebagai penunjuk jalan.
Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura kemudian dijadikan
pusaka Kerajaan Majapahit, dan diberi nama Kanjeng Kyai Lawang. Kata lawang
artinya pintu, karena mengingat bahwa kesaktian pedang itu telah
menghancurkan pintu gerbang Majapahit. Kini, Kyai Lawang menjadi salah satu
pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Sesampainya di Sedayu, Empu Salahita langsung membawa
Jaka Sura ke besalen (bengkel kerja) milik Pangeran Sedayu, bukan ke
rumahnya, karena mengira sang pangeran sedang berada di besalen-nya.
Waktu itu di besalen itu para panjak sedang ramai bekerja di bawah
pimpinan Empu Ki Jebat, karena Pangeran Sedayu sedang melakukan tapa brata.
Setelah Jaka Sura diperkenalkan dengan Ki Jebat, tangan
kanan Pangeran Sedayu itu bercerita bahwa sang pangeran saat itu sedang
gundah hatinya. Soalnya, Pangeran Sedayu mendapat perintah dari raja untuk
membuat keris dapur baru yang akan digunakan sebagai pusaka andalan
Majapahit, karena pusaka yang terdahulu, yaitu Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring, pernah dicuri oleh Adipati Blambangan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu melakukan tapa brata,
tetapi bentuk dapur keris yang baru itu belum juga terbayangkan.
Setelah mendengar penjelasan Ki Jebat, Jaka Sura segera
mengeluarkan besi sisa peninggalan ayahnya ketika di Blambangan dulu. Besi
sisa itu lalu dibakarnya di perapen, dan kemudian ditempanya. Tanpa lelah ia
terus bekerja, sehingga akhirnya jadilah sebuah keris dengan dapur
baru yang indah. Semua orang yang menyaksikan di besalen itu kagum.
Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka Sura, dapur
apakah keris yang baru dibuatnya itu. Jaka Sura mengatakan, tidak tahu karena
ia hanya bekerja berdasarkan ilham yang muncul tiba-tiba saat itu. Setelah
menyerahkan keris itu pada Ki Jebat, Jaka Sura lalu pergi ke kali untuk
membersihkan diri.
Sementara itu Pangeran Sedayu datang ke besalen
dengan wajah muram. Ia masih merasa sedih karena belum juga mendapat ilham
mengenai dapur keris yang akan dibuat. Saat itulah Ki Jebat
memperlihatkan keris buatan Jaka Sura.
Betapa gembira hati Pangeran Sedayu melihat keris yang
indah itu. Ia bertambah gembira lagi ketika tahu bahwa yang membuatnya adalah
Jaka Sura, anaknya sendiri, yang lahir setelah ia meninggalkan Blambangan.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja tentu akan berkenan
menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena itu ia segera
mengajak anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.
Benarlah dugaan Pangeran Sedayu. Raja amat senang dengan
keris itu, tetapi juga bingung ketika Pangeran Sedayu dan Jaka Sura
memintakan nama bagi dapur keris baru itu. Akhirnya, setelah berpikir
sejenak, raja menamakan dapur keris itu: Kanjeng Kyai Sengkelat.
Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’ yang
artinya bingung dan kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja Majapahit
memang sedang kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur yang
merupakan perpaduan antara keris dapur Carita dengan dapur Parung
itu.
Pangeran Sedayu lalu membawanya menghadap raja, untuk
memohon agar Jaka Sura diperkenankan mengabdi pada kerajaan. Permohonan
dikabulkan, dan karena keris-keris hasil karyanya memuaskan raja, beberapa
tahun kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan, yaitu tanah bebas
pajak, di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga diangkat sebagai adipati di
daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian lebih dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Banyak penggemar keris yang mengira bahwa hasil karya
Empu Jaka Sura hanya berupa keris sajen. Padahal keris sajen
itu hanyalah keris yang dibuat untuk petani guna keperluan sesaji sawah
mereka.
Empu Ki Jigja
Terkenal sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan
Majapahit. Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal
dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi empu, tetapi tidak
bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk Kadipaten Blambangan.
Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan kirinya berwujud kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.
Empu Modin
Adalah nama lain dari Empu
Bekeljati, adalah seorang empu dari daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman
Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran
sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris
tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak
keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang
sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris
lurus, dengan dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka
luknya kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.
