Tak mudah menyusun sebuah buku tentang keris Sulawesi, kita harus
mengakui bahwa notasi kuno pun dipastikan tak memadai, sementara nara
sumber tutur sering mengalami pergeseran. Dalam pengetahuan keris kita
masuk pada tafsir-tafsir…. Lalu sebagiannya berkait pada artefak keris
itu sendiri dan manuscript yang ditemukan.
Diskusi Senjata Pusaka Bugis, 12 Nopember 2011, cukup menggairahkan
dengan pemaparan yang sangat komprehensif dari prof. Ahmad Ubbe yang
lalu diramaikan oleh hipotesa atau pendapat-pendapat dari Dr. Ramli
Raman dari Malay University, yang membawa banyak kabar tentang
penelitiannya. Keduanya memiliki banyak detail-detail yang berbeda,
tetapi satu kesamaan bahwa keduanya sepakat apa yang disebut Bugis
terkait perkerisan bukan asal-usul “keris” tetapi “bugis influence” atau
pengaruh Bugis memang ada dimana-mana. Nomenklasi pada keris Bugis –
Melayu memang sangat kaya sehingga tampaknya perlu dikuatkan dengan
pembakuan istilah bersama para komunitasnya dari sisi pandang yang
berbeda-beda.
Dalam buku ”Pesona Hulu Keris”, saya (penulis) pernah ungkapkan dengan
hati-hati : ”Although there is not a lot of information about the Malay
Peninsula kris, the kris lover communities that have emerge in Malaysia
and Singapore are now trying to discover past kris, There for, there are
many terminologies for kris hilt that are due to the friendship and
influence of the etnic language on the Malay Peninsula. An example is
Anak Ayam Sejuk kris hilt for
Jawa Demam……./
Tidak banyak catatan tentang keris Semenanjung Malaya, tetapi sekarang
mulai diangkat dengan baik oleh komunitas penggemar keris yang
berkembang di Malaysia dan Singapura. Oleh sebab itu sangat banyak
istilah-istilah hulu keris yang ada lahir karena pergaulan dan pengaruh
bahasa etnik Semenanjung Malaya, seperti sebutan hulu keris
Anak Ayam Sejuk, untuk menyebut
Jawa Demam......”.
(132; The Beauty of Krist Hilt).Tinjauan etnografis tampaknya harus menyertai penelitian dan kemudian
dikemukakan dalam berbagai hal, bahwa orang Bugis adalah insan bahari
dan telah berasimilasi dengan suku-suku lain di Semenanjung bahkan ke
Sumbawa. Disinilah akulturasi terjadi, sehingga mewarnai pada kerisnya,
pada sarung (sampirnya) dan busana adatnya.
Jika analisa persebaran keris Jawa punya ”Ekspedisi Pamalayu”, Negara
Kertagama... titik tolak buku keris bugis tampaknya masih ada kerancuan
terutama pada tafsir-tafsir, apalagi jika persebaran pengaruh Bugis
berpijak pada sastra atau roman sejarah I La Galigo... Namun semua
kebutaan terhadap Senjata Pusaka Bugis sudah dibuka jendelanya oleh
sebuah buku yang sarat dengan bahasa lokalnya, untuk dilanjutkan oleh
hasil penelitian para peminat penelitian keris Bugis lainnya.
Ilmu sosial budaya bukanlah ilmu eksakta, mereka akan mengikuti temuan
baru, analisa baru atau bukti ilmiah yang baru dikemudian hari nanti,
dan kita pahami bersama sebagai sesuatu yang akan terus menuju
kesempurnaannya.
Bravo Bugis - Melayu.
