PANEMBAHAN
Ronggo Sukawati bertahta di Pamekasan Timur berkeraton
di Lawangdaja tempat almarhum ayahnya, Pangeran Nugeroho (Bonorogo).
Pada waktu Panembahan Ronggo Sukawati baru duduk dipimpinan pemerintahan
menggantikan ayahnya, pada suatu hari, datang menghadap kepada Beliau seorang
mengaku dari suatu desa dibawah pemerintahan Pamekasan, mempersembahkan kepada
Beliau satu landian (ukiran) keris. Keesokan harinya datang pula lain orang
yang mempersembahkan sebuah rangka keris, ketiga harinya hanya datang pula
seorang mempersembahkan sebuah gandar keris dan demikian seterusnya orang
menghadap pada Beliau mempersembahkan bagian-bagian dari tempatnya keris
sehingga pada penghabisannya datang seorang menghadap Beliau mempersembahkan
isi keris. Maka beliau memanggil seorang meranggi yang diperintahnya memasang
menjadi satu, yaitu perkakas-perkakas keris yang beliau terima tadi, maka
dengan amat aneh dan mengherankan perkakas-perkakas tadi dengan biji kerisnya
sekali terdapat cocok (pas) dengan tidak usah dirobah sama sekali. Maka itu
keris Beliau beri nama Si (Kiyai) “Joko Piturun”. Menurut cerita, mungkin
bikinan orang (legenda), Kiyai Joko Piturun oleh Panembahan Ronggo Sukawati
pernah dicoba dibuka dari rangkanya dihunuskan ditujukan kepada seorang yang
ada di dalam penjara (hukuman), maka dengan ujung keris itu jauh dari orang
hukuman itu, orang itu rebah ke tanah dan terus mati. Kemudian setelah biji
keris dimasukkan kedalam rangkanya, dibuka (dihunus) pula dan ditujukan pula
kepada mayat orang hukuman itu, maka itu orang lalu hidup kembali. Hal yang
demikian itu menarik perhatian orang banyak, sehingga Kiyai Joko Piturun pada
itu waktu tersohor kemana-mana, dan Panembahan Ronggo Sukawati disamping karena
ia memiliki sifat-sifat kesatrian yang memang tinggi nilainya (ketangkasan
diri, keberanian, ketabahan, kebijaksanaan, kesopanan yang tinggi, keadilan,
sesanggupan membela kebenaran) pun pula oleh karena pembawaan kerisnya dimalui
dan dihormati orang-orang besar didaerah-daerah tetangganya.
Lagi sesuatu hal yang terjadi di jamannya Panembahan Ronggo
Sukawati. Pada suatu ketika Panembahan Lemah Duwur (Raden Pratanu) di Arosbaya
datang di Pamekasan beserta semua Menteri-menterinya keperluan bertamu kepada
Panembahan Ronggo Sukawati. Beliau adalah paman sepupu dari ayahnya Panembahan
Ronggo Sukawati. Sesampainya di Pamekasan, tamu agung itu diterimanya dengan
kehormatan besar oleh Panembahan Ronggo Sukawati. Setelah Panembahan Lemah
Duwur beberapa hari tinggal sebagai tamu di Pamekasan, maka Beliau sudi
menangkap ikan dari rawa Sê Ko’ol (nama suatu rawa besar didaerah kota
Pamekasan), Panembahan Lemah Duwur menyuruh Menteri-menterinya melompat kedalam
rawa itu menangkap ikan. Menteri-menteri Arosbaya membuka pakaiannya sehingga
tinggal pakaian dalamnya lalu melompat ke dalam air. Panembahan Ronggo Sukawati
yang ingin membantu tamunya, menyuruhnya juga Menteri-menterinya supaya
melayani Menteri-menteri Arosbaya didalam menangkap ikan.
Maka mereka itu seketika mendengar ajakan Rajanya, terus melompat kedalam rawa
dengan pakaian luarnya sekali (tidak pakai buka pakaian luar oleh karena
taatnya). Setelah Panembahan Lemah Duwur melihat apa yang terjadi dirawa tadi
lalu pulang kembali ke Arosbaya dengan Menteri-menterinya dengan tidak minta
diri (pamit) lebih dahulu kepada Panembahan Ronggo Sukawati. Melihat hal apa
yang terjadi itu Panembahan Ronggo Sukawati merasa amat menyesal dan duduk
beberapa lama dengan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata apapun juga.
Kemudian lalu beliau bangun berdiri dan mengejar dengan berjalan kaki kemana
tamunya itu pergi. Dibelakang Beliau, abdi-abdi keraton Pamekasan menyusul
dengan membawa seekor kuda untuk kendaraan Rajanya, akan tetapi itu kuda tidak
dikendarai. Sesampainya di Sampang, maka Beliau ditunggu oleh saudaranya
(Adipati Sampang) dan Penghulu Sampang di kampung Larangan. Beliau bertanya
kepada saudaranya kemana perginya Beliau punya tamu, maka mendapat jawab, bahwa
telah agak lama terus berangkat dengan naik kuda bersama abdi-abdinya menuju
Blega, akan tetapi mereka itu di itu tempat berhenti sebentar dan Panembahan
Lemah Duwur berdiri menyandar kepada pohon waru besar di tepi jalan raya di
kampung Larangan, maka Panembahan Ronggo Sukawati lalu menghunus kerisnya,
Kiyai Joko Piturun, ditusukkan kepada pohon waru yang bekas disandari
Panembahan Lemah Duwur dan Beliau lalu pulang kembali ke Pamekasan dengan naik
kuda. Setelah beberapa hari sampai di Pamekasan Beliau menerima sepucuk surat
dari Raden Ayu Panembahan Lemah Duwur, bahwa setelah suaminya sampai di
Arosbaya, pada malam harinya bermimpi, keris Kiyai Joko Piturun datang dari
atap keraton Arosbaya terus menusuk dirinya Panembahan mengenai belakang dan
pada keesokan harinya ditempat yang dimimpikan ditusuk itu keris (kerres)
timbul sebuah bisul besar dengan rasa sakitnya yang hebat dari sebab mana
setelah dua hari lamanya, Panembahan Lemah Duwur meninggal dunia.
Maka setelah surat dibaca, Panembahan Ronggo Sukawati menjadi
marah terhadap dirinya sendiri, lalu mengambil Kiyai Joko Piturun dibuangnya
kedalam rawa Sê Ko’ol dengan rangkanya sama sekali. Pada itu ketika beliau
mendengar suara yang tidak kelihatan orangnya yang berkata: “Sayang keris Kiyai
Joko Piturun dibuang, seumpama tidak dibuang, sudah tentu seluruh Jawa dan
Madura hanya sebesar daun Kacopêng” (artinya: seumpama Kiyai Joko Piturun tidak
dibuang, maka tentu seluruh Jawa dan Madura, apabila dikehendaki, dengan mudah
sekali ditaklukkan; daun Kacopêng adalah bangsa daun tumbuh-tumbuhan yang ciut
sekali). Setelah mendengar itu suara, maka beliau menjadi amat menyesal dan
memberi perintah supaya semua pegawai Beliau masuk ke dalam rawa tadi mencari
keris Beliau, akan tetapi terus tidak mendapatkannya. Peristiwa itu terjadi di
dalam tahun 1592 Masehi. Disebutkan di dalam cerita, bahwa Beliau meninggal di
dalam perang ketika Mataram menaklukkan Madura di dalam tahun 1624 M, menjadi
usia Beliau ada lebih dari 100 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERI MASUKAN UNTUK MENUNJANG KARYA