Pengikut Sunan Bonang
Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer
dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang ditulis
R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan:
Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru
mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid
Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai
ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian
menjadi salah seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya
mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya. Dan, karena
lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi Empu
Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua'zin
sering diucapkan mua'din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak
saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu
Modin dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat
pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang sekelilingnya.
Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan mempermudah
pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
KI NOM, EMPU,
seorang empu yang terkenal
pada zaman Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli keris
menceritakan bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki
Nom atau Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan nama
pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya umur
empu yang terkenal awet muda itu.
Konon, umur Empu Ki Nom lebih dari 100 tahun. Jika
cerita-cerita mengenai dirinya benat, angka 100 itu masuk akal, karena Ki Nom
dilahirkan pada menjelang akhir zaman Majapahit, jadi kira kira tahun 1520
an. Padahal, tatkala Sultan Agung Anyokrokusumo mempersiapkan penyerangan ke
Batavia tahu 1626, Ki Nom masih mendapat tugas sebagai salah seorang empu tindih,
yang membawahkan 80 orang empu lainnya. Berarti pada saat itu umurnya sudah
104 tahun!
Empu Supo Anom, yang nama kecilnya Jaka Supa sebenarnya
adalah anak dari Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu, yang hidup pada
akhir zaman Majapahit. Ibunya adalah putri kerabat kraton yang ‘dihadiahkan’
kepada Empu Supa Mandrangi ketika pembuat keris terkenal itu diangkat sebagai
pangeran dengan gelar Pangeran Sedayu. (Ada
cerita rakyat yang menyebutkan bahwa putri keraton itu bernama Dewi Tatiban).
Kakaknya, satu ayah lain ibu, bernama Jaka Sura, juga seorang empu terkenal.
Oleh raja Majapahit terakhir Empu Jaka Sura diangkat menjadi adipati di
daerah Jenu, sehingga juga dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Ki Nom sebenarnya hanya singkatan nama atau panggilan
bagi Empu Pangeran Warih Anom yang menguasai tanah perdikan (otonomi
& bebas pajak) di daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga dipanggil
dengan gelar Pangeran Sendang.
Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak buatan Ki Nom selain indah selalu
mempunyai penampilan dan yang memberi kesan agung, anggun, mewah, berwibawa.
Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut
dan kelap lintah. Sirah cecak-nya montok dan meruncing
ujungnya, gulu meled-nya besar dan kokoh. Ukuran panjang bilahnya
sedang, lebarnya juga sedang, tetapi tebalnya lebih dibanding keris buatan
Mataram lainnya, terutama dibagian tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu
berbentuk nggigir lembu. Motif pamornya biasanya rumit, halus, dan
rapat serta rapi sekali penempatannya. Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian
tengah yang bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan atau hitam
keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.
Bagian kembang kacang-nya dibuat seperti gelung
wayang, tetapi berkesan kokoh, dan kalau diamati dari sisi atas akan tampak
ramping. Jalen-nya kecil, lambe gajah-nya pendek. Blumbangan-nya
dangkal, penuh dengan pamor. Sogokan-nya juga dangkal dan menyempit ke
arah ujung. Janur-nya menyerupai batang lidi.
Salah satu keris adikarya hasil tempaan Ki Nom yang
masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah keris berdapur Singa
Barong yang dijadikan cenderamata lambang persahabatan antara Kasultanan
Mataram dengan Kesultanan Jambi. Keris itu bernama Si Ginje, dan saat ini
tersimpan di Museum Pusat di
Jakarta.(http://www.geocities.com/javakeris/istilah.htm)
EMPU DARI ZAMAN KE ZAMAN
Dua arti dalam istilah empu, pertama dapat berarti
sebutan kehormatan misalnya Empu Sedah atau Empu Panuluh. Arti yang kedua
adalah ‘Ahli’ dalam pembuatan ‘Keris’.
Dalam kesempatan ini, Empu yang kami bicarakan adalah
seseorang yang ahli dalam pembuatan keris. Dengan tercatatatnya berbagai nama
‘keris’ pastilah ada yang membuat.
Pertama-tama yang harus diketahui adalah tahapan zaman
terlahirnya ‘keris’ itu, kemudian meneliti bahan keris, dan ciri khas sistem
pembuatan keris. Ilmu untuk kepentingan itu dinamakan ‘Tangguh’.