GAGRAK SEBAGAI ISTILAH YANG MULAI POPULER |
|
|
Dibandingkan pada tahun 1980-an,
keris-keris yang kita jumpai sangat terbatas, antara lain umumnya keris
tangguh Majapahit dan Mataram. Setelah masa euforia (Indonesia mendapat
pengakuan UNESCO), sosialisasi perkerisan semakin semarak. Pameran dan
bursa diadakan dimana-mana, keris-keris bermunculan, semakin variatif
karena apa yang belum pernah kita lihat mulai bermunculan. Keris
penemuan (ditemukan di sungai) mulai terkenal dengan keris Singasari,
kini Palembang sungai Musi juga mulai sering ditemukan keris-keris yang
spektakuler baik detailnya maupun penggarapannya hingga pada asesorinya,
diduga jaman Sriwijaya. Kemudian keris bermuculan di Jawa Barat
(Cirebon) sungguh mempesona dengan sarung dan asesori yang sangat kaya
model. Kekayaan dhapur rupanya tak terbatas pada yang sudah tertulis di
buku-buku yang ada, keris mulai disimpulkan sebagai ’seni rupa’ senjata.
Artinya keris-keris yang ada (sepuh) adalah karya yang diciptakan oleh
seniman (empu) dengan gaya dan idenya masing-masing. Area ditemukannya di Banten - dengan hulu keris khas Jawa Barat. Ditemukan di area Mataram - dengan warangka original Mataram dan Ukiran tanpa PatraKajian-kajian terhadap keris juga terus dilakukan, sehingga melahirkan
pengetahuan baru, menambah dan menyempurnakan yang ada, juga merevisi
tulisan-tulisan terdahulu. ’Kawruh Padhuwungan’ menjadi semakin
kompleks. Jika masa lalu kita terkagum-kagum oleh tulisan GJ. Tammens,
W.H. Rassers dengan 'On the Javanese kris', Dr. Isaac Groneman dan
penulis lainnya, perkembangan notasi tentang keris kemudian tidak
berhenti begitu saja, muncul tulisan ‘The World of The Javanese Kris’ –
Garrett Solyom, David Van Duuren dengan ‘An Earthly Approach to a Cosmic
Symbol’, kemudian Karsten Sejr Jensen menyusun ‘Kris Disk’.
Ada beberapa hal yang menarik adalah mengenai ”tangguh”. Boleh
dikatakan hampir semua penulisan tentang tangguh hanya dilakukan oleh
penulis-penulis Indonesia seperti pada buku-buku kuno 'Pakem
Katjoerigan’ oleh Tanojo R., ’Ular-ular Panangguhing Dhuwung’ oleh
Suranto Atmosaputra, ’Dhuwung Winawas Sakwatawis’ oleh Darmosoegito,
’Pakem pengetahuan tentang Keris’ oleh Kusni, Serat Centhini dan juga
penulis seperti Haryono Arumbinang, Bambang Harsrinuksmo.... mereka
dengan segala cara menggambarkan tentang tangguh keris dengan kata-kata
agar memadai apa yang dimaksud. Saat itulah muncul sebuah kesenangan
menentukan tangguh keris. Pengayaan sebutan semakin merebak seperti gagah, wibawa dlsb,
sementara apa yang digambarkan dengan kata-kata sering tak bisa
ditangkap bentuk visualnya secara tepat, karena karya tulis waktu itu
tidak disertakan dokumentasi foto, bahkan tidak melalui research yang
serius.
Istilah 'tangguh' bisa disimpulkan artinya adalah ’perkiraan jaman
pembuatan’ yang ditentukan dari bentuk keris, dimana bentuk keris itu
mempunyai ciri-khas gaya (characteristic style) tertentu sesuai
jamannya. Pemahaman ini telah dirintis oleh para sesepuh keris masa
lalu, seiring dengan penulisan pada buku-buku yang ada. Kemudian pula,
dalam komunikasi para penggemar keris ciri-khas gaya perwujudan seutuhnya (keris bersama warangkanya) diistilahkan dengan kata ”gagrak”, yang kemudian entah dari mana pemahaman itu hadir menjadi sangat kental pengertian ’gagrak’ adalah gaya dari perwujudan seutuhnya
sesuai jaman kerajaan atau kedaerahannya. Gagrak dalam bahasa Jawa
artinya tampan, gagah.... mungkin korelasinya dengan istilah gagrak
keris adalah ”postur” atau ”dedeg”. Artinya melihat dedegnya bisa
ditentukan gagrak keris itu adalah Hamengku Buwanan, Pakubuwanan, Luar
Jawaan, atau Balian... dst (?). Walaupun mungkin bilahnya adalah tangguh
Majapahit atau Mataram. Istilah 'gagrak' lebih dititik beratkan pada
aliran jenis warangka dan keharmonisan antara warangka dengan hulu
kerisnya.
