Sekilas Tentang Kujang
Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan
Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa
Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai
sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau
manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi. Manusia yang
sempurna dihadapan Allah dan mempunyai derajat Ma’rifat yang tinggi.
Pantas ageman (agama) Kujang menjadi icon Prabu Siliwangi. Sebagai Raja yang tidak terkalahkan.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang
artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat,
sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari
bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang
digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di
dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan
meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan
dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat
Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin
di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian
sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para
dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini
Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat
Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai
filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu
estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai
organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa
Barat.
Di masa lalu Kujang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai
peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang
Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di
beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang
memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih
dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan
Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi,
budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami
perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah
peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang
memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai
simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal
saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.
Kujang sebagai sebuah senjata andalan (gagaman)
umumnya mempunyai ciri-ciri khusus sebagai kelebihannya, umumnya
berbahan pamor. Pamor adalah motif, corak, atau kontur tertentu pada
bilah sebuah senjata tajam yang dihasilkan dari penggunaan berbagai
material, pembakaran, dan teknik penempaan logam. Kujang pamor sebagai
sebuah gagaman atau pusaka, umumnya tidak digunakan secara langsung
dalam sebuah perkelahian. Kujang biasanya dijadikan sebagai teman
berperang (batur ludeung) atau senjata pamungkas di samping sebagai simbol dari si pemegangnya.
Kujang sebagai sebuah perkakas di antaranya adalah sebagai pisau dapur, kujang bangkong
yang penulis dapatkan dari Wanaraja Garut dan sekarang menjadi koleksi
Museum Sri Baduga Jawa Barat; sebagai kelengkapan upacara di antaranya
adalah kujang yang tersimpan di Kabuyutan Ciburuy di Kecamatan Cigedug
Kabupaten Garut; dan sebagai sebuah simbol di antaranya adalah kujang jago (bentuknya mirip dengan figur ayam jago yang sedang berkokok), penulis dapatkan sebagai hadiah dari seorang kerabat.
Bagian-bagian kujang
![bagian2 kujang](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR3poJr4qBBs9OFV65hKgllNTGpHO01Ij7dY_PdoINfV7BZbNLVFThOrUrqCPD7DB-tkpvjVGgCS4IJQOa-FwnYVvaZeBV13-bnEST8MZ5u9r6bDs1gPVr9OUGBo26vbHwSmaM5hoZDDA/s1600/waruga+kujang+bykun.jpg)
Kujang dengan berbagai bentuknya, baik
itu sebagai benda yang dipergunakan dalam tataran fungsional ataupun
simbolik, menarik untuk dikaji lebih lanjut. Salah satu aspek di
antaranya adalah bentuk kujang itu sendiri. Sebagai sebuah pisau, kujang
tampil dengan estetis sehingga menarik untuk dilihat. Bentuk kujang
tidak mengintimidasi mata dan perasaan penikmatnya, berbeda jika kita
melihat bentuk pisau lainnya: mengerikan karena seolah bisa menyayat dan
mengoyak tubuh kita.
Lambang Kebanggaan
Untuk mengangkat kembali citra kujang
sebagai senjata tradisional masyarakat Sunda dalam tataran bentuk yang
kongkrit diperlukan sebuah upaya untuk menghadirkan kembali produk
kujang yang dapat memberikan kesan atau impresi mengagumkan. Jika kesan
indah yang bersifat feminim yang hendak ditampilkan, maka ketika
memperlihatkan sebuah kujang berikut dengan kelengkapan lainnya seperti
pegangan, sarung, dan kotaknya, maka yang diperlihatkan itu adalah bilah
kujang yang meliuk indah bak seorang putri sedang menari dengan
kelenturan tubuhnya, pegangan (ganja atau landean) dan sarungnya (kopak atau kowak)
yang menambah pantas bak pakaian yang dikenakan oleh putri yang sedang
menari tadi, pun dengan kotaknya yang mengemas secara utuh dan
menyeluruh berikut dengan menambah nilai kujang itu sendiri.
Untuk menghadirkan sebuah kujang yang
dapat dibanggakan tersebut, maka diperlukan sebuah penghayatan yang
mendalam tentang hal-ihwal tentang kujang itu sendiri. Terlebih jika
hendak menghadirkan kujang sebagaimana kujang yang dibuat oleh para empu
terdahulu, kujang pamor tangguh Pajajaran misalnya.
Berkaitan dengan kujang pamor tangguh Pajajaran,
beberapa narasumber menyatakan bahwa ciri-cirinya dapat dikenali dari
karakteristik bilah kujang yang cenderung tipis, bahannya bersifat
kering, berpori, dan banyak mengandung unsur logam alam. Ciri-ciri
tersebut merupakan ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri-ciri yang
dimiliki oleh senjata tradisional lainnya dari periode yang sama,
terlebih dari periode yang lebih muda.
Macam-Macam Kujang
![macam2 ujang](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_vH0RbuY4QuREtfFOQETrztUa_S0EM_h7xxPrsyMW0leBkdSftKaT61k1i1QrI2JpmJ4ieYcLqdtwVuAtlFbS8MrMRlACoIGOYoT4nm5lj0oOwpwM1GO_362TBI-N7s1EGo50Omi0VW9xlcI56nTQY8D3et27Rim9tJNl-0m_cBHA=s0-d)
.
.
Adalah satu tantangan tersendiri untuk
menghadirkan kembali kujang pamor tangguh Pajajaran karena semua aspek
yang melingkupi teknik pembuatannya belum dapat dilacak sepenuhnya, yang
ada hanya berupa perkiraan berdasarkan pengamatan atas artefak-artefak
yang sampat pada saat ini.