Dengan ilmu tangguh itu, kita dapat mengenali nama-nama
para Empu dan hasil karyanya yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang,
tombak, dan lain-lainnya.
Adapun pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah
sebagai berikut:
1. Kuno (Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita,
Medang Siwanda, medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Penggiling
Wiraradya, Kahuripan dan Kediri.
2. Madyo Kuno (Kuno Pertengahan) tahun 1126 M –
1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan
: Jenggala, Kediri, Pajajaran dan Cirebon.
3. Sepuh Tengah (Tua Pertengahan) tahun 1251 M
– 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan
: Jenggala, Kediri,
Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.
4. Tengahan (Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang,
Madiun, dan Mataram
5. Nom (Muda) tahun 1614 M. Sampai sekarang
Meliputi Kerajaan-kerajaan
: Kartasura dan Surakarta.
Telah kami ketengahkan tahapan-tahapan zaman Kerajaan
yang mempunyai hubungan langsung dengan tahapan zaman Perkerisan, dengan
demikian pada setiap zaman kerajaan itu terdapat beberapa orang Eyang yang
bertugas untuk menciptakan keris.
Keris-keris ciptaan Empu itu setiap zaman mempunyai
ciri-ciri khas tersendiri. Sehingga para Pendata benda pusaka itu tidak
kebingungan.
Ciri khas terletak pada segi garap dan kwalitas besinya.
Kwalitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan tingkat
sistem pengolahan besi pada zaman itu, juga penggunaan bahan ‘Pamor’ yang
mempunyai tahapan-tahapan pula. Bahan pamor yang mula-mula dipergunakan batu
‘meteor atau batu bintang’ yang dihancurkan dengan menumbuknya hingga seperti
tepung kemudian kita mengenali titanium semacam besi warnanya keputihan
seperti perak, besi titanium dipergunakan pula sebagai bahan pamor.
Titanium mempunyai sifat keras dan tidak dapat berkarat,
sehingga baik sekali untuk bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan
maka pamor tersebut dinamakan pamor Prambanan.
Keris dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa
keris tersebut termasuk bertangguh Nom. Karena diketemukannya bahan pamor
Prambanan itu pada jaman Kerajaan Mataram Kartasura (1680-1744). Bila kita
telah mengetahui tangguhnya suatu keris maka kita lanjutkan dengan menelusuri
Empu-Empu penciptanya.
I.Zaman Tangguh Budho (Kuno) :
1. Zaman Kerajaan Purwacarita, Empunya adalah:
Mpu Hyang Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, danMpu Sarpadewa.
2. Zaman Kerajaan Tulis, Empunya adalah: Mpu
Sukmahadi.
3. Zaman Kerajaan Medang Kamulan, Empunya
adalah: Mpu Bramakedali.
4. Zaman Kerajaan Giling Wesi, Empunya adalah:
MpuSaptagati dan Mpu Janggita.
5. Zaman Kerajaan Wirotho, Empunya adalah Mpu
Dewayasa I.
6. Zaman Kerajaan Mamenang, Empunya adalah: Mpu
Ramayadi.
7. Zaman Kerajaan
Pengging Wiraradya, Empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu wareng dan Mpu
Gandawijaya.
8. Zaman Kerajaan
Jenggala, Empunya adalah: Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
II.Tangguh Madya Kuno (Kuno Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Pajajaran Makukuhan, Empunya
adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang, Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala,
Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu
Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu Anjani.
III.Tangguh Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan
Jenggala, Empunya adalah Mpu Sutapasana.
2. Zaman Kerajaan
Kediri, Empunya adalah :
3. Zaman Kerajaan
Majapahit, Empunya adalah:
4. Zaman Tuban/Kerajaan
Majapahit, Empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu
Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
5. Zaman Madura/Kerajaan
Majapahit, Empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa,
Mpu
6. Lunglungan dan Mpu
Kebolungan.
7. Zaman
Blambangan/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk,
Mpu Kekep, dam Mpu
8. Pitrang.
IV. Tangguh Tengahan
(Pertengahan)
1. Zaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu
Joko Supo.
2. Zaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu
Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
3. Zaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu
Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono,
Mpu Kithing, Mpu Warih Anom dan Mpu Madrim
V.Tangguh Nom (Muda)
1. Zaman Kerajaan Kartasura, Empunya adalah:
Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih,
Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
2. Zaman Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya
: Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo,
Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan
II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu
Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo
III.