Ditemukan di area Mataram - dengan warangka original Mataram yang patah dan Ukiran tanpa Patra.
Kesepakatan ’tangguh’ memang terasa riskan, oleh sebab tuntutan agar
'tangguh' lebih dapat 'dipastikan' atau bukan hanya 'perkiraan'. Seolah
nilai 'kebenaran ilmiah' menuntut 'tangguh' menjadi kajian akademik
terutama pada rintisan ”kerisologi”. Sedangkan yang berkembang dengan
istilah 'gagrak' tampaknya lebih menuju simplifikasi (penyederhanaan)
demi kesenangan bersama, atau demi perdagangan (barang antiq), sehingga
selain istilah 'tangguh' , mulai populer istilah 'gagrak' yang kini
menjadi sebuah kerangka pengelompokan. Misalnya yang disebut 'gagrak
Surakarta', 'gagrak Ngayogjakarta', 'gagrak Jawa Timuran - Madura',
tentu akan menimbulkan pertanyaan pula 'gagrak Majapahitan', 'gagrak
Pajang', 'gagrak Mataram' dlsb, itu yang bagaimana...? Sementara kita
tak pernah mengetahui yang sebenar-benarnya...
Berbeda dengan Karsten dalam ’Kris Disk’ lebih suka menulis secara jujur
(ilmiah) tanpa menyebut 'tangguh' pada setiap foto kerisnya dengan
keterangan asal-muasalnya sesuai letak geografis dimana ditemukannya.
Dilema tentang ”tangguh” memang masih perlu direnungkan dan ditinjau
kembali. Sementara pembiasaan menyebut 'gagrak' juga sangat memungkinkan
memunculkan perdebatan. Apakah generasi mendatang cukup bisa menerima
begitu saja (?). Sementara itu kesenangan atau hobby untuk menentukan
'tangguh' dan menerima pemahaman 'gagrak' telah bersahabat secara
alamiah oleh komunitas penggemar keris di Indonesia, menjadi sebuah
’dinamika’ yang pada nantinya akan dituntut pula ’keilmiahannya’...
(TJ).
Ditemukan di area Cirebon, bilahnya menurut beberapa penangguh
dianggap tangguh Mataram Amangkurat, sementara beberapa penanguh yang
berkecimpung dengan keris Cirebon menyebut tangguh Cirebon
SULITNYA MENGUAK PENEMUAN SRIWIJAYA |
|
|
Penemuan sungai Musi, mendak Sriwijaya yang telah aus ornament 'tumpal'nya.
Saya pikir dan renungkan ternyata begitu sulitnya merangkai perjalanan keris. Saya menyimpulkan bahwa ’sejarah’
keris tidak bisa dituliskan dengan sembarangan dan digampangkan.
Setidaknya penelitian archeologist harus berperan. Sudah hampir 2 tahun
saya mengikuti jejak penemuan Sriwijaya, karena seorang teman sedang
berkutat disana... berburu dan mencatat penemuan sungai Musi. Beberapa hal sangat menakjubkan...
ada kemungkinan akan mengubah hipotesa ”keris Singosari” atau lebih
tepat disebut jaman Kediri. Bahkan prototype keris jaman itu pun mungkin
perlu dikaji ulang, karena pemahaman kita belum melalui penelitian dari
manuskrip kuno, sosiologi, anthropologi dan archeo metallurgi. Kita
menyerahkan pemahaman-pemahaman yang ada sekarang ini pada kawruh yang
turun temurun minim data ilmiah.