Dilihat dari tampak bilah kujang pamor
tangguh Pajajaran, bahan bakunya diperkirakan langsung mengambil dari
alam yang lokasinya belum diketahui secara pasti, bahan baku tersebut
berupa pasir besi pilihan. Di samping bahan baku, berita atau sumber
yang menyebutkan teknik pengerjaannya pun tidak ada.
Adapun wujud sebilah Kujang memiliki bagian-bagian seperti :
Papatuk atau congo (bagian ujung yang runcing, digunakan untuk menoreh
atau mencungkil), Eluk atau Siih (lekukan-lekukan pada bagian kujang
gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh), Waruga (badan Kujang), Mata
(lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan Kujang. Mata ada yang
jumlahnya 9 dan minimal 5 lubang (menggambarkan lima sila Pancasila –
seperti yang digunakan pada lambang Propinsi Jawa Barat) atau tanpa
lubang yang disebut “kujang buta”.
Bagian lainnya adalah Pamor, yakni garis-garis atau
bintik-bintik pada badan Kujang disebut Sulangkar atau tutul konon
mengandung racun dan gunanya untuk memperindah bilah Kujang, Tonggong
(sisi yang tajam di bagian punggung Kujang, biasanya untuk mengerat atau
mengiris), Beuteung (sisi yang tajam di bagian perut Kujang), Tadah
(lengkung kecil pada bagian bawah perut Kujang), Paksi (bagian ekor
Kujang yang lancip), Selut (ring pada pada ujung atas gagang Kujang),
Combong (lubang pada gagang Kujang), Ganja (nama khas gagang Kujang),
Kowak (nama khas sarung Kujang).Setiap pemakai kujang ditentukan oleh status sosial masing-masing. Bentuk kujang untuk raja tidak akan sama dengan kujang balapati atau barisan pratulap, dan seterusnya. Melalui pembagian tersebut akan tergambar tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, seperti Raja, Lengser dan Brahmesta, Prabu Anom, Bojapati; Bopati Panangkes atau Balapati, Geurang Seurat, Bopati Pakuan diluar Pakuan; Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paseban; Lulugu; Kanduru; Sambilan; Jero termasuk Jero Tangtu; Bareusan,guru, Pangwereg dan Kokolot. Jabatan Prabu Anom sampai Berusan, Guru juga Pangwereg, tergabung didalam golongan Pangiwa dan Panengen.
Dalam pemakaian kujang, ditentukan kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, misalnya Kujang Ciung Mata-9, dipakai hanya oleh raja; Kujang Ciung Mata-7, dipakai oleh mantri dangka dan Prabu Anom; Kujang Ciung Mata-5, dipakai oleh Geurang Seurat, Bopati Panangkes dan Bupati; Kujang Jago, dipakai oleh balapati, lulugu dan sambilan; Kujang Kuntul, dipakai oleh patih (patih puri, patih taman, patih tangtu, patih jaba dan patih palaju). Juga digunakan oleh mantri (mantri paseban, mantri majeuti, mantri layar, mantri karang dan mantri jero).
Kujang Ciung
Kujang Bangkong, dipakai oleh guru, sekar, guru tangtu, guru alas dan
guru cucuk; Kujang Naga, dipakai oleh kanduru, jaro (jaro awara, jaro
tangtu, jaro gambangan); Kujang Badak, dipakai oleh pangwereg,
pangwelah, bareusan, prajurit, pratulap, pangawin, sarawarsa dan
kokolot. Selain diperuntukan bagi para pejabat tadi, kujang juga
digunakan oleh kelompok agamawan. Namun kesemuanya hanya satu bentuk
yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapnya ditentukan oleh banyaknya
“mata”.
Varian Kujang Naga
Kujang Ciung bagi Bramesta (pandita agung) bermata sembilan sama
dengan milik raja. Pandita, bermata tujuh. Geurang bermata tiga. Guru
Tangtu Agama, bermata satu. Golongan agamawan menyimpan pula kujang
pangarak yang bertangkai panjang yang dipakai pada upacara-upacara
tertentu seperti Bakti Arakan, Kuwera Bakti dan sebagainya. Dalam
keadaan darurat, kujang pangarak bisa saja dipakai untuk menusuk musuh
dari jarak yang agak jauh. Fungsi utama kujang bagi golongan agamawan
adalah sebagaipusaka pengayom kesentosaan seluruh negara.Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu perempuan bangsawan pakuan dan golongan yang memiliki fungsi tertentu, seperti: putri raja, putri kabupatian, ambu sukla, ambu geurang, guru aes, dan sukla mayang (dayang kaputren). Kujang bagi para perempuan ini biasanya hanya terdiri dari jenis Ciung dan Kuntul karena bentuknya yang langsing. Demikian pula ukurannya biasanya setengah lebih kecil dari ukuran kujang untuk kaum laki-laki.
Untuk membedakan status pemiliknya biasanya ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahannya. Kujang untuk putri kalangan bangsawan Pakuan biasanya bermata lima, pamor salangkar dan bahannya besi kuning pilihan. Wanita golongan lainnya menggunakan kujang bermata tiga kebawah sampai yang tidak bermata dengan pamor tutul dan bahannya dari besi pilihan.
Kaum perempuan Pajajaran itu, selain menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas perempuan” lainnya, yaitu kudi. Alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya tajam bergerigi seperti pada kujang. Ukurannya rata-rata sama dengan kujang bikang (kujang pegangan kaum perempuan). Panjangnya kira-kira satu jengkal termasuk gagangnya. Bahannya dari besi baja, lebih halus dan tidak ada yang memakai mata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI MASUKAN UNTUK MENUNJANG KARYA