Demikian sekilas uraian tentang Mpu-Mpu dan zaman ke
zaman. Keberadaannya sudah tentu menyemarakkan dunia perkerisan selalu sarat
dengan karya-karya baru yang terus berkembang dari zaman ke zaman.
Dari keris-keris lurus hingga keris-keris yang ber luk.
Ditambah dengan beraneka macam ragam hias pada bilahannya. Semua menuju ke
arah maju, tetapi tidak meninggalkan pakem (standar(.
Ragam hias itu berupa kepala hewan yang diletakkan pada
gadik misalnya kepala naga, anjing, singabarong, garuda, bahkan puthut.
Dengan ditambahkannya bentuk-bentuk itu, sekaligus nama keris itupun berubah,
naga siluman, naga kembar, naga sosro, naga temanten, manglar monga, naga
tampar, singa barong, nogo kikik, puthut dan lain-lainnya.
Bahkan zaman Kasultanan Mataram sejak masa Pemerintahan
Sultan Panembahan Senopati, dunia Perkerisan tampak makmur lagi, lesan mewah
tampak pada bilahan keris yang diserasah emas.
Sultan yang arif dan bijaksana itu membagi-bagikan keris
sebagai tanda jasa kepada mereka yang berjasa kepada pribadi Sultan maupun
kepada Negara dan Bangsa. Tentu saja ragam hiasannya satu dengan lain berbeda walaupun demikian tidak meninggalkan motif aslinya.
Hiasan yang terasah emas itu terletak pada gonjo atau
wadhidhang dengan bentuk bunga anggrek atau lung-lungan dari emas. Atau
sebantang lidi yang ditempelkan pada gonjo atau dibawah gonjo terdapat Gajah
dan Singa terbuat dari emas juga. Tentu saja penciptanya adalah para pakar
perkerisan yang kita kenal dengan sebutan Empu
Keris Brajaguna
KERIS BROJOGUNO BISA MENEMBUS BAJA BESI
Para kolektor keris pernah menghindari koleksi
keris-keris dari jaman Pajang dan Kartasura. Mereka berpendapat tosan aji
dari kedua jaman itu ,dianggap kurang baik, karena berasal dari jaman Kraton
yang umurnya relatif pendek. Keraton Pajang umurnya hanya 32 tahun (1628-1660)
dan Kartasura hanya 75 tahun (1670-1745). Keduanya runtuh karena peperangan. Patut dipertanyakan apakah alasan
itu lebih didasarkan atas hasil karyanya ataukah oleh sebab filosophy lain.
Dalam sejarah memang disebutkan ,selama kedua kerajaan itu berdiri diwarnai
dengan banyak peperangan dan kerusuhan. sehingga menyimpulkan hasil
karya para empunyapun kurang bagus karena dibuat dalam suasana tidak aman.
Demikian antara lain terungkap dalam sarasehan
terbatas Pametri Wiji . Pakar keris KRT Sumosudiro mengatakan, Kerajaan
Pajang berdiri sebelum Keraton Mataram. Sedang Kerajaan Kartasura merupakan
perpanjangan Kerajaan Mataram. Disebutkan, sepeninggal Sri Susuhunan
Amangkurat Agung (Seda Tegalarum) tampuk pemerintahan dipegang oleh
puteranya, Pangeran Adipati Anom yang kemudian menjadi Sri Susuhunan
Amangkurat II. Pusat Kerajaan Mataram, Plered, ketika berhasil direbut dari
tangan pemberontak sudah dalam keadaan rusak. Itulah sebabnya keraton
dipindah kehutan Wonokerto yang kemudian dijadikan pusat kerajaan dan diberi
nama Kartasura Hadiningrat.
Di jaman Pajang dengan Raja Sri Sultan Hadiwijoyo
dikenal beberapa orang empu, diantaranya Empu Umyang dan Empu Cublak.
Empu Umyang adalah anak Empu Supa (Sepuh) dari jaman
Majapahit. Ki Umyang juga disebut Ki Tundhung Kudus. Disebut
demikian karena sewaktu mengabdi kepada Raja Pajang ia diusir dari keraton
gara-gara difitnah oleh rekannya Empu Cublak. Di Kudus pembuat keris ini
tidak lama, kemudian ia mengabdi ke kerajaan Mataram, bahkan dia diangkat
menjadi pemimpin para empu, dan diberi gelar Ki Supa Anom atau lebih kondang
disebut Ki Nom.