Miniatur yang mungkin hanya dapat dicapai dengan alat kuno yang lebih sederhana.
Perhatikan mendak (ring) Sriwijaya yang tak ternilai harganya oleh
karena pekerjaan yang sangat rumit dan detail, dengan ornament tumpal
yang merupakan chronogram (simbol tahun).
Sriwijaya jauh lebih tua dari jaman Kediri (Mataram Hindu?) ... pada
penemuan-penemuan sungai Musi sangat jelas hampir mayoritas keris yang
ditemukan memiliki prototype sama dengan penemuan Brantas yang
dikategorikan Kediri (saya lebih suka menyebut Kediri dari pada
Singosari). Keris di sekitar Sumatera selatan ini, saya yakini pastilah
sangat indah dan bukan sembarangan. Beberapa indikasi prototype keris
Sriwijaya saya temukan masih sama dengan Melayu (Palembang/Kesultanan)
dimana masih ditandai sisa-sisa estetika 'greneng' dari masa Budha
Sriwijaya, serta teknologi emasnya yang tak tertandingi. Tetapi berbeda
pada penampang gonjo (sirah cecak) serta postur condong leleh yang
sangat membungkuk. Sedangkan keris penemuan Musi jika dibandingkan keris
penemuan Brantas terdapat perbedaan pula pada sirah cecak (penempang
gonjo) dan perbedaan pada ornamental asesori emas terutama pada
mendaknya (ring). Ada beberapa peninggalan seni emas yang sangat
signifikan menunjukkan bahwa sebuah kebesaran keris Sriwijaya pernah
di-agungkan.
Penemuan Sriwijaya sangat berbeda pada sirah cecak dan rumbai
grenengnya dibandingkan temuan Brantas, tetapi yang paling signifikan
adalah pada mendak bawaan yang masih menyatu, ornament tumpalnya sudah
aus, tersisa tiang pegangannya saja.
Pergeseran alat, keinginan pada kepraktisan menurunkan nilai pada hasil karya kriya emas yang canggih di jaman lampau.
Penemuan ”ring keris” (mendak; Jw) dapat menjadi indikasi
bahwa memang penemuan Musi dan Brantas tidak sama, dimana tampak
bergeser dari detil yang indah.
Berbeda pula setelah jaman Kesultanan dimana semua menjadi sederhana
oleh sebab hal: 1. Pengabdian seniman pandai emas (Panday Tamraga) jaman
Budha. 2. Kehidupan yang layak bagi seniman waktu jaman Budha. 3. Ada
pergeseran teknologi emas.
Terjadi penyederhanaan dimana ornament tumpal berubah menjadi untu walang (Kesultanan)
Mungkin perlu menelusuri bab 3... tentang pergeseran teknologi emas,
saya menganalisa teknik tiup (ubub) masa kuno masih menggunakan mulut,
sementara kemudian teknologi maju menggunakan ububan kaki, sehingga
pekerjaan yang sangat kecil dan detail mulai disederhanakan oleh sebab
kemampuan alat sudah berbeda pencapaiannya. Ububan kaki memang lebih
cepat dan praktis, sementara teknik kuno menjangkau kerumitan yang tiada
tara.
Keris Sriwijaya (Palembang) terus mempengaruhi prototype jaman
berikutnya, yang mungkin pula dibawa oleh para seniman mantan pengabdi
Tarumanegara... ke timur, lalu hijrahnya empu-empu pada jaman
Pajajaran... Ada indikasi bukan oleh sebab ekspedisi Pamalayu dari Singosari yang kemudian mempengaruhi keris-keris seperti yang ditemukan di sungai Musi...? |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI MASUKAN UNTUK MENUNJANG KARYA