Karya
Empu Umyang banyak dipercaya masyarakat jika digunakan untuk mengkreditkan
uang akan menguntungkan. Yang berhutang selalu akan risih karena diganggu
oleh dhemit dan thuyul yang bercokol di dalam keris Umyang itu. Keris Umyang
ditandai dengan bagian sor-sorannya yang mbekel (buncit) seperti perut
Bethara Narada atau ngedhe karena luknya berjalan kekiri, tidak kekanan
seperti lazimnya. Namun menurut pakar tayuh keris R. Oesodo, keris Umyang
tidak selalu ngedhe. Ada
juga keris Umyang yang berluk biasa bahkan ada juga yang berdapur lurus.
Mbah Prawirosudarmo (alm.) paranormal dari sentolo
pernah mengingatkan, tidak semua orang bisa memakai keris Umyang. Beliau
mengaku sudah beberapa kali kedatangan keturunan orang kaya di Kota gede.
Mereka mengeluh kehidupannya terlunta-lunta dan tidak merasa tentram.
Menururt pengamatan batin Mbah Prawirosudarmo ternyata mereka menyimpan keris
Umyang yang sewaktu orang tuanya selalu diberi sesaji gecoh daging mentah
pada waktu-waktu tertentu. Atas sarannya keris warisan orang tuanya itu
dilabuh di Laut Kidul meskipun pusaka itu sedah diberi busana yang mewah.
Nyatanya setelah hal itu dikerjakan, mereka dapat menjalani kehidupannya
dengan baik dan tenteram.
Pada umumnya keris tangguh Pajang memiliki besi
mentah, terkesan kurang tempaan Pamornya mubyar (menyala) putih seperti
perak. Baja sedang jika berluk, kellokannya terlihat rapat (kekar). Ganja umumnya besar. Sirah cecak
juga besar. Tantingannya agak berat, lebih berat dari keris-keris Mataram.
Selain
Umyang di jaman Pajang juga dikenal Empu Cublak, Empu Wonogati, Empu
Surawangan, Empu Joko Puthut dan Empu Pengasih. Pembuatkeris yang disebut
terakhir ini ditandai dengan karyanya yang tidak berpamor.
Berbicara tentang keris tangguh Kartasura,
Sumosudiro mengutip uraian M Ng. Wirasukadga dari Keraton Surakarta sbb. :
ganja sebit lontar, sirah cecak lancip, badan bilah tebal, dan kau (janggal),
besi keropos dan keputihan, pamor mengambang dan mubyar (menyala putih
seperti perak) atau tidak berpamor. Gaya keris Kartasura mirip keris Mataram.
Pasikutannya nyatriya, terkesan seperti seorang satriya, tetapi kasar. Yang
luk umumnya rapat (kekar).
Empu yang terkemuka di jaman itu adalah Empu
Brojo (Brojoguno I) yang mengabdi di kraton. Hasil karyanya terkesan sangat
keras, bisa menembus uang logam, bahkan konon bisa menembus baju besi (kere
waja). Empu lainnya adalah Empu Sentranaya III, Empu Sendhang Warih, Empu
Taruwangsa, Empu Japan
dan masih banyak lagi. Di jaman Keraton Kartasura telah dibat duplikat keris
pusaka Kangjeng Kyai Ageng Maesa Nualr. Tidak jelas apakah KKA Maesa Nular
yang dimiliki Keraton Yogyakarta itu asli
atau duplikatnya yang dibuat di jaman Kartasura. Menururt catatan keris pusaka itu berdapur Maesa Lajer.
Pada masa itu para empu keraton juga membuat
duplikat tombak pusaka Kangjeng Kyai Ageng Pleret. Sewaktu Geger Pacinan
tombak inventaris keraton ini diamankan oleh abdidalem Suranata. Namun
Pangeran Mangkubumi (kemudian menjadi Sri Sultan HB I) yang melihatnya segera
merebutnya. Selanjutnya menjadi milik Keraton Yogyakarta. Apakah yang
dilarikan itu tombak yang tulen ataukah tombak yang putran/tiruan..? sulit untuk dijawab, karena hampir tidak mungkin
menelitinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI MASUKAN UNTUK MENUNJANG KARYA